Karya dari Penjelajahan Ruang Terdekat
Karya seni rupa dari penjelajahan ruang-ruang diri di ruang terdekat ternyata memberi kejutan tersendiri.
Gagasan untuk sebuah karya seni rupa bisa datang dari penjelajahan ruang terjauh yang pernah dicapai atau bahkan yang diimajinasikan secara tak terbatas. Bisa pula dari ruang terdekat yang sudah diakrabi sehari-hari. Karya seni rupa dari penjelajahan ruang-ruang diri di ruang terdekat ternyata memberi kejutan tersendiri.
Karya-karya seni rupa dari penjelajahan ruang domestik seperti itu dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, 14 Juni hingga 4 Juli 2024. Pameran dengan jumlah peserta tiga perupa perempuan yang memiliki disiplin ilmu berbeda-beda itu diberi tajuk Tiga Sisi: Jelajah & Media. Ketiganya ialah Endang Lestari, Ayu Arista Murti, dan Theresia Agustina Sitompul. Mereka memiliki almamater sama di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan tahun angkatan berbeda-beda.
Baca juga: Dua Sisi Menggoda Imajinasi
Endang Lestari mengambil Jurusan Seni Kriya dengan minat utama seni keramik dari tahun angkatan 1995. Ayu Arista mengambil Jurusan Seni Rupa Murni dengan minat utama seni lukis dari tahun angkatan 1997. Kemudian Theresia Agustina mengambil Jurusan Seni Rupa Murni dengan minat utama seni grafis dari tahun angkatan paling muda, 1999.
Ketiganya yang akrab disapa Tari, Ayu, dan Tere menampilkan ragam seni berbasis keramik, lukis, dan grafis yang memenuhi Ruang A Galeri Nasional Indonesia. Pameran ini dikuratori Asikin Hasan.
Asikin mengungkapkan bahwa perbedaan keahlian dari ketiga perupa itu merupakan bangunan kontras yang memperkaya warna dan rupa, sekaligus kunci yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Ketiganya menghadirkan unsur-unsur yang mengandung kebaruan, lintas media, dan menyentuh persoalan lingkungan hidup.
Gagasan ketiga perupa yang bertolak dari ruang terdekat itu menunjukkan keberlimpahruahan media. Eksperimentasi yang dijalani juga mengikuti gerak dinamis seni rupa kontemporer.
Keinginan berkolaborasi
Pameran Tiga Sisi bermula dari masa sebelum pandemi Covid 19, ketika ketiganya bertemu dan menyatakan keinginan untuk saling berkolaborasi. Kondisi pandemi membuat intensitas mereka bertemu menjadi berkurang sehingga keinginan berkolaborasi terpupus hilang. Apalagi ketika melihat corak karya dengan disiplin ilmu yang berbeda, hal itu makin menyurutkan rencana berkolaborasi.
”Muncullah kemudian gagasan untuk menampilkan tiga sisi di antara kami. Kami tetaplah berjalan sendiri-sendiri dan sudah menemukan benang merah, yaitu adanya penjelajahan media,” ujar Tari, ketika dihubungi Kompas, Kamis (20/6/2024), di Yogyakarta.
Melalui karya ini, saya ingin menunjukkan suatu keadaan harmoni dari material yang berbeda-beda.
Tari mencontohkan dirinya yang sudah 20 tahun berkarya. Meski berbasis seni keramik, Tari memiliki penjelajahan media tersendiri.
Penjelajahan media Tari ditunjukkan melalui karya seni instalasi yang diberi judul ”Harmony in Diffusion”. Karya ini dipajang di bagian depan ruang pamer. Di situ ada sembilan panel berukuran masing-masing 45 cm kali 40 cm dengan media campuran berupa cat minyak, keramik, dan terakota pada lembaran galvalum.
”Selain ingin menunjukkan penjelajahan media, melalui karya ini saya ingin menunjukkan suatu keadaan harmoni dari material yang berbeda-beda,” kata Tari, yang lahir di Banda Aceh dan kini menetap di Yogyakarta.
Harmoni dari ketiga materi yang berbeda tidak lain untuk mengungkap harmoni dari tiga unsur yang meliputi manusia, alam semesta, dan Tuhan. Selain itu, Tari menampilkan karya lukisan dengan kebaruan media berupa bubuk keramik.
Di dalam penciptaan karya dengan berbagai bentuk berupa keramik, tidak jarang di antaranya pecah ketika saling bertumbuk. Karya yang pecah tetap disimpan Tari hingga ia menemukan ide dari karya yang dianggap rusak itu bisa terlahir kembali menjadi karya baru.
Tari menyebut, ada reinkarnasi dari karya-karya keramik lama yang bentuknya tidak lagi sempurna. Keramik-keramik itu dipecah dan ditumbuk hingga halus, kemudian disaring menjadi bubuk keramik. Bubuk keramik ini dijadikan media sebagai cat Lukis.
”Dalam Pameran Tiga Sisi ini ada tujuh lukisan yang saya buat dengan bubuk keramik. Tidak ada figur di dalam lukisan itu karena media tanah ini sudah cukup berbicara,” ujar Tari.
Bubuk keramik dari hasil pembakaran keramik yang mencapai suhu 1.200 derajat celsius. Partikel tanah liatnya sudah memiliki ikatan yang stabil sehingga lukisan bubuk keramik memiliki daya tahan.
Mengenai ikatan partikel tanah liat yang lebih stabil pada bubuk keramik ini, Tari pernah membuktikan dengan melihat menggunakan mikroskop. Ia membandingkan preparate partikel bubuk keramik dengan partikel tanah liat.
Dari keduanya menunjukkan adanya jaringan yang menghubungkan partikel satu sama lainnya. Akan tetapi, jaringan penghubung pada tanah liat masih terlihat terus bergerak, sedangkan pada partikel bubuk keramik cenderung stabil.
Eksperimentasi dan penjelajahan media oleh Tari masih berlanjut. Ia menunjukkan hasil eksplorasi kandungan tanah liat yang memiliki kandungan besi cukup tinggi. Tari menampilkan dalam karya seni instalasi keramik berbentuk bulat-bulat dan tampak berwarna kehitam-hitaman. Kandungan besi tampak dari warna kehitam-hitaman tersebut.
Ada lagi keramik yang dibuat melingkar, tetapi dengan bentuk yang tidak beraturan dan memiliki warna putih. Ini menjadi karya seni instalasi yang dipajang secara vertikal di dinding, dari lantai hingga langit-langit.
Melalui karya ini, Tari ingin mengungkapkan, jika dilihat dari kejauhan, keramik-keramik yang terbentuk secara tidak beraturan tadi akan membangun suatu keseimbangan tersendiri. Selain itu, dengan keramik berwarna putih, Tari ingin menunjukkan keberlimpahan jenis tanah liat. Selain melahirkan warna terakota, ada di antaranya yang melahirkan warna putih dengan kandungan porselen tadi.
Transformasi energi
Ayu Arista berbicara tentang transformasi energi positif lewat lukisan dan drawing (gambar) yang dibuat dengan cat akrilik berbasis air. Ia menitikberatkan perhatiannya terhadap sifat air.
Transfromasi energi yang baik dengan menerapkan hasil riset ilmuwan Jepang, Masaru Emoto. Air akan membentuk jaringan molekul atau kristal yang enak dilihat mata ketika diperdengarkan kata-kata yang baik. Begitu pula sebaliknya.
”Lukisan dan drawing saya tidak ubahnya sebagai doa, sebagai ungkapan untuk mentransformasikan energi positif,” ujar Ayu, yang lahir di Surabaya dan menetap di Yogyakarta.
Dari susunan karya drawing Ayu di dinding bagian depan ruang pamer, ada yang diberi judul ”Aku dan Air” (2023). Ayu menuangkan warna di kertas dan menyerahkan diri kepada kehendak air yang membawa warna tersebut membentuk lukisan. Media kertasnya berukuran 30 cm kali 40 cm.
Di sinilah Ayu menaruh harapan ketika mengucap kata-kata baik kepada air, maka air akan menunjukkan bentuknya yang indah dan akhirnya menjadi lukisannya yang indah pula. Dalam Pameran Tiga Sisi ini, tidak hanya dalam bidang kertas yang berukuran kecil. Ayu menuangkan pula metode tersebut untuk bidang kertas yang lebih besar.
Gambar kutang dan celana dalam ini yang selalu dipertanyakan. Padahal, ketika di pasar atau mal, kita sudah tidak asing lagi melihat kutang dan celana dalam dipajang di sana.
Melalui karya instalasi yang diberi judul ”Wondering Mind” (2024), belasan lukisan Ayu yang dibuat memanjang di atas kertas dipajang menjuntai dari langit-langit. Ayu menceritakan ketidakterbatasan pikiran untuk mentransformasikan energi positifnya. Sementara itu, tubuh memiliki keterbatasan.
”Seperti orang yang dipenjara. Pikirannya bisa berkelana ke mana saja, sementara tubuhnya tetap di penjara,” ujar Ayu.
Berikutnya, karya Tere sebagai karya seni grafis ditampilkan bernuansa warna kebiru-biruan dari hasil cetak saring. Obyek dominannya terbilang unik, yakni cetakan gambar kutang dan celana dalam, meski yang lainnya ada juga cetakan gambar kaus kaki, sarung tangan, pakaian bayi, dan sebagainya.
”Gambar kutang dan celana dalam ini yang selalu dipertanyakan. Padahal, ketika di pasar atau mal, kita sudah tidak asing lagi melihat kutang dan celana dalam dipajang di sana,” ujar Tere.
Tere mengungkapkan, sebenarnya ada hal lain yang lebih menarik ketimbang gambar kutang dan celana dalam tersebut. Hal yang lebih menarik itu terletak pada metode yang ia tempuh. Ia menggunakan lembaran karbon yang biasa digunakan untuk menduplikasi naskah ketikan pada mesin tik.
Pada awalnya, Tere lebih sering menggunakan teknik intaglio atau cetak dalam untuk karya-karya cetak grafisnya. Di studionya ada paparan bahan pencetak grafis intaglio yang bisa mengganggu kesehatan. Ketika harus mengasuh anaknya yang masih kecil, Tere tidak mau anaknya terpapar bahan tersebut.
Tere kemudian beralih media cetak karbon. Ia teringat pada masa kecilnya sering melihat ayahnya sering mengetik dan menduplikasi naskah ketikannya dengan lembaran karbon. Ayahnya bertugas memberikan perizinan pendakian Gunung Welirang di Pasuruan.
Tere menggunakan metode yang sama. Ia meletakkan obyek yang ingin dicetak di kertas yang sudah diberi lembaran karbon di atasnya. Lalu, obyek itu ditekan ke bawah. Citra obyek terbentuk di atas kertas. Citra inilah yang kemudian ditransfer ke komputer, lalu dicetak untuk film cetak saring menjadi karya-karya seni cetak grafis Tere.
Baca juga: Seni Grafis dan Sebuah Pertarungan
Ketika menyelisik obyek cetakan grafis Tere, selalu tidak beranjak dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Misalnya, Tere menggunakan obyek celana dalamnya sewaktu hamil besar. Lalu, ia mencetak pula celana dalam yang lebih kecil, ketika ia sudah melahirkan bayi.
Pameran Tiga Sisi ini menarik, bisa menunjukkan keluasan medan seni rupa kita. Ketiga peserta perupa perempuan itu sudah menunjukkan pengalaman tersendiri atas suatu penjelajahan media yang unik.