Arsip Manusia Toeti Heraty
Foto itu melukiskan Toeti Heraty sebagai manusia yang terus mencari, memberi, dan mencipta semasa hidupnya.
Ada makna cukup mendalam ketika satu-satunya foto Toeti Heraty yang sedang tertidur diletakkan di awal deretan puluhan foto arsip aktivitas dirinya. Penempatan foto itu ingin melukiskan Toeti sebagai manusia yang terus mencari, memberi, dan mencipta semasa hidupnya sebagai pendidik, penyair, filsuf, aktivis seni atau gerakan feminis, dan sebagainya.
Foto itu menjadi bagian dari Pameran Arsip Toeti Heraty: Aku dalam Budaya di Galeri Cemara 6 - Museum Toeti Heraty, Jakarta, yang berlangsung 13 Juni-13 Juli 2024. Pameran ini digelar dalam rangka memperingati tiga tahun meninggalnya Toeti Heraty pada 13 Juni 2021.
Serpihan kisah penempatan foto Toeti tertidur disampaikan kurator pameran Dhianita Kusuma Pertiwi (31), Kamis (13/6/2024), menjelang pembukaan pameran. ”Foto itu kemungkinan ketika Toeti Heraty sedang menempuh studi di Psychologie Gemeentelijke Universiteit Amsterdam, Belanda, setelah lulus pada 1955 sebagai Sarjana Muda Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak ada informasi yang menyebutkan keterangan pasti tentang foto itu,” ujar Dhianita yang aktif di organisasi Ruang Perempuan dan Tulisan serta sekarang menjadi Tenaga Ahli Bidang Komunikasi dan Media pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Foto Toeti tertidur menjadi pembuka kisah yang ringan dan mengesankan. Berikutnya, dipajang foto-foto kesibukan Toeti di luar dan di dalam negeri. Kemudian lini masa hidupnya yang diawali catatan lahir di Bandung, 27 November 1933, hingga akhir hayatnya di Jakarta, 13 Juni 2021.
Di ruang pamer itu ditampilkan pula empat lembaran besar berisi foto Toeti dari masa ke masa. Di bawah foto diri Toeti itu diberi deretan teks panjang berupa catatan judul artikel yang pernah diciptakan Toeti dari tahun ke tahun, dimulai 1961.
Di situlah Dhianita ingin menunjukkan prestasi akademis Toeti sebagai manusia yang luar biasa. Sejak 1961 hingga akhir masa hidupnya, Toeti melahirkan sekitar 250 tulisan dalam berbagai bentuk, seperti buku, jurnal, esai, pidato, makalah, dan sebagainya.
Artikel yang menempati urutan pertama, tercatat tahun 1961 berjudul ”Transendensi Feminin: Kesetaraan Gender Menurut Simone de Beauvoir” (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama). Berikutnya, melompat ke tahun 1967 berupa puisi berjudul ”Selesai”. Ini dimuat di majalah Horison No 10 Th II dengan ulasan Subagio Sastrowardoyo.
Pencantuman tulisan Toeti yang ketiga pada 1970 berupa puisi tanpa diberi judul dan dimuat Budaja Djaja No 20 Tahun III Djanuari 1970. Disusul pada 1972 berupa puisi berjudul ”Puncak, dalam Anthologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemporaine” (Jakarta, Direktorat Penerangan dan Hubungan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri RI).
Baca juga: Naga Papua di Teater Koma
Sekilas, dari tulisan-tulisan awal terlihat Toeti banyak berkecimpung pada persoalan feminisme dan kepenyairan puisi. Lalu, dibawa ke mana ilmu kedokteran yang pernah diraih pada 1955 sebagai sarjana muda Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia?
Kedokteran dari dulu sampai sekarang termasuk bidang keilmuan yang paling diminati. Karena itulah standar mahasiswa yang diterima biasanya melebihi rata-rata. Hannyoto Rooseno (87), salah satu adik Toeti yang sempat ditemui menjelang pembukaan pameran arsip ini, mengatakan, Toeti memang tumbuh menjadi anak yang cerdas.
”Sewaktu kelas III SD saja langsung naik ke kelas V,” ujar Hannyoto yang berprofesi sebagai arsitek.
Kedua orangtuanya mengetahui Toeti tumbuh cerdas. Setelah lulus SMA, mereka mendorong Toeti supaya menempuh studi kedokteran di UI hingga lulus pada 1955.
Apa yang membuat Toeti berpaling dari ilmu kedokterannya? Ada yang menyebutkan, itu karena Toeti, sejak gadis berusia 16 tahun (saat SMA), tertarik pada filsafat. Ini gara- gara Toeti membaca buku filsafat karya Bertrand Russel. Buku itu diberikan salah satu guru Ilmu Pasti dan Matematika.
Hal itu seperti dituliskan wartawan Kompas, Alfons Taryadi, pada 29 Januari 1979. Tulisan itu dimuat pula untuk buku yang berjudul, Spektrum Budaya: Festschrift HUT ke-84 Toeti Heraty (2017). Di situ Alfons menuliskan peristiwa pada 27 Januari 1979, ketika Rektor UI Prof Dr Mahar Mardjono menyatakan, Toeti lulus dalam mempertahankan disertasi doktoral filsafat berjudul, ”Aku dalam Budaya”, dengan predikat cum laude atau dengan pujian. Disertasi doktoralnya itu kemudian dicomot menjadi judul pameran arsip Toeti Heraty kali ini.
”Pada pameran arsip Toeti Heraty kali ini memang terlihat sedikit saja yang dipamerkan. Tahun-tahun berikutnya, masih ingin digelar pameran arsip Toeti Heraty berikutnya supaya lebih lengkap,” kata Inda Citraninda Noerhadi, putri kedua Toeti Heraty, sekaligus Direktur Cemara 6 Galeri–Toety Heraty Museum, dalam sambutan pembukaan pameran.
Disertasi ”Aku Dalam Budaya”, dengan mengacu tulisan Alfons, dimaksudkan Toeti sebagai orientasi teoretis filsafat Barat modern yang dapat digunakan sebagai kerangka referensi untuk meneliti fenomena budaya di lingkungan kita. Untuk lingkup budaya kita, Toeti lebih khusus menyelisik adanya pengalihan teknologi menjadi sumber daya utama bagi pembangunan. Di situlah manusia harus meningkatkan daya seleksi terhadap teknologi tersebut.
Toeti mengedepankan subyektitas ”aku” yang selalu hidup dalam budaya. Ia membedakan aku ke dalam tiga hal. Ketiganya itu meliputi aku mistis sebagai aku yang merasa terkepung kekuatan gaib, tidak mampu mengambil jarak, bahkan melebur ke dalam kekuatan itu.
Saya menyampaikan hal ini sebagai undangan pula, agar pemikiran-pemikiran besar tokoh-tokoh Indonesia juga bisa dibuka dan dipamerkan seperti pemikiran Toeti Heraty kali ini
Kedua, aku ontologis sebagai sikap aku yang mengambil jarak dengan lingkungan di sekitarnya sehingga bisa secara bebas meneliti hal ikhwal di sekitarnya. Ketiga, aku fungsional sebagai sikap sadar menautkan dengan lingkungan yang tidak terkepung dan tidak mengambil jarak dengan kekuatan yang ada di lingkungannya.
Pemaparan pemikiran filsafat Toeti ke dalam sebuah pameran arsip ini menarik perhatian Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, yang membuka pameran tersebut. Menurut Hilmar, masih banyak pemikiran tokoh Indonesia yang belum dibuka seperti pada pemikiran tokoh Toeti Heraty ini.
”Saya menyampaikan hal ini sebagai undangan pula, agar pemikiran-pemikiran besar tokoh-tokoh Indonesia juga bisa dibuka dan dipamerkan seperti pemikiran Toeti Heraty kali ini,” kata Hilmar.
Pemikiran besar Toeti pun ditunjukkan ke dalam diksi atau pilihan kata. Di dalam catatan kuratorial disebutkan, seperti penggunaan kata ”dalam” pada judul disertasi ”Aku Dalam Budaya”, itu sebagai ajektiva, nomina, maupun partikel, yang mengimplikasi makna posisi yang menyatu, tidak di luar atau di pinggiran.
Seperti itulah Toeti Heraty memosisikan dirinya, meski dengan berbagai ragam profesinya. Ia meramu pemikiran relasi aku di dalam lingkup budaya untuk menerbitkan manusia yang mampu bertindak dan bergerak bebas.
Baca juga: Keonaran turisme Bali diekspresikan seniman