Bagaimana rasanya diamati oleh makhluk misterius yang buas? Film ”The Watchers” menceritakan dengan cukup detail.
Oleh
WISNU DEWABRATA
·3 menit baca
FilmThe Watchers (2024) garapan sutradara sekaligus penulis skenario Ishana Night Shyamalan mengangkat satu kisah horor dengan pesan permenungan yang cukup mendalam.
Perenungan terutama terkait tentang bagaimana sebaiknya seseorang menghadapi dan menerima takdir masa lalu seburuk apa pun itu. Juga terkait bagaimana seseorang harus menjaga kedekatan dengan orang-orang tercinta di sekeliling mereka tanpa perlu terbebani oleh masa lalu yang kelam tadi.
Dikisahkan sang tokoh utama, Mina (Dakota Fannning), seorang gadis usia 28 tahun yang tertutup dan menghindari kedekatan personal dengan orang lain. Dia bahkan sudah bertahun-tahun tak bertemu dan berinteraksi dengan saudara kembarnya, Lucy.
Kondisi itu terjadi lantaran Mina memikul beban berat trauma masa lalu, yang menjadikannya selalu merasa bersalah dan menjadi biang kerok utama petaka. Saat masih kecil mobil yang ditumpangi dirinya dan Lucy mengalami kecelakaan.
Sang ibu yang tengah menyetir kehilangan kendali lantaran hilang konsentrasi akibat ulah Mina. Mina dan Lucy selamat tetapi sang ibu meninggal di lokasi. Beban berat penyesalan mendalam itulah yang terus-menerus membayangi dan mengikuti Mina kemana pun dia berada.
Mimpi dan bayangan tentang peristiwa tragis itu tanpa disadari terus menyandera Mina. Akibat rasa bersalahnya yang besar, Mina menjauhi Lucy. Dia juga menarik diri dari kehidupan dan pergaulan sekitar.
Hal itu digambarkan dengan sikap Mina yang berdandan dan menggunakan identitas serta nama palsu saat pergi menghabiskan akhir pekannya. Tak hanya itu, kehidupan keseharian Mina juga terbilang monoton dan jauh dari interaksi dengan manusia.
Sebab, dia bekerja di sebuah toko penitipan dan perawatan aneka hewan, yang hanya mempekerjakan dirinya dan seorang lagi rekannya. Walau kadang ramai dikunjungi hampir sehari-hari, Mina hanya berinteraksi dengan beberapa klien hewan peliharaannya.
Kehidupan Mina yang suram dan monoton satu waktu berubah drastis saat ditugasi mengantar seekor burung ke pelanggan di luar kota, sebelah barat Irlandia. Saat tiba-tiba kendaraannya mogok di dalam hutan lalu menghilang misterius, Mina mendapati dirinya tersesat. Saat berupaya keluar dari hutan itu Mina selalu gagal.
Dia malah bertemu dengan tiga orang lain yang juga tersesat terlebih dulu dari dirinya di hutan tersebut. Sebuah hutan homogen tanaman pinus yang serba suram, berkabut, dan juga beraura mistis.
Setelah berbulan-bulan tersesat di dalam hutan dan mencoba berlindung di dalam bangunan beton kokoh setiap malam dari ancaman makhluk-makhluk misterius dan buas. Dari situ, drama-drama menegangkan dibangun.
Kesamaan nasib tersandera di hutan dan menghadapi ancaman makhluk misterius membuat Mina akhirnya bisa membuka diri dan berdamai dengan masa lalunya. Kesadaran itu memicu kembali semangat dan keinginan Mina untuk keluar dari hutan mistis itu.
Debut
Film garapan Ishana ini merupakan karya pertamanya sebagai seorang sutradara. Cerita filmnya sendiri diadaptasi dari novel berjudul sama karya novelis AM Shine tahun 1987. Ishana mengaku terpesona dan sudah memutuskan untuk memfilmkan cerita di novel itu begitu dia membaca sampai ke halaman 70.
”Ini adalah buku yang luar biasa dan terstruktur seperti film, sangat visual. Novel ini meminta Anda memikirkan bagaimana tampilan dunia dan karakter ini. Rasanya seperti kumpulan inspirasi yang tak ada habisnya, seperti itulah impian baik sebagai seorang penulis dan sutradara film,” ujar Ishana.
Dalam proses penulisan naskahnya, Ishana bercerita, kalau dirinya lebih banyak mengingat bagaimana perasaannya saat pertama kali membaca buku itu sekaligus membayangkan bagaimana visualnya. ”Secara harfiah, beberapa adegan dalam film persis sama dengan yang saya bayangkan saat pertama kali membaca bukunya,” ujar Ishana.
Sementara itu, pada kesempatan terpisah, Dakota Fanning juga memuji Ishana, yang dinilainya memiliki visi jelas dalam menggarap proyek film ini. Bagi Fanning, Ishana bisa mendalami lantaran juga berasal dari keluarga, yang menyukai dunia supernatural serta mistis.
Bukan satu kebetulan jika genre yang diusung Ishana juga sama dengan tema serta genre yang diangkat sang ayah, M Night Shyamalan. Film-film ayah dan anak keluarga Shyamalan memang identik dengan kisah-kisah horor kontemporer dengan sedikit plot twist di bagian akhir.
Kedekatan dan kesamaan visi serta selera genre serta pendekatan penggarapan itu terjadi lantaran Ishana sendiri kerap dilibatkan dalam proyek-proyek sang ayah sebelumnya. Ishana kerap terlibat sebagai penulis naskah dan peran-peran lain sementara sang ayah juga banyak menjadi produser film-film Ishana.
”Dia (Ishana) sangat paham dengan apa yang dia inginkan sejak awal. Gaya penyutradaraannya juga sangat jelas selain pribadinya yang juga menyenangkan. Saya sangat menikmati dan senang bisa mengenalnya sekaligus terlibat mewujudkan visinya jadi kenyataan,” puji Fanning.
Sayangnya, sebagian kalangan menilai Ishana kurang konsisten menghadirkan film horor. Dia dianggap mencampuradukkan unsur fantasi dan horor. Selain itu, penggarapan sejumlah adegan dalam film ini kurang serius. Beberapa hal dalam cerita juga kurang logis sehingga menimbulkan pertanyaan, misalnya, bagaimana seekor burung kakaktua yang lama dipelihara di kandang bisa diandalkan oleh Mina untuk menjadi penunjuk jalan di alam bebas.