Rekonsiliasi Konflik Sambas dalam Karya Seni Perupa Madura
Konflik Sambas pada 1999 melahirkan trauma warisan. Bagaimana perupa asal Madura merekamnya dalam karya?
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Konflik antaretnis yang terjadi di Sambas, Kalimantan Barat, pada 1999 sudah lama berlalu. Namun, trauma warisan telanjur terekam dalam memori generasi selanjutnya. Persahabatan dua pemuda Madura dan Dayak memutus trauma itu. Mereka saling mengonfrontasi ”hantu” masa lalu hingga akhirnya mencapai rekonsiliasi.
Kisah dua pemuda tersebut dituangkan dalam pameran seni bertajuk ”Setelah Pertunjukan Itu…! Pasca Perayaan: Antinomi Kematian”. Pameran ini berisi karya-karya perupa kelahiran Bangkalan, Madura, Suvi Wahyudianto (28). Ada sejumlah karya fotografi, lukisan, video, dan instalasi di pameran yang diinisiasi Goethe-Institut Indonesien ini. Pameran berlangsung pada 5-23 Juni 2024.
Pameran itu adalah bagian dari seri pameran GoetheHaus Foyer 2024. Adapun seri pameran kali ini bertema Utopia. “Istilah dan konsep ‘utopia’ dapat dilekatkan pada beragam isu, seperti gerakan mengenai kesetaraan jender hingga perenungan hidup,” kata Direktur Goethe-Institut Indonesien Stefan Dreyer secara tertulis.
Pameran dibuka dengan monolog yang terdiri atas tiga babak pada Selasa (4/6/2024) malam. Dengan peci hitam, sarung coklat, dan atasan berwarna gelap, Suvi membuka babak pertama dengan kisah para penyintas konflik Sambas yang berkejaran dengan maut. Anjing menyalak, senapan untuk berburu babi meletus, dan orang-orang lari ketakutan.
Teror berlangsung selama beberapa hari, tetapi rasanya seperti seabad. Gencatan senjata hanya terjadi sebentar ketika waktu shalat Subuh tiba. Suvi merintih, “Bukankah kita seagama?”
Monolog Suvi berlangsung selama satu jam. Di babak kedua dan ketiga, ia berkisah tentang pertemuannya dengan pemuda Dayak, perjalanannya meretas trauma dan rekonsiliasi, hingga seruan untuk menghentikan perang dan hidup damai.
Di akhir monolog, Suvi membuka kancing kemejanya dan membiarkan kaus bergambar bendera Palestina terpampang di dada. Monolognya soal konflik Sambas mengingatkan akan tragedi yang terjadi di Palestina saat ini. Rasanya konflik selalu terjadi dan hanya menunggu giliran saja untuk meletus. Ia prihatin.
”Setelah Pertunjukan Itu…! Pasca Perayaan: Antinomi Kematian” adalah hasil olah memori dan pengalaman Suvi sebagai pemuda Madura. Ia masih berusia tujuh tahun saat konflik di Sambas pecah. Suvi memang tak tinggal di Kalbar saat konflik, tetapi kengerian tragedi itu sampai juga padanya yang tinggal di Madura.
Konflik antaretnis itu terjadi secara sporadis pada Januari dan Februari 1999, lalu meluas pada Maret 1999. Adapun konflik ini melibatkan warga Madura, Dayak, dan Melayu. Konflik menyebabkan ratusan orang tewas, ribuan rumah hancur, dan puluhan ribu orang mengungsi.
“Kami ingat betul pengenalan kekerasan, terutama konflik Sambas, masuk ke ruang tamu kami lewat kaset CD yang beredar. Kami menyaksikan bagaimana saudara-saudara kami terbunuh. Itu kengerian pertama yang kami dapatkan di usia kanak-kanak,” tutur Suvi yang juga pemenang kompetisi Painting UOB of the Year 2018 untuk Indonesia dan Asia Tenggara.
Kengerian itu mengakar dan secara tak langsung memengaruhi Suvi dan generasi kedua para penyintas konflik. Ada tembok tak terlihat yang membuat mereka waspada terhadap satu sama lain.
Ini pula yang dialami Suvi saat bertemu Aloysius Assyu di Yogyakarta bertahun-tahun lalu. Aloysius adalah pemuda Dayak dan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang sedang mengerjakan tugas akhir. Aloysius ingin memotret Suvi dan rumahnya untuk tugas itu.
Pertemuan pertama mereka canggung. Tak ada sepatah kata keluar dari keduanya selama beberapa menit. Mereka berteori bahwa ini ulah warisan memori traumatis.
“Kami lalu bercerita secara terbuka. Kami bicarakan konflik ini tidak dengan interogasi, tapi apa yang bisa diupayakan dari generasi kami,” ucap Suvi.
Mereka akhirnya saling bantu. Suvi bersedia menjadi subyek foto untuk tugas akhir Aloysius. Sementara itu, Suvi yang kala itu sedang menyelesaikan studi pascasarjana di Institut Seni Bandung (ITB) mengajukan ide untuk napak tilas bersama.
Pergilah Suvi dan Aloysius ke Madura dan Sambas pada pertengahan 2023. Perjalanan selama 20 hari ditempuh dari Madura, lalu naik kapal selama 32 jam ke Pontianak, lalu ke Sambas, dan berakhir di Aruk. Perjalanan mereka direkam dan diolah menjadi seni berupa video, foto, lukisan, dan instalasi.
Bagaimana pemuda Dayak dan Madura memutus trauma?
Perjalanan keduanya dilandasi dengan kepercayaan terhadap satu sama lain. Saat di Madura, Suvi menjamin keamanan Aloysius. Saat di Sambas, gantian Aloysius yang menjaga Suvi.
Ada kepercayaan bahwa orang-orang Madura tak akan bisa kembali lagi ke Sambas. Namun, Suvi pernah nekat pergi ke sana diam-diam pada 2019. Hantu masa lalu dan memori traumatis membuatnya takut. Namun, saat bersama Aloysius, Suvi merasa lebih tenang sekaligus melankolis.
“Ada perubahan saat ke sana dengan Aloysius, terutama tafsirku terhadap tragedi itu. Ternyata kita masih punya harapan. Kita mulai dari generasi kami, kisah personal kami, persahabatan kami,” katanya.
Dalam salah satu video yang dipamerkan, Suvi dan Aloysius berdiri berdampingan sambil bertelanjang dada di pasar sapi di Madura. Di bahu mereka ada kotak besi dengan simbol sapi khas Madura dan burung enggang khas Kalimantan. Orang-orang menatap mereka, entah karena heran atau alasan lain.
“Kami tak memakai sehelai benang pun di bagian atas saja sudah aneh, belum lagi Aloysius punya tato (simbol) Dayak di tubuhnya,” ucap Suvi. “Tapi, kami mencoba menahan itu dan menguji batas tubuh kami.”
Mereka berdiri begitu saja sambil menerima tatapan orang dan perasaan tak nyaman lantaran ditatap. Menurut Suvi, simbol di bahu mereka menggambarkan beban yang mereka tanggung sebagai generasi kedua penyintas konflik, yakni generational trauma. Jika tidak diolah, trauma dapat berujung ke stigma, diskriminasi, bahkan perpecahan.
Pengalaman tak nyaman yang dialami dua pemuda itu berujung pada rekonsiliasi personal. Keduanya sudah mengonfrontasi ketakutan terdalam masing-masing. Selama itu pula, keduanya saling menjaga dan menguatkan.
”Kami menempuh microhistory lewat kisah kami, pertemanan kami. Mungkin ini yang disebut rekonsiliasi mendasar,” ucapnya. ”Banyak terjadi rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah, para pemimpinnya berjabat tangan, tapi tidak dengan akar rumputnya.”