Pahit dan Manis Perjalanan Ini…
Musisi tur ke luar negeri penuh perjuangan dan pergulatan. Kadang, hasilnya tak seberapa, yang penting bahagia.
Mengemas instrumen, bergegas ke bandara, berdesakan di mobil atau kereta adalah rutinitas musisi menjalani tur. Adaptasi kilat dengan cuaca, kurang tidur, atau kendala bahasa dilakoni saja. Musik racikan mereka, yang sebagian juga ditulis dari kamar tidur, perlu dibawa jauh-jauh ke mancanegara.
Ini bukan adegan dalam film That Thing You Do (1996) atau Almost Famous (2000). Ini cerita nyata yang juga dijadikan etos kerja musisi atau band Indonesia.
Tesla Manaf masih tak menyangka dirinya bisa satu pentas bersama idolanya, Keiji Haino. Dia dan rekannya, Rio Abror, tergabung dalam duo Kuntari, sedang menjalani tur lima titik di Jepang, yakni empat di Tokyo, satu di Yokohama. Perjumpaan dengan Haino itu terjadi di venue bernama Polaris pada Selasa (14/5/2024).
”Aku senang banget bisa main sama Keiji Haino,” ujarnya lewat sambungan telepon dengan tertawa-tawa girang. Yang lebih menyenangkannya lagi, inisiatif kolaborasi itu justru datang dari sang legenda di kancah musik noise itu. Tesla menuturkan, Haino mendengar karyanya ketika Kuntari tur di Jepang setahun lalu.
Baca juga: Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Penampilan bareng Haino bisa jadi salah satu momen penting dalam perjalanan Kuntari kali ini. Belum usai eforia itu, Tesla dan Rio harus menjalani panggung-panggung berikutnya. Berturut-turut, duo yang terbentuk di Bandung ini akan main sampai Minggu (19/5/2024) di tempat berbeda-beda.
Mereka berencana pulang ke Tanah Air pada Rabu. "Mau jalan-jalan dulu ke Kyoto,” ucap Tesla yang diskografi album solonya tak kurang dari sembilan judul ini. Dalam proyek bernama Kuntari, Tesla memainkan bebunyian dari synthesizer dan kornet, sedangkan Rio Abror mengisinya dengan perkusi.
Sebelum menggelandang ke Jepang, Kuntari "berlari-larian" main di 30 titik dalam waktu 35 hari di sembilan negara di Eropa. Mereka main di Belanda, Jerman, Perancis, Denmark, Belgia, Italia, Lituania, Polandia, dan Ceko. Modal utamanya adalah komposisi dalam album Larynx keluaran 2022. Riuh-rendah bebunyian di album itu seolah menggambarkan kesibukan menjalani tur.
Kesibukan sudah terjadi sejak sebelum berangkat, dari rumah kontrakan di celah gang di kawasan Awiligar, Kota Bandung, Jabar. Tesla menyusun dengan cermat cerita dan karakter Kuntari. Himpunan keterangan (press kit) itu dia kirimkan melalui surel ke lebih dari 200 pengelola tempat pertunjukan (venue) di segala penjuru Eropa.
"Banyak banget pengelola venue yang menolak. Ada yang membalas, tapi kasih referensi tempat lain, kirim e-mail lagi. Ada juga teman-teman di Eropa yang bantu kasih saran kontak,” kata Tesla.
Selain menghubungi sendiri venue, Tesla juga menyusun rute perjalanan, menyesuaikan bakal tempat mereka berpentas. Belanda dipilih sebagai negara awalan dan akhiran. Alasannya simpel, ongkos tiket pesawat dari Jakarta ke Belanda paling murah dibandingkan ke negara lainnya.
Maklum, mereka belum di level penampil yang bisa dengan mudah dapat sponsor. Ongkos tiket pergi dan pulang untuk dua orang—mereka berangkat tanpa kru—ditanggung Tesla dari tabungan pribadinya. Kebutuhan lain selama tur, seperti tiket bus atau kereta, penginapan, dan akomodasi dianggarkan dari kas Kuntari. Kekurangannya, mereka pinjam dari salah satu merek pakaian di Bandung. Itulah ”sponsor” satu-satunya, yang kelak ketika tur rampung, uangnya dikembalikan utuh.
Fungsi perancangan perjalanan itu umumnya ditangani oleh agen (booking agent). Namun, saat ini, mereka belum punya itu. ”Kalau ada (booking agent), sih, ya, mau saja. Enggak perlu ribet kayak sekarang,” katanya tertawa-tawa.
Karena mengurusnya sendiri, Tesla jadi harus pintar-pintar bernegosiasi dengan pengelola tempat. Salah satu kesepakatannya adalah garansi bahwa mereka tetap mendapat bayaran berapa pun penontonnya.
Rasa percaya dirinya bahwa musik Kuntari bisa mendatangkan penonton mungkin sama tingginya dengan nada dari tiupan kornet di album "Larynx". Keyakinan itu terbukti. Mereka tampil di arena kecil berkapasitas puluhan sampai seratusan. Penonton yang datang nyaris selalu memenuhi ruangan. Alhasil, bayaran yang mereka terima sering kali melebihi angka dasar garansi.
Energi penonton
Vitalitas dijaga dengan asupan suplemen daya tahan tubuh yang mereka bawa dari Indonesia. Selain itu, mereka memanjakan diri dengan mengudap makanan enak. Mahal enggak apa, asal enak. Tapi lebih besar dari itu, respons para penonton—hanya sebagian kecil orang Indonesia—yang membuat mereka tetap bahagia dan waras.
Baca juga: Bertahan dalam Intaian Stres
Jika Kuntari merancang tur ini tanpa bantuan agen, band Reality Club memanfaatkan betul peran mereka. Pada Maret silam, Fathia Izzati (vokal), Faiz Novascotia Saripudin (gitar), Era Partigo (drum), dan Nugi Wicaksono (bas) menjalani tur selama 25 hari di Amerika Utara. Biaya perjalanan itu disokong sponsor.
”Sponsor utamanya kebetulan pernah kerja sama sebelumnya, jadi bisa langsung approach begitu tahu mau ke Amerika. Timbal baliknya berupa uang, jadi sangat membantu,” kata Andreas Pratama, manajer band ini, Rabu (15/5/2024). Tur mereka dipantik ketika pada Agustus 2023, agen di Amerika memberi tahu adanya animo pada band ini di sana.
Mimpi tur disambut baik. Andre menjelaskan agen itu yang mencarikan promotor atau tempat pertunjukan untuk menyusun jadwal dan alur perjalanan. ”Di Amerika, promotor itu adalah pihak yang punya venue juga biasanya,” ujar Andre.
Proses dilanjutkan dengan menyusun anggaran dan efektivitas selama di perjalanan. Agen memberi opsi menyesuaikan dengan anggaran. Finalisasinya adalah penetapan tempat acara dan tanggalnya. Urusan ini masih disambung dengan pengurusan visa di Indonesia.
Tempatnya kosongan. Kami harus cari vendor peralatan teknis lainnya. Beberapa alat kami sewa sepanjang tur.
Meski menyewa agen, mereka diminta cari manajer tur di AS. Band ini juga menyewa minibus karena menempuh perjalanan darat antarkota. Penginapan dan trailer untuk alat juga wajib diupayakan sendiri. Tak jarang mereka memesan penginapan di tengah perjalanan, seperti ketika main di Sacramento dan San Francisco. Sementara di New York, Chicago, Toronto, dan Los Angeles, mereka menginap di wisma Konsulat Jenderal RI setempat.
Di luar urusan akomodasi, Reality Club harus menerima realitas bahwa venue di AS hanya menyediakan pelantang dan tata lampu. ”Tempatnya kosongan. Kami harus cari vendor peralatan teknis lainnya. Beberapa alat kami sewa sepanjang tur,” kata Andre.
Hasil manis
Pergulatan itu juga dirasakan Baskara Putra, atau bekennya Hindia, yang menuntaskan tur di Jepang pada Februari silam. Bersama timnya, dia bekerja lembur mencari sponsor dalam waktu 1,5 bulan. Meski berhasil menggamit sponsor, Hindia dan timnya tetap mengencangkan ikat pinggang, mengirit pegeluaran.
Semuanya menyambi. Agak banyak energinya terkuras di situ.
Pengiritan ditempuh karena perjalanan itu tidak bisa memberi keuntungan finansial. Sasaran yang mereka kejar adalah promosi. ”Hasil penjualan tiket semua untuk promotor. Ada yang dialokasikan ke transportasi dan sewa alat. Enggak bisa profit karena itu akan mengubah kebutuhan izin,” kata Baskara.
Efisiensi kerja meliputi pembatasan jumlah personel. Jika pentas dalam negeri, jumlah rombongan Hindia bisa mencapai 20 orang. Namun dalam tur ini, anggotanya menciut jadi 11 orang saja. "Semuanya menyambi. Agak banyak energinya terkuras di situ," kata Baskara yang pernah pentas di Australia, Belanda, Singapura, Malaysia, dan Taiwan ini.
Selain tenaga yang terkuras, kendala terbesar mereka adalah bahasa. Padahal, dalam tim, sudah ada tiga orang Jepang. Namun, dari tiga orang itu, hanya satu yang bisa bahasa Inggris. Sementara Baskara dan timnya tak bisa berbahasa Jepang.
Meski penuh kendala, perjalanan Hindia ke Jepang dianggap sukses. Koneksi dengan pelaku musik terbangun. Ada musisi yang mengajak kolaborasi. Ada media Jepang yang meminta jadwal wawancara, tetapi urung terjadi karena keterbatasan waktu.
Manajer Hindia, Yanuar Faisal, bilang, salah satu hasil tur itu adalah kerja sama dengan label rekaman di Jepang. Mereka saat ini sedang membicarakan produk khusus pasar Jepang untuk lagu Hindia.
Reality Club juga puas dengan keringat yang mereka cucurkan di Amerika Utara. Pengalaman itu menjadi bekal di kemudian hari. ”Kami terekspose di sana dan bisa berhadapan langsung dengan industri musik di sana. Ini jadi momen belajar sekaligus memetakan pasar,” kata Andre.
Sementara Kuntari merasa makin yakin bahwa lagu mereka yang cenderung eksperimental punya basis pendengar yang kuat. Hasil finansial pun didapat. Tesla sampai mencuit di pelantar X, ”Fee bersih kemarin dari venue cukup buat makan gue 15 bulan.”
Beberapa pekan ke depan, bisa jadi hasil inilah yang bakal dituai band Indonesia lain yang berencana tur ke luar negeri. Band asal Jakarta, Ali, akan berkeliling Eropa dan berujung di festival terkemuka Fuji Rock di Jepang. Sementara trio Voice of Baceprot akan menjadi band Indonesia pertama yang tampil di panggung bergengsi Glastonbury Festival di Inggris.
Pengamat musik Wendi Putranto menilai fenomena band Indonesia bersusah-payah menggelar tur ke luar negeri, umumnya demi menangguk pengalaman. Sebab, menjalani tur di Indonesia dalam waktu padat membutuhkan biaya lebih besar.
”Belum ada venue di Indonesia yang rutin menggelar pertunjukan khusus musik orisinal. Kafe atau bar biasanya memanggungkan band cover version sebagai pengiring untuk makan dan minum. Kalau cuma khusus dari musik, venue ini belum sanggup menghidupinya,” kata Wendi yang juga mengelola arena musik di M Bloc ini.
Oleh karena itu, tur sejumlah kota di Indonesia umumnya dilakukan oleh band yang disokong sponsor. Atau, kata Wendi, malah berseberangan sekalian, tur mandiri gaya punk atau metal di ruang-ruang yang tidak dikhususkan untuk musik.