Menangkap Kilau Cahaya Asia di JAFF
JAFF 2023 berlangsung lagi selama sepekan dengan tema ”Luminescence” atau pendaran cahaya dari perkembangan film Asia.
Sudah empat hari, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2023 di Yogyakarta berjalan meriah. Para penikmat film dari lintas kota bahkan negara berduyun-duyun memadati areal bioskop Empire XXI Yogyakarta yang menjadi titik pusat acara tersebut selama beberapa tahun belakangan. Pergelaran jajaran film Asia ini sendiri telah menginjak usia 18 tahun, sejak diselenggarakan pertama kali pada 2006.
Dari penontonnya yang hanya bisa dihitung jari, kini JAFF memiliki ribuan penonton yang militan terjun dalam arena perang tiket. Tiket beberapa film bahkan langsung ludes pada hari pertama pembelian tiket dibuka secara daring.
Film tersebut antara lain Women from Rote Island (2023) yang meraih gelar Film Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2023, Jatuh Cinta seperti di Film-film (2023), 13 Bom di Jakarta (2023), 24 Jam bersama Gaspar (2023), Monster (2023), dan Perfect Days (2023), film produksi kolaborasi Jepang dan Jerman yang meraih Prize of The Ecunemical Jury di Festival Film Cannes.
Dua film, yakni Jatuh Cinta seperti di Film-film dan Perfect Days, sudah diputar pada hari kedua dan ketiga penyelenggaraan. Bisa ditebak, antrean menuju studionya sudah panjang mengular sekitar 20 menit sebelum pintu studio dibuka. Maklum saja, JAFF memang tidak menyematkan nomor kursi sehingga penonton bebas menentukan duduk di mana saja sesuai dengan urutan masuk.
Meski begitu, sebanyak 205 film dari 25 negara Asia Pasifik yang dikurasi dari 600 lebih film yang masuk ini memiliki kekuatan ceritanya masing-masing. Tiap film mampu bersinar dengan gaya penceritaan dan nilai yang dibawa, tanpa lagi mengandalkan nama besar pemain atau sutradara. Hal ini pula yang membuat tema ”Luminescence” tepat diangkat pada tahun ini.
Dalam sambutan pada malam pembukaan festival, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengungkapkan tema tahun ini sangat memukau karena mengangkat cahaya sinema Asia karena kilau internalnya. "Karya dihadirkan karena memang nilai internalnya yang kuat. Bukan karena pembuat, bintangnya, atau penghargaan yang didapat sebelumnya,” ujar Hilmar.
Direktur Festival JAFF Ifa Isfansyah menjelaskan, pemilihan tema ini memang sejalan dengan perkembangan film Asia yang makin bersinar dan mencuri perhatian.
”Karakteristik film Asia akhir-akhir ini semakin dilihat dan semakin kuat. Jadi, sudah waktunya menjadi sumber cahaya untuk kita sendiri, baik dari sinema juga untuk lingkungan sekitar,” ujar Ifa.
Hal ini terpancar pada film pembuka milik sutradara asal India, Ashish Bende. Filmnya berjudul Autobio-Pamphlet (2023) punya bangunan kisah yang diduga. Sekilas membaca sinopsis disebutkan tentang kisah cinta seorang anak SD pada teman sekelasnya. Namun, ketika menonton filmnya, bingkai besarnya memang tentang Ashish kecil yang jatuh cinta kepada Srushti, teman sekelasnya dari SD, hingga berakhir menikah.
Namun, apa yang ingin disampaikan dalam plot satir sepanjang 150 menit ini sangat mendalam. Dari kritik tentang kasta di ajaran Hindu India, perbedaan agama, masalah kemiskinan struktural, perang yang dipicu ambisi para pemimpin dunia, hingga krisis iklim. Semua dipadukan dengan gaya penceritaan yang satire dan mengocok perut. Tanpa lagu atau tarian khas film India.
Pada hari kedua, ada deretan film Hong Kong lewat program Hong Kong Film Gala Presentation yang merupakan kolaborasi dengan Asian Film Awards Academy. Bahkan para pembuat dan pemain dari dua film yang ditayangkan, yaitu A Light Never Goes Out (2023) dan In Broad Daylight (2023), turut dihadirkan untuk bisa berinteraksi dengan para penonton seusai pemutaran.
Dua film ini pun bernarasi mengenai problematika yang dihadapi masyarakat Hong Kong, yaitu persoalan hukum dan kemiskinan. Kemudian ada juga film Malaysia, La Luna (2023), yang menggelitik, tapi tetap memuat persoalan sosial di sekitarnya. Kelindannya pun lebih pada friksi masyarakat dengan norma sekitar.
Berlanjut terus pada hari ketiga dan keempat dengan film panjang ataupun pendek yang semakin berani mengangkat isu sosial dari negara masing-masing.
Kompetisi
Ragam film yang ditayangkan selama sepekan ini masuk dalam dua program, yakni program kompetisi dan nonkompetisi. Program kompetisi ini akan memperebutkan sejumlah penghargaan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sembilan film panjang terpilih berkompetisi di program Main Competition untuk memperebutkan Golden dan Silver Hanoman Awards. Beberapa di antaranya adalah Evil Does Not Exist (2023) dan Perfect Days (2023), yang awal bulan ini memenangi Grand Jury Award dan Best Film di Asia Pacific Screen Awards 2023. Kemudian ada Shayda (2023) dan The Monk and The Gun (2023), film-film perwakilan Australia dan Bhutan untuk The Best International Feature Film, Academy Awards 2023.
Pada kompetisi film pendek Light of Asia, 14 film akan memperebutkan Blencong Awards. JAFF juga akan memberikan penghargaan kepada para sutradara yang menampilkan karya film panjang pertama dan keduanya lewat kompetisi Netpac Awards.
Selain itu, delapan film Indonesia yang tayang tahun ini akan berkompetisi dalam program JAFF Indonesian Screen Awards untuk memperebutkan penghargaan Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Naskah Terbaik, Pemeran Terbaik, dan Sinematografi Terbaik.
Dalam program nonkompetisi, JAFF menayangkan seleksi film-film terbaik Asia Pasifik. Sebanyak 13 film panjang dari sembilan negara dan 19 film pendek dari sembilan negara akan tayang dalam program Asian Perspectives, tiga film panjang Indonesia dalam program Indonesian Film Showcase, dan 12 film pendek Indonesia dari sutradara baru dalam program Emerging.
JAFF juga memiliki kompilasi 12 film pendek dari Sumatera dengan tajuk Focus on Sumatra Island with Kenduri Serumpun Melayu dalam program Layar Komunitas, serta kompilasi 10 film pendek dalam program Layar Indonesiana.
Masih dalam program nonkompetisi, JAFF Ke-18 menampilkan eksplorasi sinema yang baru melalui kompilasi lima video musik Efek Rumah Kaca dengan judul Rimpang Dilayarkan dan Dirayakan yang mengguncang pada hari keempat.
Kolaborasi
Keberlanjutan festival film ini tak lepas dari kolaborasi dengan para pelaku industri perfilman. Tahun ini, JAFF menggandeng platform Bioskop Online untuk menyelenggarakan roadshow sebelum hari pelaksanaan dan pemutaran film JAFF di platform Bioskop Online.
”Lewat berbagai kolaborasi ini, kami berharap film Indonesia akan semakin berkembang dan menemukan fans yang lebih luas lagi, tidak hanya yang hadir di Jogja, tapi di seluruh Indonesia, malah internasional,” ujar CEO Visinema Group Angga Dwimas Sasongko yang juga menaungi Bioskop Online.
Tidak hanya program penayangan, JAFF juga mengadakan beberapa program kolaboratif berupa lokakarya. Program Netflix Series Pitch Lab adalah program pitching yang akan memilih sepuluh proposal proyek terbaik dari produser dan sutradara Indonesia. Proyek yang terpilih akan dimentori oleh Kamila Andini, Yandy Laurens, Al Zaidy, dan Gita Fara, dan akan mendapat kesempatan untuk digarap oleh Netflix. Selain itu, akan ada sesi berbagi yang akan dilaksanakan oleh Netflix selama JAFF berlangsung.
Sejumlah kelas lokakarya dan bincang-bincang dengan topik menarik juga menjadi sesuatu yang menarik minat para pengunjung JAFF tahun ini. Salah satu yang diincar dan dipadati adalah acara bincang-bincang dengan Christine Hakim yang dianugerahi Honorary Award oleh JAFF.
”Kolaborasi sangat penting untuk membangun ekosistem perfilman yang kuat dan sehat. Industri kita ini butuh lebih banyak pertemanan,” ungkap Direktur Program JAFF Alexander Matius.
Festival pun menjadi salah satu cara untuk menguatkan ikatan, mengasah kemampuan, dan mengembangkan jaringan.