Waspada yang Palsu-palsu
Jumat (1/9/2023) malam, di Synchronize Fest, lagu “Badut,” menjadi ilustrasi yang pas di tengah memanasnya hari-hari menjelang tahun politik 2024.
Dedengkot musik Tanah Air Iwan Fals dan Sawung Jabo main sepanggung di Synchronize Fest di Gambir Expo, Kemayoran, Jakarta mengingatkan untuk beretika menjelang kontestasi politik 2024 nanti. Ada penyanyi yang juga anggota legislatif memberi sepatu dari panggung. Sementara ada rumor bahwa Seringai main di arena paling kecil.
“Banyak politisi palsu. Yang korupsi juga maju,” pekik Jabo lantang dari panggung. Ia dan Iwan baru menuntaskan lagu “Badut”. Sebelumnya, Iwan hanya ditemani band pengiringnya memainkan “Belum Ada Judul” dan “Ya atau Tidak”. Ini baru hari pertama, Jumat (1/9/2023), tapi seruan politis sudah terdengar tajam.
Penonton menyambut lagu “Badut” dengan gelora yang sama. Mereka berjingkrak, meneriakkan lirik “Dut-badut-badut-badut-badut-badut-badut jaman sekarang/Mong-omong-omong-omong-omong-omong-omong-omong sembarang/Di televisi, di koran-koran/Di dalam radio, di atas mimbar.” Tangan-tangan terlihat meninju langit.
Malam itu lagu “Badut,” menjadi ilustrasi yang pas di tengah memanasnya hari-hari menjelang tahun politik 2024. Saban hari, atraksi para politisi mendominasi ruang hidup warga. Mereka berebut simpati dan perhatian demi kekuasaan.
“Aku, kan, enggak tinggal di sini. Aku ngungsi dulu. Ini aku mau lihat Indonesia udah seperti apa. Ternyata masih sama aja,” imbuh Jabo yang kini berdomisili di Melbourne, Australia sebelum memainkan “Bunga Trotoar”.
Penonton yang tergelak dengan humor satir itu jadi bersorak kegirangan. Kemunculan Iwan dan Jabo malam itu menarik perhatian. Dibungkus dalam sesi pertunjukan khusus di salah satu panggung terbesar bernama Dynamic Stage. Penonton, yang rata-rata masih muda itu berjubelan. Iwan dan Jabo adalah dua personil band Swami dan Kantata Takwa, band yang ketika dibentuk, sebagian besar penonton malam itu belum lahir.
Lirik-lirik Swami kebanyakan mengkritisi situasi sosial politik di masa itu. Dari lima anggota Swami, hanya Iwan dan Jabo yang masih hidup. Lagu “Bongkar” adalah salah satu yang mencuat dari album pertama mereka. Iwan sering membawakan lagu itu di panggung. Rasanya nyaris semua warga Indonesia berusia di atas 20 tahun tahu lagu itu. Jadi tak heran, gelora penonton membara ketika lagu itu dibawakan. Larik “Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan” pun masih faktual.
Iwan menceritakan perihal pemilihan frasa “penindasan serta kesewenang-wenangan” dalam lagu itu. “Awalnya Aku menulis (tragedi) Jepara, (penggusuran) Kedungomobo, dan Kacapiring. Enggak terima dia (Jabo). Penindasan ada di mana-mana, sampai Afrika juga. Problem itu sampai sekarang masih ada,” kata Iwan.
Setelah “pelajaran sejarah singkat” itu, Jabo meminta penonton untuk larut lagi dengan kebahagiaan. “Kalian berjogetlah untuk menghilangkan penderitaan. Kami datang ke sini bukan untuk menghibur, tapi untuk bersenyawa dengan kalian,” ucap Jabo dengan gitar yang disandangnya. Lantas meluncurlah lagu “Hio” dari album Swami 2. Samar-samar di belakang arena penonton tercium aroma sayur lodeh entah dari mana. Usai lagu itu, mereka memainkan lagu “Kesaksian” yang kontemplatif dari album Kantata Takwa. Larik “kenyataan harus dikabarkan/aku bernyanyi menjadi saksi” mendapat ruhnya ketika terlihat gambar di ponsel seorang penonton perempuan bertuliskan “Usut tuntas Tragedi Kanjuruhan”. Susah membendung air mata.
Sumbang pikiran
Set sepanjang satu jam itu dipungkasi dengan nomor populer “Bento”. Bulan purnama di atas Kemayoran menjadi saksi pertemuan dua karib yang sama-sama karismatik itu.
Usai berpentas, Jabo menjelaskan peran penting musisi. “Jadi musisi itu sumbangan pikirannya pada politik. Kami cuma bisa menjadi saksi dan memberi masukan. Yang penting memberinya dengan ikhlas, bukan cari perhatian. Ini untuk kemajuan bangsa ini, Indonesia,” kata Jabo di sesi jumpa pers.
“Jangan jadi politikus palsulah,” imbuh Iwan. Merujuk pada situasi politik yang hangat hari-hari ini, Iwan mengatakan betapa rakyat sedang disuguhi ketidaksetiaan berpolitik.
“Kalau politisinya enggak bener, hidup kita bisa rusak nanti. Kejadian (perang) Ukraina, Palestina, Israel itu (hasil) keputusan politik. Kita butuh orang-orang yang bersetia dengan komitmen. Saya harap, ini tahun politik, ya beretikalah,” kata Iwan.
Pemuncak hari pertama itu adalah penampilan Band Soneta pimpinan Rhoma Irama yang berkolaborasi dengan disjoki Dipha Barus. Rhoma menyatakan pendapat yang mirip-mirip dengan perkataan Iwan dan Jabo. “Saat ini memasuki tahun pemilu. Hati-hati dengan provokator. Berbeda (pandangan) boleh, pecah jangan. Hati-hati praktik adu domba,” kata dia sebelum membawakan lagu “Adu Domba”.
Irama dangdut racikan khas Soneta, yang telah beberapa kali tampil di Synchronize ini, berpadu dengan racikan ritmis elektronik racikan Dipha Barus. Lagu-lagu seperti “Darah Muda”, “Azza”, dan “Mirasantika” sontak jadi disko dangdut. Muda-mudi bergoyang menyongsong pagi. Di panggung yang sama sebelum Iwan-Jabo tampil, penyanyi Kris Dayanti membawakan lagu “Cobalah untuk Setia” yang romantis itu. Dia diiringi band pimpinan Erwin Gutawa. Penonton juga ramai menyaksikan penampilan anggota DPR RI ini. Busananya berkilauan. Di antara lagu, KD memberi sepatu yang ia kenakan untuk penonton. Beberapa lagu lain yang dia bawakan yaitu “Yang Kumau”, “Mencintaimu”, dan “Pilihlah Aku”. Hmm, sudah minta dipilih (lagi) rupanya…
Berjubelan
Kejutan besar sukses disuguhkan band rock Seringai. Namanya tak tercantum di daftar penampil. Tapi beberapa hari sebelum Synchronize dimulai, Seringai menyebut bakal ada “panggung rahasia” sembari memberi petunjuk lokasinya. Petunjuk itu mengarah ke festival ini. Di papan jadwal yang terpampang di tengah arena festival tertera nama “Bukan Seringai” dalam tulisan tangan.
Beberapa orang mulai menunggu di area Gig Stage, panggung dalam ruang yang sempit, sejak setengah jam sebelum pertunjukan—beberapa pakai kaus Seringai. Terkaan itu betul. Tepat pukul 18.30, Ricky, Edy Khemod, Sammy, dan Arian menyeruak di antara kerumunan penonton. “Ketahuan, deh,” celetuk Arian.
Tipu-tipu itu tentu gurauan belaka. Tapi, itu seperti membetulkan dugaan bahwa rumor bisa dilahap siapa pun dan dianggap benar. Kebetulan rumor tampilnya Seringai mewujud nyata, mematahkan lagu “Disinformasi” yang pernah mereka ciptakan. Rumor kali ini membikin senang. Di kali lain, apalagi di masa banjir informasi, bisa saja itu menyesatkan.
Selama penyelenggaraan Synchronize—sejak 2016, Seringai selalu tampil di panggung besar berkapasitas seribuan. Kali ini cuma untuk seratusan orang saja. Acungan tangan pada seruan “Individu merdeka” di lagu “Mengadili Persepsi” bergesekan dengan keringat. Pengap dan berisik. Di luar ruangan, orang berjubel tak bisa masuk.
Gelombang manusia terasa lebih padat lagi pada hari kedua, Sabtu (2/9/2023). Sejak siang, antrean memanjang di pintu gerbang. Band ska asal Yogyakarta Shaggydog menggoyang pengunjung yang berpanasan pada pukul 13.45. Vokalisnya, Heru Wahyono masih main lagi bersama duo dangdut NDX AKA di ujung malam.
Salah satu penampilan spesial pada Sabtu adalah pentas perayaan God Bless 50. Pentas yang ditata pengarah pertunjukan Edy Khemod ini akan menampilkan musisi-musisi beda generasi, beda genre, sebut saja band Kelompok Penerbang Roket, solois Ardhito Pramono, Isyana Sarasvati, dan Soegi Bornean. Ada pula pentas Konser Petualangan Sherina yang menostalgiakan pengunjung pada film berjudul sama keluaran 23 tahun lalu.
Nama-nama besar masih akan menghibur pada hari terakhir, Minggu, seperti Slank, Noah, Tulus, Ungu, dan grup legendaris Bimbo bersama Yanti Bersaudara. Ada pula kolaborasi spesial antara band Matajiwa dan dalang Sujiwo Tejo, penampilan musisi masa kini berkumpul menyanyikan lagu-lagu Naif. Karcis seharga Rp 450.000 masih tersedia di lokasi. Bersenang-senanglah sebelum berhadapan dengan yang palsu-palsu di tahun pemilu.