Musik tanpa vokal atau instrumentalia adalah tradisi yang kuat di ranah jazz. Improvisasi bunyi makin lebar dieksplorasi. Di ajang Java Jazz Festival 2023, beberapa penampil menyuguhkannya.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·6 menit baca
Musik jazz identik dengan kebebasan dan improvisasi bunyi. Oleh karena itu, adalah lumrah pertunjukan jazz hanya berisi musik tanpa vokal, atau istilahnya instrumentalia. Para musisinya berkomunikasi lewat bunyi dari instrument masing-masing, dan sampai ke penontonnya. Di ajang Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2023 pada pekan lalu, tradisi ini dipertahankan dalam beraneka rupa.
Senja baru menuju malam pada Sabtu (3/6/2023). Antrean terbentuk di depan pintu aula D1, atau diberi nama Teh Botol Sosro Hall. Antrean memanjang hingga area terbuka di sela-sela anjungan produk sponsor festival. Beberapa menit sebelum pukul 19.00 dua pintu aula itu dibuka. Antrean buyar. Yang di belakang setengah berlari demi mendapat kursi terbaik. Mereka mau menonton pianis remaja Joey Alexander, kelahiran Bali yang merantau ke New York, AS.
Ini adalah penampilan kedua Joey di festival yang memasuki tahun penyelenggaraan ke-18 di tahun ini. Dulu, dia tampil ketika masih disebut sebagai “pianis cilik” pada 2014, sebelum dia dan keluarganya bermigrasi ke Amerika Serikat. Kini, dia datang lagi setelah remaja dan telah menghasilkan enam album penuh.
Setelah merantau dan tampil di Gedung Putih serta masuk nomine Piala Grammy, Joey telah beberapa kali tampil di negara kelahirannya ini. Namun, bermain di festival jazz besar seperti Java Jazz Festival (JJF) rasanya berbeda dibandingkan main di konser tunggal. Joey membaur di kalangannya; musisi jazz kawakan serta penonton yang merindukannya.
Wajar jika aula berkursi itu penuh. Sekitar 5.000 pasang mata ingin menonton langsung kepiawaiannya pada tuts piano dan komposisi lagunya. Sekitar tujuh komposisi yang dia bawakan adalah karya orisinalnya. Dia ditemani John Davis pada drum, dan Kris Funn pada bas. Ya, hanya bertiga saja di panggung yang lebar itu.
Davis dan Funn naik lebih dahulu, mendekati instrumen masing-masing. Joey menyusul, lalu sedikit membungkuk kepada penonton, lantas duduk di hadapan piano gran Steinwey & Sons yang hitam berkilauan itu. Sang pemimpin trio itu tampil kasual dengan kemeja bermotif serta celana panjang kecokelatan.
Lagu pertama ”Warna” dari album berjudul sama dibawakan sebagai pembuka, disusul dengan ”Winter Blues” dari album teranyar Origin (2022). Sepanjang dua nomor itu, terlihat kematangan Joey sebagai pianis maupun pemimpin band. Davis dan Funn seringkali melihat Joey, berusaha membaca dinamika yang hendak disajikan pianis berkacamata itu.
Setelah dua nomor pertama ini, barulah Joey berdiri menghampiri mikrofon di sampingnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada penonton karena memilih hadir di tempat itu di antara banyak penampil lain. Suaranya terpatah-patah, seperti canggung berbicara di hadapan publik. ”Malam ini saya akan membawakan musik saya sendiri di panggung ini,” katanya.
Sudah. Kalimatnya pendek saja. Dia kembali ke bangkunya, memberi aba-aba pada Davis dan Funn untuk memainkan nomor ”Angel Eyes”, masih dari album teranyarnya. Di tengah nomor ini, Joey bereksperimen dengan membunyikan organ Fender Rhodes dan Mellotron. Dia juga menyelipkan potongan nada dari lagu ”Kasih Putih” yang dipopulerkan mendiang Glenn Fredly—pernah tampil bareng enam tahun lalu. Lagu ini jadi berasa lebih hidup di panggung.
Imajinatif
Nomor lainnya adalah ”Bali” yang dicuplik dari album Eclipse (2018). Namanya komposisi tanpa vokal, imajinasi pendengarnya bisa bebas membayangkan Bali yang dimaksud di lagu. Musiknya yang ceria seolah menyiratkan pantai tropis di Pulau Dewata. Musiknya jadi punya rasa, yaitu rasa segar layaknya jus nanas di tepi pantai Bali yang dimonopoli hotel mewah. Namanya juga imajinasi.
Karya Joey lainnya yang memantik imajinasi adalah nomor ”Remembering” masih album Origin. Joey membuka lagunya dengan bunyi organ Rhodes, seperti menyiratkan ingatan yang samar. Lagu ini, kata Joey, dia tulis untuk mengenang perjalanan kariernya sebagai musisi.
Durasi penampilan trio ini satu jam persis. Di ujung, Joey kembali mengucap terima kasih. Mereka membungkuk kepada penonton. Ketiganya berangkulan. Emosi di panggung tuntas. Meski minim kata-kata, kehangatan para personelnya begitu terasa.
Superioritas musik dibandingkan kata-kata juga dipancarkan oleh Junko Onishi Quartet yang main di aula Brava Radio Hall. Aula berkursi ini lebih kecil dibandingkan aula lainnya sehingga kualitas akustiknya lebih bagus. Junko dan kawan-kawan tampil pukul 23.00 ketika panggung gegap-gempita Cory Wong dan MAX usai.
Setali dengan Joey Alexander, kuartet pimpinan pianis Junko Onishi ini minim kata-kata, bahkan jauh lebih irit. Perempuan lulusan Berklee College of Music pada 1989 ini, sebagai pemimpin band, bahkan tak menyebutkan judul tiap komposisinya kepada penonton. Mereka seolah hadir di panggung untuk musik saja, tak lebih. Posisi duduk Onishi bahkan membelakangi penonton.
Itu tidak salah. Komposisi jazz mereka seperti ”berbicara” banyak. Piano yang dimainkan Onishi terasa ”cerewet” sebagai penutur cerita lagu. Tuturan itu dipertebal dengan isian kontrabas. Di sisi kiri panggung ada dua orang yang masing-masing memainkan drum dan set perkusi. Dua perangkat ini yang ”membakar” komposisi Onishi.
Pada beberapa nomor, drum ala Barat seperti berduel dengan perkusi, saling unjuk kekuatan. Di bagian lain, keduanya kompak memainkan pola yang sama. Pukulan stik pada drum berbalut plastik dilengkapi dengan pukulan tangan pada konga atau jembe berbalut kulit lembu. Keriuhannya magis.
Sesi perkusi amat menonjol pada penampilan Onishi dan kawan-kawan. Dinamika lagu dimainkan sedemikian rupa. Tempo lambat merayap menjadi cepat, dan ketika lagi kencang-kencangnya, lagu usai begitu saja. Tentu saja, aksi ini memantik riuh dan tepuk penonton. Seru sekali.
Eksperimental
Sebelumnya, di aula yang sama, dua anak muda lulusan Berklee College of Music, yaitu basis Jason Mountario dan Kelvin Andreas pada drum, bergabung dengan pianis Sri Hanuraga. Mereka bertiga memainkan lagu-lagu instrumentalia dari album perdana berjudul Love Is.
Jason, sebagai pemimpin band berdiri di tengah. Rambut gondrongnya sering menutupi mukanya. Meski tertutup rambut, permainan jari pada basnya presisi. Komposisi lagu-lagu mereka cenderung rumit dan riuh.
Lagu penutup ”Forever and Ever”, misalnya, dimulai dengan nuansa melankolis. Nada piano dari Sri Hanuraga mengalun sedih, mengingatkan pada lagu-lagu Radiohead album Kid A. Permainan piano Aga, panggilannya, berada di ranah musik klasik. Sementara Jason, yang sudah berganti memakai bas bersenar empat seperti basis band rock psikedelia. Dari sudut kanan, pukulan drum Kelvin mempertemukan mereka berdua dalam gaya jazz. Eksperimentasi bas dan piano dijaga oleh drum. Ini trio menarik yang layak dapat perhatian lebih besar di waktu mendatang.
Di panggung ruang terbuka, Batavia Collective memanaskan sore hari. Trio ini bereksperimen dengan bebunyian dari dua synthesizer dan satu drum. Donny Joesran memimpin dengan nada dari kibornya. Sementara Kenny Gabriel banyak memainkan bunyi, termasuk bunyi bas dari perangkatnya. Nada tipis yang keluar dari synthesizer Behringer DeepMind6 besutan Kenny, seperti suara-suara lembut di dalam kepala.
Kelindan bunyi keluaran Kenny dan Donny dilengkapi dengan pukulan drum dari Elfa Zulham. Ketiganya menghasilkan musik yang cenderung modern dengan balutan funk dan jazz kontemporer. Penampilan pada sore itu diperkuat dengan saksofonis Kuba Skowronski yang membuat melodinya terkesan abstrak, tapi mengasyikkan.
Meski kurang diminati, suguhan musik seperti dari Batavia Collective itu membuka ruang-ruang baru bagi kancah musik. Keberanian bereksperimen di masa lalu seperti yang dimainkan Art Blakey atau Miles Davis, misalnya, adalah warisan berharga pada wajah jazz hari ini. Jadi, memberi panggung pada jazz tanpa vokal bukan sekadar meneruskan tradisi, melainkan juga membentuk warna baru di kemudian hari. Dengaran pengunjung juga beragam.