“Guru didik orang jadi dokter, namun tak bisa berobat. Guru didik orang jadi pilot, namun tak bisa naik pesawat,” ucap para pemain berbarengan. Drama bertajuk "Mencari Bung" itu juga menggaungkan otokritik terhadap guru.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Ikatan Guru Indonesia Flores Timur dan Nara Teater mempersembahkan “Mencari Bung” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Nun jauh dari Nusa Tenggara Timur, para pemainnya mengejawantahkan semangat dengan merogoh kocek sendiri, bahkan tak segan untuk berutang.
Sekitar 10 sosok bersetelan hitam menjerit-jerit. Mereka mempertanyakan eksistensi mereka dengan tatapan kosong dan tanpa ekspresi. “Siapa kami? Di mana kami? Ke mana kami?” ujarnya berulang-ulang yang mengawali pertunjukan tersebut, Jumat (25/11/2022).
Mereka meraung dengan kalut, mengernyitkan dahi, dan berputar-putar, hingga dua sejoli yang menjinjing tembikar besar, mendekat dengan perlahan. Air dituangkan dari nawing atau wadah bambu khas Flores dan tubuh-tubuh itu kembali bangkit.
Mereka membuka keluh kesah guru honorer dengan kekasihnya. Niat mereka membangun mahligai rumah tangga terhalang penghidupan yang kembang kempis. “Keluargamu menuntut mahar dua batang gading, sembilan kuda, dan uang Rp 100 juta,” ujarnya.
Ayah laki-laki itu hanya penyadap tuak yang membiayai kuliah anaknya tanpa peduli siang atau malam, bahaya, dan hujan. “Sialnya, selama tujuh tahun jadi guru honorer, gajiku tak beranjak dari angka lima ratus ribu per bulan. Apa aku harus menambah beban orangtuaku yang kian tua?” ujarnya.
Perempuan itu tak sudi datang lagi setelah menangis dan berlalu. Calon mempelai pria mencurahkan kegalauan kepada orangtuanya. “Aku menyesal jadi guru. Kalau aku gubernur, anggota DPR, kontraktor, atau apalah, mungkin bisa mengubah takdir. Tentu mahar bisa kutanggung,” ujarnya.
Ayah yang bijak itu mengungkapkan kebanggaan. Seraya tersenyum, ia meyakini anaknya tak bakal bisa banyak mencuri dari gaji sekecil itu. “Kalau kau jadi bendahara BOS dan bermain mata dengan kepala sekolah, itu jauh lebih sakit,” ucapnya.
Dalam kesempatan berbeda, sepasang perempuan berdesas-desus soal nasib guru yang mengenaskan bagai fiksi. Mereka mendidik muridnya, namun tak bisa jadi teladan. “Jangankan honorer, murid negeri pun naik pangkat ada cara mainnya supaya cepat,” ujarnya.
Perempuan lain meminta rekannya membawa sekantong kacang tanah, sekilo kacang hijau, sebotol arak Lamahelan, dan dua bungkus rokok impor. “Jangan lupa pulsa Rp 100.0000. Dijamin lancar. Jangan remehkan operator sekolah. Bisa macet tunjangan sertifikasi kalau satu angka saja saya hapus,” katanya.
Betapa guru tak berdaya dengan gaji yang bikin merana sekaligus diperdaya koleganya. Pendidik diimpit problem internal dan eksternal. “Demi harga beras yang terus melonjak. Demi bahan bakar yang terus membakar. Demi bunga pinjaman yang tak turun-turun. Demi mimpi yang tinggal mimpi,” ujar mereka.
Mereka berjalan tertatih-tatih lalu terkulai sembari terus merapal rintihannya. Lantunan para pemeran, “Hymne Guru”, terdengar satir. Drama selama lebih kurang 1,5 jam itu tak hanya menarasikan ironi guru-guru domestik, melainkan nasional.
“Guru didik orang jadi dokter, namun tak bisa berobat. Guru didik orang jadi pilot, namun tak bisa naik pesawat,” ucap para pelakon bersama-sama. Pergelaran itu tak sekadar menggaungkan keresahan atas kehidupan guru, tetapi juga otokritik terhadap tabiatnya.
Sentilan-sentilan soal menyalin skripsi, meminta anak belajar sementara guru malah asyik main kartu, dan beli kupon putih, juga berseliweran. “Saya lebih sering baca iklan sampo, sabun kecantikan, dan daftar harga di toko daring. Kalau saya penggemar telenovela,” kata beberapa pemain silih berganti.
Tak urung, anak-anak muda yang apatis bermain media sosial sambil berswavideo. Mereka berjoget-joget seheboh mungkin diiringi entakan lagu disko. Limbah-limbah informasi merasuki benak saat mereka menggeser-geser tampilan layar gawainya.
Hipokrisi pejabat tak ketinggalan diketengahkan dengan memuja guru bak dewa penyelamat, membagi sembako dan lembaran merah, hingga meluncurkan program berlabel simpati. “Mereka harus tetap miskin. Jangan sampai pintar. Nanti, melawan kita,” ujar perempuan berbaju necis.
Piknik berkedok perjalanan dinas, berbasa-basi mengagumi eksotisme, mengasihani kemiskinan, hingga mencucurkan air mata buaya, dilancarkan. “Mirip sirkus. Persis seperti zaman kolonial. Kemiskinan objek menjanjikan,” ucap mereka bergantian.
Menghamba jabatan
Judul lakon itu diadaptasikan dari pencarian guru-guru untuk menemukan pelita yang mewujud figur berjas putih, berpeci, dan berorasi dengan ulung. Tanpa perlu menerka, penonton kontan mengerti jika tokoh berwibawa itu Presiden Soekarno yang kerap disapa Bung Karno.
“Jangan jadi penjilat. Supaya tampak bersih ke atas dan sukses dengan menindas. Menginjak dan menipu. Aku datang untuk memanggil Bung Hatta dan Ki Hadjar Dewantara,” katanya. Ia sungguh prihatin menyaksikan pendidikan yang menjelma proyek bisnis dan massal.
Sutradara “Mencari Bung”, Silvester Petara Hurit, hendak menyodorkan simbolisme pendiri bangsa yang melawan penjajah tersebut. Sejatinya, bibit-bibit kolonialis dengan inlander ternyata masih menyebar dengan mereka yang tak lagi ewuh pekewuh untuk menghamba kepada jabatan.
Tontonan tersebut berawal ketika rombongan Ikatan Guru Indonesia (IGI) berkunjung ke Flores Timur, pertengahan tahun 2022. Mereka disuguhi “Mencari Bung” dan terpukau. “Naskahnya masih kasar, tapi kami diminta tampil di Jakarta pada Hari Guru Nasional. Jadi, teman-teman dilatih lagi,” katanya.
Lintang pukang mereka untuk menyempurnakan ekshibisinya merentangkan benang merah dengan nyawa “Mencari Bung”. Pemeran-pemeran bermukim di Pulau Solor, Adonara, dan Flores. Guru-guru tersebut pun berlatih di taman, pantai, dan lapangan.
“Kami bergantian menyeberang laut. Belum lagi, kalau gelombang sedang tinggi, hujan, dan angin kencang,” ujar Silvester. Beberapa guru juga mengendarai sepeda motor hingga dua jam. Mereka saling bantu dengan merogoh kocek masing-masing.
“Kami ke Jakarta dibiayai IGI. Enggak punya sponsor. Itu pun, kami minta komunitas Flores Timur, Titehena, membantu menjual kaus supaya bisa balik dengan pesawat,” katanya. Ia masih berupaya mencukupi ongkos pulang, bahkan jika perlu berutang untuk bertolak pada 27 November 2022.
Martinus Beluyang Sabon (32) yang ikut bermain dalam “Mencari Bung” harus menyeberang berkali-kali dari Adonara ke Larantuka. “Latihan selama enam bulan setiap Selasa dan Sabtu. Pakai uang sendiri. Enggak dapat honor tetap. Biaya sekali pergi pulang sekitar Rp 50.000,” katanya.
Guru SMP Negeri Panca Marga Adonara itu termotivasi untuk terlibat dalam “Mencari Bung” agar dapat berbagi pengalaman dengan murid-muridnya. “Saya ingin anak-anak juga berteater,” ujar warga Desa Mangaaleng, Kecamatan Kelubagolit, Flores Timur, tersebut.