Sejalan keheranan Cak Lontong dan Akbar menemukan banyak mantan pejabat tinggi, terselip pesan tentang mereka yang tetap menyimpan kartu truf untuk saling berintrik. Rahasia-rahasia dieksploitasi demi memenjarakan lawan.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Indonesia Kita menyelenggarakan ”Orang-orang Berbahaya” untuk mengajak penontonnya mewaspadai berbagai kerawanan tahun-tahun mendatang. Pasangan kreatif pergelaran itu, Butet Kartaredjasa dan Agus Noor, menyajikan plot segar lewat roman detektif.
Pementasan dibuka dengan sosok-sosok berbaju putih yang menari, melompat, dan melangkah mundur maju. Mereka menggiring tokoh berbaju kuning yang menyeret langkahnya. Ia tewas tertelungkup seusai pistol yang diacungkan eksekutor garang, menyalak nyaring.
Sepasang detektif tiba. Audiens tersenyum-senyum lantaran yang nongol Cak Lontong dan Akbar. Bisa ditebak, duo komika itu melancarkan dialog yang mengocok perut. Mereka, misalnya, justru berdoa bak sedang tahlilan. Cak Lontong lantas celingak-celinguk.
”Pak, nyari apa?” kata Akbar. ”Aku nyari sandal,” kata Cak Lontong sambil mengulurkan bungkusan berkat yang disambut gelak pengunjung. Akbar lalu memasang garis polisi yang tak bisa dilewati siapa pun. Pada gilirannya, ia malah kebingungan saat hendak melewati garis itu untuk memeriksa korban lagi.
Pertunjukan kali ini memang masih kental dengan kemeriahan yang disebarkan deretan pelawak. Butet, Mucle, Marwoto, dan Wisben turut menyemarakkan ”Orang-orang Berbahaya” sebagaimana ekshibisi-ekshibisi Indonesia Kita sebelumnya.
Susilo Nugroho, Encik Krishna, Yu Ningsih, Bonita, Joind Bayuwinanda, hingga Inaya Wahid pun memberikan andil. Mereka berbagi pentas untuk beradu kelincahan melontarkan banyolannya. Pertunjukan pun berlangsung rileks dengan tawa gayeng pengunjung.
Cak Lontong sekali lagi memperagakan kepiawaiannya memainkan kata-kata. Tak ayal, percakapan sesekali sedikit berbenturan seiring improvisasi-improvisasi para pemainnya. Drama kemudian bergulir menuju kekisruhan di rumah sakit karantina.
Karya itu tak lepas pula dari kekritisan kontekstual. Kepala rumah sakit karantina, Susilo, membujuk pasiennya, Marwoto agar tak berkeliaran. “Kalau kamu kembali, saya kasih rumah uang muka nol persen. Saya bayarin uang mukanya,” selorohnya.
Lain waktu, Cak Lontong dan Akbar diiming-imingi uang hingga miliaran rupiah, kenaikan pangkat, hingga jabatan mentereng. ”Percayalah, kalau yang memerintah aku, pasti akan mengubah kesejahteraanmu,” ujar Butet yang menyorongkan tawaran itu dengan nada licik.
Sementara, Susilo menyitir percaturan politik yang menghangat dengan memanggil nomor urut penghuni rumah sakit karantina, namun tiga pasien berbarengan menghampirinya. ”Oh, koalisi. Itu calonnya masih mengambang. Kalau yang berewok mengusung calonnya sendiri,” guraunya.
Kadang, para pemeran berputar-putar saling lempar dan sambar umpan lelucon, seperti saat Inaya meminta dokumen untuk merawat Cak Lontong dan Akbar hingga belasan menit. Mucle yang sudah membawa surat lengkap terpaksa gigit jari gara-gara Cak Lontong merebutnya seraya menyodorkan lencana.
”Lebih baik aku mengaku gila. Daripada orang yang jelas gila, tapi tak mengaku. Gila hormat, jabatan, dan kekuasaan. Aku korban dari keserakahan mereka,” ujar Mucle. Kesintingan dan kewarasan berpusar dalam kenisbian. Alih-alih dirawat, Marwoto ikut menuding dokter-dokternya mengidap gangguan jiwa.
Lebih baik aku mengaku gila. Daripada orang yang jelas gila, tapi tak mengaku. Gila hormat, jabatan, dan kekuasaan. Aku korban dari keserakahan mereka.
Kegelisahan yang aktual selanjutnya berhamburan. Sutradara ”Orang-orang Berbahaya”, Agus Noor, juga mengetengahkan isu intoleransi, judi daring, penimbunan BBM bersubsidi, PSSI, penjualan barang bukti narkoba, pencurian data, ijazah palsu, pencucian uang, dan Pemilu 2024.
Pendiri Indonesia Kita, Butet, tetap luwes melepaskan kenakalan-kenakalannya. Ia membalut skeptisismenya dengan komedi untuk dimuarakan menuju tahun politik. Sekarang saja, disadari atau tidak, orang-orang berbahaya sudah menyelusup untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Penonton diajak menyaksikan para penguasa yang telah silam, namun masih menggenggam kewenangan. Duet detektif menghamparkan alur untuk memecahkan enigma wabah ketidakwarasan yang menimpa masyarakat sehingga dimasukkan rumah sakit karantina.
Sejalan keheranan Cak Lontong dan Akbar menemukan banyak mantan pejabat tinggi, terselip pesan soal mereka yang tetap menyimpan kartu truf untuk saling berintrik. Rahasia-rahasia dieksploitasi demi melemahkan, menjegal, bahkan memenjarakan lawan.
Butet mengingatkan pemirsanya untuk eling menyikapi tahun politik sekaligus probabilitas hiruk pikuk karena Indonesia tahun ini menghadapi berbagai kasus kejahatan luar biasa. Seolah-olah, bahaya tersebut bagaikan novel saja atau fiktif.
Meski sudah dimejahijaukan, sejumlah perkara masih saja mencengangkan publik yang tak henti bertanya-tanya. Kasus-kasus lama sekalipun belum menemukan titik terang dengan kekuatan yang tetap melingkupinya sehingga meninggalkan misteri.
”Kami membawa pesan untuk menyambut tahun politik hingga 2024 yang mengharuskan setiap orang untuk awas. Jangan sampai terjebak isu yang mengancam integrasi,” ujar Butet. Indonesia memiliki pengalaman pahit mengenai praktik-praktik politik identitas yang jahat.
”Bisa memecah sehingga saudara, teman, orangtua, sampai anak berselisih. Jadikanlah otokritik untuk mendapatkan pemimpin yang peduli terhadap keutuhan bangsa,” ujarnya. Saat ditanya tentang asal mula kreasinya itu, Butet mengaku dirinya pemulung inspirasi.
”Realitas sosial selalu menaburkan ide luar biasa dan Agus dengan tangkas menangkap faktanya untuk berkreativitas,” ujarnya. Butet pun tak menampik kerumitan menyiapkan karya dengan menilik relasi figur-figurnya sehingga para pemeran harus menggunakan logika yang tepat.
”Tanpa bersetia kepada logika, ceritanya enggak menarik. Harapannya, masyarakat memilih pemimpin berdasarkan visi dan gagasan, bukan jargon,” katanya. Butet mengimplementasikan atraksinya yang berbasiskan guyon parikeno alias mengungkapkan sindiran atau masalah lewat humor.
Ia juga membebaskan kolega-koleganya berimprovisasi untuk menyuguhkan tontonan yang diistilahkan dengan ibadah kebudayaan. ”Kalau saya tekstual (sesuai teks). Keseluruhannya kira-kira 70 persen tekstual dan 30 persen ugal-ugalan,” ujarnya sembari terbahak.
Harapannya, masyarakat memilih pemimpin berdasarkan visi dan gagasan, bukan jargon.
Lakon tersebut dipanggungkan di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada 17-18 November 2022. Indonesia Kita mempersembahkan pertunjukannya yang ke-38 itu bekerja sama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation yang didukung Pertamina.
Agus menarasikan Indonesia yang sedang menghadapi detik-detik berbahaya dengan memasuki tahun politik. Ancaman konflik perlu benar-benar dicermati. ”Pas latihan, durasinya sekitar 2,5 jam. Realisasi sampai 3 jam soalnya joke-joke (lawakan) yang dilemparkan, tapi masih ditoleransi,” ujarnya.