Laki-laki Berperan Menjaga Matrilineal di Minangkabau
Laki-laki Minangkabau sejati sangat memuliakan perempuan sebagai penyambung generasi seperti yang diamanatkan di dalam adat.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Laki-laki dinilai berperan penting dalam merawat sistem matrilineal yang berlaku di Minangkabau. Laki-laki Minangkabau sejati sangat memuliakan perempuan sebagai penyambung generasi seperti yang diamanatkan di dalam adat.
Hal itu menjadi salah satu poin yang mengemuka dalam seminar ”Literasi dan Konstruksi Peran dalam Merawat Matrilineal” di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (10/9/2022). Seminar digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumbar bekerja sama dengan Yayasan Satupena Sumbar dan Yayasan Sako.
”Saya banyak menggali dari naskah dan tambo, ranah Minangkabau ini diperuntukkan bagi perempuan. Ini nagari perempuan. Laki-laki tugasnya membesarkan perempuan agar tegak marwah dan bangsa ini,” kata Yulizal Yunus, pemerhati sejarah dan adat Minangkabau, dalam seminar.
Yulizal Yunus menjelaskan, dalam adat Minang, laki-laki punya dua peran. Pertama, sebagai mamak, datuk, atau penghulu (pemimpin adat), kedua, sebagai sumando (semenda) di kaum istri dan ayah anak.
Sebagai mamak, laki-laki berperan menguatkan tali rahim atau kekerabatan dari garis ibu yang diwujudkan dengan ranji (silsilah keluarga dari garis ibu). Mamak mesti menjaga ranji agar tidak putus meskipun terjadi konflik besar di kaum, misalnya karena harta pusaka.
”Tali ranji tidak boleh diputus. Perempuan dituahkan, dimuliakan. Bangsa diambil dari perempuan. Kalau sempat tidak ada anak perempuan, putus keturunan (tali rahim). Suku punah, datuk terbenam. Harta pindah ke tangan orang, sebab harta dipegang oleh perempuan,” ujar pensiunan dosen UIN Imam Bonjol Padang ini.
Selain itu, mamak juga mesti menguatkan fungsi mande sako/bundo kanduang (perempuan tertua di kaumnya dan penentu kebijakan) sebagai pengelola harta pusaka, mengangkat dan memberhentikan datuk yang melanggar adat, penyampai aspirasi kaum, dan soko guru dalam mendidik anak, kemenakan, dan cucu.
Adapun sebagai suami, laki-laki memberi penghormatan dan bekal kepada istri dan menyantuni kaum. Sebagai sumando, laki-laki melindungi istrinya dengan tidak menjadi suami kacang miang (berkelakuan buruk). Sebagai ayah, laki-laki menjaga hubungan anak dengan bako (keluarga pihak ayah).
Lelaki juga menempatkan diri sebagai abu di atas tunggul, artinya, saat bercerai, meninggalkan semua harta bagi mantan istrinya untuk mengangkat martabat perempuan.
”Laki-laki meninggalkan rumah dengan pakaian di badan saja, tidak membawa bagiannya. Diterima bagian, tetapi dikembalikan kepada janda, dan jika bercerai secara baik-baik, janda dibiayai selama dua tahun, membuat perempuan kaya setelah dicerai,” kata Yulizal.
Perubahan Peran
Dosen sastra Minangkabau Universitas Andalas Doktor Hasanuddin mengatakan, perubahan peran dan orientasi laki-laki dan perempuan saat ini turut mengancam eksistensi sistem matrilineal di Minangkabau.
Pada masa lampau, laki-laki marginal, berada di surau, lapau, dan rantau, domainnya publik. Sekarang, justru ada yang menuntut hak pusako/pusaka (mestinya dikelola perempuan), memapankan diri di rantau dan memperkuat keluarga batih (keluarga inti: istri dan anak-anak). Akibatnya, ikatan keluarga kaum renggang dan matrilineal terancam.
Apresiasi terhadap sanak-saudara laki-laki juga diperlukan karena matrilineal butuh partisipasi laki-laki bukan semata perjuangan perempuan.
Begitu pula dengan perempuan, pada masa lampau mapan, berada di rumah gadang dan mengelola harta pusaka, domainnya domestik. Saat ini, dengan adanya semangat emansipasi atau kesetaraan gender, perempuan jadi saingan laki-laki di sektor publik.
Selain itu, banyak muncul tuntutan perempuan membagi harta pusaka, padahal itu warisan nenek moyang untuk generasi selanjutnya sampai hari kiamat, tidak boleh hilang, anak-cucu yang belum lahir punya hak. Ada pula muncul ide agar perempuan juga bisa mewarisi sako (gelar datuk). Hal tersebut juga mengancam sistem matrilineal.
”Rekomendasi saya adalah perlu rekonstruksi dan revitalisasi. Pemulihan sistem bernagari yang genealogis-matrilineal. Pendidikan muatan lokal untuk memulihkan kesalahpahaman, penghayatan, dan karakter,” kata Hasanuddin.
Selanjutnya, juga perlu penegakan sistem norma untuk sako, pusako, faraid, dan lainnya. Penguatan peran ganda laki-laki sebagai ayah sekaligus mamak. Apresiasi terhadap sanak-saudara laki-laki juga diperlukan karena matrilineal butuh partisipasi laki-laki bukan semata perjuangan perempuan.
Dosen pendidikan bahasa Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Elvi Susanti, mengatakan, penguasaan bahasa Minang bagi anak-anak penting untuk penguatan literasi. Melalui bahasa daerah anak-anak mempelajari budaya Minang yang menganut sistem matrilineal. ”Peran orangtua besar, terutama ibu,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Syaifullah mengatakan, pada masa lampau, di Sumatera banyak suku yang menganut sistem matrilineal. Namun, sekarang tinggal segelintir yang bertahan, salah satunya di Minangkabau.
Syaifullah melanjutkan, tantangan terhadap eksistensi matrilinealisme terus ada. Generasi muda Minang yang belum paham kadang protes, sistem ini bertentangan dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK), yang mengacu kepada ajaran agama Islam.
”Padahal, orang Minang bersuku ke ibu, bernasab ke bapak. Semoga para pemateri bisa memberikan pemahaman kepada generasi muda,” katanya, saat membuka seminar.