Iman Fattah tak silau dengan karier ayahnya, Donny Fattah sang basis God Bless itu. Iman menekuni musiknya sendiri yang ada di ranah independen. Pengalaman dan cara kerja kreatif Iman dituangkan dalam buku Rupa Suara.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·3 menit baca
”
KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI
Acara Bedah Buku dan Diskusi Literasi Musik Indonesia digelar di Creative Hall, M Bloc Space, Jakarta Selatan, Senin (11/7/2022). Acara itu mendiskusikan buku Rupa Suara: Catatan Perjalanan Bebunyian yang ditulis Iman Fattah (kedua dari kiri) dan Aris Setyawan (kedua dari kanan). Mereka diapit oleh moderator Wendi Putranto (kiri), dan etnomusikolog Ubiet Raseuki.
Gitaris dan produser Iman Fattah menyaksikan dan mengalami sendiri perubahan lanskap industri musik di masa pergantian milenium. Dia ada di pusaran ketika kancah musik dan film independen sedang menggeliat. Buku Rupa Suara: Catatan Perjalanan Bebunyian menceritakan itu semua dengan bingkai akademik.
Iman adalah putra Donny Fattah pemain bas band rock tersohor God Bless. Namun, bukan lantaran itu namanya dikenal. Tujuh bab dalam buku ini menceritakan perjalanan bermusiknya, mulai dari main band bersama grup LAIN dan Zeke and the Popo; menjadi produser album penyanyi solo Kartika Jahja; terlibat dalam penggarapan musik untuk film dan drama musikal; hingga kembali main band bersama band Raksasa.
”Gue sebenarnya baru belajar main gitar sekitar tahun 2000, diajarin Bemby (Gusti) lagunya ’Burung Kakatua’,” kata Iman dalam acara Bedah Buku dan Diskusi Literasi Musik Indonesia di Creative Hall, M Bloc Space, Jakarta Selatan, Senin (11/7/2022). Bemby adalah teman mainnya semasa SMA, yang kelak bikin band LAIN, Sore, dan hingga kini sering menggarap musik untuk film.
Sebelum belajar gitar itu, dia pernah didaftarkan orangtuanya les piano klasik, tapi gurunya galak. ”Kalau salah dipukul. Les (piano) cuma dua kali datang, terus kapok. Gue pikir, ’Kok musik begini amat’ bikin malas main musik dan ngeband,” ujarnya. Namun, pengalaman menikmati musik terus bertumbuh karena sering lihat ayahnya berlatih di studio, dan merasakan suara menggelar waktu God Bless naik panggung. Berbarengan dengan itu, Iman juga melarutkan diri dalam dunia anime dan video gim.
Belajar gitar lagu ”Burung Kakatua” itu rupanya mengubah haluan hidupnya. Iman lalu serius berguru gitar ke Odink Nasution, gitaris senior yang pernah jadi personel God Bless (halaman 24). Tak lama kemudian, salah seorang temannya, Haris ”Zeke” Khaseli pulang ke Jakarta dari Seattle, AS.
Mereka bereuni. Zeke rupanya mulai menulis lagu. Perjumpaan saat reuni itu mempertemukan Iman, Zeke, Bemby, dan Aghi Narottama, yang kemudian mendirikan band bernama LAIN. Itulah band pertama Iman. Dari band inilah pengalaman bermusik Iman dimulai.
Demo rekaman LAIN dipoles di Seattle ketika Zeke dan Aghi kembali ke sana. Pada 2001, album pertama LAIN Djakarta Goodbye dirilis ”dengan sambutan yang luar biasa … sepi”, tulis Iman di buku. Gerilya mereka membesarkan band tak hanya berhenti menulis dan membuat album, tapi juga memasarkannya. Dari pengalaman ini tergambar lanskap industri musik Indonesia pada pascareformasi itu.
KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI
Buku Rupa Suara: Catatan Perjalanan Bebunyian ditulis oleh gitaris dan produser musik Iman Fattah bersama etnomusikolog Aris Setyawan. Buku ini mengulas pengalaman Iman di kancah musik independen pascareformasi, dan dibingkai dalam tinjauan akademik oleh Aris.
Kancah musik independen di Jakarta mulai berkembang dari yang semula metal-sentris jadi lebih beragam coraknya. LAIN, yang lantas dilanjutkan band Zeke and The Popo, merasakannya. Iman juga dikenalkan dengan solois Kartika Jahja oleh Aghi, dan diajak menggarap album perdana dia.
Penggarapan album Kartika Jahja atau Tika ini ditulis Iman dalam satu bab tersendiri. Tak sekadar menceritakan penulisan lagu dan teknis pengoperasian perangkat studio, Iman juga merefleksikan pergulatan penyanyi perempuan di rimba hiburan yang sangat maskulin.
Rekan penulis Iman, yakni etnomusikolog Aris Setiawan, menajamkan refleksi Iman itu. Aris membubuhkan catatannya di akhir bab. ”Kita butuh sosok seperti Tika untuk mengetok kesadaran tentang pentingnya perspektif jender di kehidupan sehari-hari,” tulis Aris. Dalam setiap bab, Aris memberikan bingkai pemikiran akademik pada catatan perjalanan bermusik Iman.
Iman menulis buku yang diterbitkan Arung Wacana ini sebagai dokumentasi perjalanan kariernya di bidang musik. Pembaca yang juga musisi, apalagi gitaris barangkali juga bisa menyerap hal-hal teknis yang disajikan Iman di buku ini. Kini, Iman hanya sesekali main musik. Dia bekerja di perusahaan teknologi besar di California, AS, dan bermukim di sana.