Banyaknya indonesianis dari berbagai negara yang mencintai puisi-puisi Chairil, kemudian alih bahasa puisi-puisi Chairil ke dalam bahasa negara lain menunjukkan fenomena tersendiri.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Penyair Atik Bintoro membacakan puisi dalam peringatan 100 tahun penyair Chairil Anwar dan perayaan 10 tahun Hari Puisi Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (26/7/2022). Acara yang digelar secara luring dan daring tersebut menampilkan pertunjukan puisi dan diskusi yang diikuti oleh para penyair dan sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia serta sejumlah sastrawan dari mancanegara, seperti Malaysia, Azerbaijan, Korea, dan Rusia.
Chairil Anwar (1922–1949), penyair pelopor Angkatan 1945, melintasi rentang waktu 100 tahun dari titik kelahirannya, 26 Juli 1922. Pada Selasa (26/7/2022) segenap pencinta sastra gegap gempita merayakan seabad Chairil, termasuk para indonesianis yang dihimpun dari sejumlah negara. Mereka berbagi cerita dan pujaan terhadap Chairil lewat puisi-puisinya.
Habib Zarbaliyev, indonesianis asal Azerbaijan, ikut merayakan dengan membacakan puisi ”Aku” karya Chairil. Ia fasih melafalkan setiap kata dalam puisi itu dari negerinya nun jauh di sana, dalam kegiatan peringatan 100 Tahun Chairil Anwar dan Perayaan Ke-10 Hari Puisi Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Ini satu di antara sekian banyak acara peringatan seabad Chairil.
”Aku mau hidup seribu tahun lagi,” pungkas Zarbaliyev, ketika mengakhiri ”Aku” yang diciptakan Chairil pada Maret 1943.
Melalui puisi ini, Chairil melontarkan gagasan tentang diri sebagai ”binatang jalang”. Karena itu, ia kerap menyandang nama puitis ”Si Binatang Jalang”. Chairil lewat puisi itu ingin menyiratkan niat pejuang untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sastrawan dari Ngawi Tjahjono Widarmanto dan Tjahjono Widianto membacakan puisi secara daring dalam peringatan 100 tahun penyair Chairil Anwar dan perayaan 10 tahun Hari Puisi Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Zarbaliyev tercenung sebentar. Ia meresapi makna di balik puisi itu. Kemudian ia menyampaikan, di Azerbaijan puisi ”Aku” telah dialihbahasakan ke dalam bahasa nasional negara itu. Ia lalu membacakan puisi itu dalam bahasa Azerbaijan.
”Di beberapa universitas di Azerbaijan, ada yang mengajarkan bahasa Indonesia. Di situlah puisi-puisi Chairil Anwar dipelajari,” ujarnya.
Zarbaliyev mengikuti peringatan 100 tahun Chairil Anwar dan 10 tahun Hari Puisi Indonesia melalui aplikasi Zoom. Tidak hanya Zarbaliyev, para indonesianis lain turut membacakan puisi Chairil melalui aplikasi Zoom atau sekadar mengirim rekaman video pembacaan puisi Chairil. Hal serupa dilakukan para penyair dari berbagai daerah, seperti Warih Wisatsana dari Bali, Syaifuddin Gani dari Kendal, Tri Astoto dari Parepare, dan Kemalawati dari Aceh.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Lukisan sosok Chairil Anwar karya Ramadhan Bouqie dipajang di depan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam peringatan 100 tahun penyair Chairil Anwar dan perayaan 10 tahun Hari Puisi Indonesia, Selasa (26/7/2022).
Pembacaan puisi Chairil Anwar berlangsung seharian, dimulai sekitar pukul 13.00 hingga sore. Dilanjutkan kembali mulai petang hingga larut malam sekitar pukul 23.00. Penyair senior Sutardji Calzoum Bachri turut membacakan puisi ”Aku” pada malam hari. Berikutnya, pianis Marusya Nainggolan membawakan gubahan musik puisi Chairil Anwar.
Sedikitnya, ada sekitar 40 puisi karya Chairil dibacakan para penyair dalam dan luar negeri hingga malam itu. itu.Dalam rentang usia muda sampai sekitar 26 tahun, puisi Chairil Anwar yang terdokumentasi hingga kini sekitar 70 puisi. Karya lain berupa tulisan esai atau pidato Chairil Anwar, termasuk pidatonya di radio.
Di sela-sela pembacaan puisi-puisi Chairil Anwar, ada diskusi menarik yang bertajuk Sisi Lain Chairil Anwar. Narasumbernya dua orang, yakni Abdul Hadi WM, sastrawan yang juga berkecimpung ke dalam dunia pendidikan filsafat; dan Ewith Bahar, penyair yang juga pernah menulis buku berjudul Chairil Anwar: Hidup 1000 Tahun Lagi (2020).
Abdul Hadi mengawali dengan teori terbentuknya dua karya sastra berupa prosa dan puisi. Hingga pada akhirnya, ia menukik pada persoalan puisi-puisi Chairil yang berhasil menciptakan imajinasi-imajinasi dari setiap pilihan kata puitisnya. ”Kekuatan bakat, kata-kata, serta ide Chairil Anwar menemukan kesempurnaannya,” ujar Abdul Hadi.
Chairil Anwar dinilai Abdul Hadi memiliki kekuatan prinsip pada entakan-entakan imaji, bukan pada kata-kata dalam proses menjadi puisi. Ia menumbuhkan imajinasi melalui kata-kata.
Chairil, tambah Abdul Hadi, berhasil mengubah sesuatu yang abstrak menjadi konkret. Konkret dalam wujud imajinasi. ”Kita sering ditipu dengan ilmu yang ilmiah, yang sering dikatakan sebagai sesuatu yang konkret. Padahal, di dalam ilmu yang ilmiah itu masih banyak sekali yang abstrak,” ujar Abdul Hadi.
KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA
Makam Chairil Anwar di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta, Senin (18/7/2022).
Ewith Bahar menyoroti kehidupan pribadi Chairil. Menurut dia, pada usia remaja Chairil sudah menguasai lima bahasa di dunia dan digunakan untuk membaca buku-buku berbahasa asing tersebut. Hingga masa itu, ia tidak mengenal cinta dari keluarga. ”Chairil di masa remaja tidak mengenal cinta. Dia hanya mengenal hasrat karena di masa hidupnya yang dikenal dari keluarga hanya teriakan-teriakan orangtuanya dan bantingan-bantingan piring.”
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, sebagai anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya sebagai Bupati Indragiri, Riau, tewas dalam peristiwa Pembantaian Rengat.
Ia tumbuh menjadi pelopor puisi ekspresionisme dan eksistensialisme. Karya yang ia tulis meliputi puisi, esai, naskah pidato, dan sebagainya. ”Pada suatu ketika, Chairil pernah menitipkan satu koper kepada tunangannya. Hingga sekarang tidak pernah diketahui koper itu dan seisinya. Kemungkinan ada karya-karya Chairil yang lainnya di koper itu,” ujar Ewith.
Sekian banyak puisi ekspresionis dan eksistensialis Chairil ditangkap bermakna patriotik. Ini dipengaruhi situasi sosial dan politik pada masanya. Chairil menjejaki masa-masa kolonialisme Hindia Belanda, masa transisi ke pendudukan Jepang, hingga masa revolusi fisik kemerdekaan hingga ajal menjemputnya pada tahun 1949.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Poster bergambar penyair Chairil Anwar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Membuka pintu dunia
Pertanyaan yang cukup mengusik, setelah 100 tahun Chairil Anwar, kita hendak ke mana?
”Banyaknya indonesianis dari berbagai negara yang mencintai puisi-puisi Chairil, kemudian alih bahasa puisi-puisi Chairil ke dalam bahasa negara lain menunjukkan fenomena tersendiri. Setidaknya, Chairil lewat puisi-puisinya berhasil membuka pintu dunia, pintu masuk bagi bahasa Indonesia agar diterima dunia,” ujar Ketua Yayasan Hari Puisi Maman S Mahayana yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Setidaknya, saat ini Yayasan Hari Puisi mendukung dijadikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di tingkat ASEAN. Salah satunya berpijak dari penerimaan dunia terhadap karya-karya Chairil.
”Ungkapan puitis Chairil, ’aku mau hidup seribu tahun lagi’, telah menjadi milik masyarakat, termasuk masyarakat di negara lain. Ini menunjukkan bahasa Indonesia diterima,” ujar Maman.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kurnia Effendi dan Jauza Imani berduet membacakan puisi dalam peringatan 100 tahun penyair Chairil Anwar dan perayaan 10 Tahun Hari Puisi Indonesia di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (26/7/2022). Acara yang diselenggarakan Yayasan Hari Puisi itu digelar secara luring dan daring dengan menampilkan pertunjukan puisi dan diskusi yang diikuti oleh para penyair dan sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu sejumlah sastrawan dari mancanegara, seperti Malaysia, Azerbaijan, Korea, dan Rusia, juga turut berpartisipasi.
Sastrawan Eka Budianta memiliki pandangan serupa, saatnya mendorong penggunaan bahasa Indonesia di ranah internasional. Setidaknya, di tingkat regional negara-negara Asia Tenggara yang tergabung di ASEAN.
”Chairil Anwar melalui puisi-puisinya berhasil menawarkan nilai-nilai humanisme yang universal,” ujar Eka, yang menyinggung tidak ada kata di dalam baris puisi-puisi Chairil yang menyebut karakter lokal keindonesiaan, seperti kisah wayang, epos Ramayana atau Mahabharata.
Nilai humanisme universal Chairil Anwar berhasil membukakan pintu masuk bangsa dan bahasa Indonesia ke dunia internasional. Chairil masih terus dikenang.
Setelah 100 tahun Chairil Anwar, ke mana lagi kita? Ke mana lagi puisi-puisi kita?
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sastrawan dan sejumlah pegiat seni sastra dari berbagai kota berfoto di depan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, saat mengikuti peringatan 100 tahun penyair Chairil Anwar dan perayaan 10 tahun Hari Puisi Indonesia, Selasa (26/7/2022).