Dengan segenap kesaktiannya, Minggu (24/4/2022), Navicula ”membakar” Deus Ex Machina, sebuah klub beken di bilangan Canggu, Bali, yang merupakan tempat para ”surfer” dari sejumlah negara berkumpul.
Oleh
EKO WUSTUK
·4 menit baca
Kegilaan di tengah malam yang selama dua tahun terakhir kita rindukan akhirnya datang kembali. Dengan segenap kesaktiannya, Minggu (24/4/2022), Navicula ”membakar” Deus Ex Machina, sebuah klub beken di bilangan Canggu, Bali, yang merupakan tempat para surfer dari sejumlah negara berkumpul.
Malam masih muda. Baru pukul 21.00. Namun, sekitar 150 pengunjung sudah mandi keringat, asyik berjingkrakan di area terbuka yang cukup luas, mengikuti deru musik cadas yang disemburkan Navicula dari sebuah panggung kecil.
Sebagian dari mereka adalah perempuan-perempuan muda nan cantik dan penuh gairah. Begitu bergairahnya mereka mengikuti entakan musik, terus bergoyang. Sebagian lagi adalah pria-pria bertubuh tinggi besar dengan otot keras, khas surfer. Rambut mereka sungguh beragam. Ada yang botak, potongan ala militer, gondrong tergerai, hingga dreadlocks (rambut gimbal yang terlihat seperti jalinan tali kapal). Semua bersatu, mengangguk-anggukkan kepala ber-headbanger mengikuti komando Palel yang menggebuk drum seperti kesetanan.
Malam itu, Navicula tampil dengan formasi lengkap. Robi pada gitar/vokal, Dankie pada gitar, Adipurba pada bas, dan Palel pada drum. Adipurba adalah basis terbaru mereka, menggantikan Made yang meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas pada Maret 2018. Di luar kebiasaan, Robi dan Dankie tampil mengenakan udeng (ikat kepala) dan sarung khas Bali. Rupanya kostum ini ada kaitannya dengan atraksi khusus yang mereka suguhkan di tengah konser nantinya.
Lagu pembuka setlist mereka malam itu adalah ”Busur Hujan”, sebuah lagu yang ditulis dan didedikasikan khusus bagi Rainbow Warrior, kapal legendaris milik Greenpeace. Sejak pertama kali berdiri, Navicula memang memproklamirkan band mereka sebagai entitas yang berpihak pada kelestarian alam. Sepanjang karier musik mereka yang merentang tak kurang dari 25 tahun, mereka konsisten menyuarakan dan menjalankan gerakan pro pelestarian lingkungan. Band Indonesia mana yang segila mereka, menulis sebuah lagu cadas berjudul ”Zat Hijau Daun?”
Suasana makin panas. Bir dan bermacam jenis alkohol lainnya terus mengalir dan keringat mengucur kian deras. Malam itu, Navicula menyusun setlist yang semuanya berisi lagu-lagu dengan beat mengentak. Rupanya, mereka tahu, para surfer yang berkumpul adalah pencinta tegangan tinggi. Bukan generasi menye-menye, apalagi rebahan. Setelah lelah berselancar seharian, mereka ingin menikmati malam dengan melepas semua energi yang masih tersisa. Menyalurkannya melalui entakan kepala, goyangan badan, hingga moshing dan crowd surfing yang luar biasa seru. Dan berbahaya.
Lagu-lagu hits mereka seperti ”Manghitung Mundur”, ”Metropolutan”, dan ”Mafia Hukum” disambut antusias. Penonton yang berdesakan memadati bibir panggung tak henti bernyanyi, mengikuti Robi yang sejak lagu keempat sudah membuang udeng-nya.
Koor massal terkeras terjadi ketika ”Mafia Hukum” berkumandang. Lagu ini memang jadi semacam simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penindasan para penguasa hukum. Sejak pertama kali dirilis dalam proyek album kompilasi berjudul Frekuensi Penangkap Tikus yang diinisiasi oleh ICW pada Maret 2013, lagu ini langsung jadi favorit fans Navicula dan selalu dibawakan di tiap konser mereka. Simak saja liriknya yang bikin miris dan tersenyum kecut ini,
Penguasaha-pengusaha kongsi dengan penguasa/Walau sudah kaya masih kurang juga/Hukum direkayasa hanya buat yang kaya/Yang jadi korbannya rakyat jelata!//
Penonton yang sedang asyik moshing dan crowd surfing di tengah lagu terbaru Navicula yang berjudul ”Dinasti Matahari” mendadak diminta minggir. Sebagian mengira terjadi keributan. Barangkali ada yang kelewat mabuk sehingga naik darah saat tertubruk penonton lain. Maklum, dari definisinya, moshing memang berarti saling menabrakkan tubuh sambil berjoget penuh energi (bahkan brutal!) mengikuti deru musik cadas.
Ternyata bukan keributan yang terjadi, melainkan ada barong mau lewat!
Ya, betulan, barong muncul di tengah-tengah penonton, bergerak ke kiri dan ke kanan, mengibaskan bulu-bulu panjangnya. Semua yang hadir tentu semakin gembira. Sontak semua orang mengambil ponselnya dan merekam aksi sang barong. Di atas panggung, Robi dan Dankie terus menggila dengan raungan gitar mereka yang memekik menyobek langit malam Canggu.
Seusai kehebohan barong, penonton kembali memadati area moshing. Crowd surfing mengalir lagi. Navicula, yang sudah sama mandi keringatnya dengan semua penonton, mengakhiri penampilan mereka dengan satu nomor indah berjudul ”Saat Semua Cepat, Bali Berani Berhenti”.
Dari judul lagunya saja kita bisa menduga, Robi sedang berkisah tentang hari raya Nyepi. Sebuah perayaan ke dalam. Sebuah tradisi untuk merenung. Kontemplasi.
Namun, malam itu, lagu tersebut seperti bertolak belakang dengan kenyataan yang tersaji. Di Deus Ex Machina, semangat Bali untuk memulihkan diri seperti melampaui yang lainnya. Nyaris tergesa-gesa. Di sana, di tengah gelegar musik cadas dan kegilaan tengah malam para surfer, sehelai kesadaran halus menyusup ke dalam hati. Di pantai ini, pandemi seperti tidak pernah terjadi.