Duo sutradara Ifa Isfansyah-Eddie Cahyono lincah saja memanggungkan pertengkaran lalu sekonyong-konyong membelokkannya dengan humor getir dalam ’Losmen Bu Broto’. Mereka tak sekadar menganyam kepingan-kepingan memori.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Keluarga adalah muara pelepasan manakala persoalan-persoalan yang mengimpit terasa tak tertanggungkan lagi. Losmen Bu Broto menjadi gambaran katarsis tersebut lewat penokohan dan alurnya yang mengharukan. Karakter-karakter yang disuguhkan pun tak sepenuhnya sama dengan versi layar kaca.
Kabar itu bak petir di siang bolong buat Pur (Putri Marino). Kekasih Pur, Anton, yang siap membangun mahligai pernikahan, tewas saat hendak menjemput anak tengah keluarga Broto, Sri (Maudy Ayunda). Sutradara Losmen Bu Broto, Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono, tak mau berlama-lama untuk menghanyutkan penonton dalam repihan-repihan bara pertikaian keluarga yang lambat laun kian menyala.
Awalnya, semua berbahagia. Pur begitu semringah bersenda gurau dengan Anton yang ideal di mata pasangan Broto dan anak-anaknya. Baru sekitar 5 menit, dua perempuan kandung itu sudah mengkespresikan kedongkolannya. Bu Broto (Maudy Koesnaedi) juga mengomel soal Jarot (Marthino Lio), tamunya yang urakan, tetapi menaruh hati kepada Sri.
Tambahan lagi, Sri malah lebih asyik mengejar mimpinya menyanyi bersama Kirana (Danilla Riyadi) ketimbang mengelola losmen. Tarjo (Baskara Mahendra), si bungsu, juga beberapa kali bolos kuliah. Rentetan adegan berikut adalah senyum dan tawa yang kian pudar dengan gerutu setiap tokoh hingga akhirnya menyeruak lewat problem, berikut kemarahan masing-masing.
Puluhan menit pertama tak pelak sangat pekat dengan nuansa nostalgia bagi penonton paruh baya. Mereka asyik membandingkan sosok-sosok yang diamatinya saat serial Losmen ditayangkan TVRI lebih dari tiga dasawarsa silam. Kesamaan watak setiap peranan memang ditampilkan sekaligus perbedaannya dalam Losmen Bu Broto.
Ditilik dari usia dan profesi figur-figurnya, penggemar setia Losmen tentulah dapat menerka jika film itu justru merupakan prekuel atau cerita sebelum serial dimulai. Uniknya, Losmen Bu Broto mengambil latar kekinian dengan modernisasinya. Adaptasi kekinian digambarkan, umpamanya, dengan pegawai losmen yang menunjukkan foto dan tarif menginap lewat gawai.
Kali ini, memang bukan sekadar Pak Broto yang diperankan Mang Udel dulu, asyik memetik ukulele dengan senandungnya. Bukan pula soal tamu yang kehilangan uang atau persaingan tak sehat antarpenginapan. Tontonan edisi layar lebarnya mengetengahkan persoalan yang jauh lebih kompleks. Status individu, pandangan sosial, orangtua yang kolot dengan kebebasan berekspresi anak milenial, hingga perjodohan konservatif membenturkan antara harapan dan realitas.
Losmen Bu Broto tak lagi menganyam kepingan-kepingan memori semenjana penggemarnya, tetapi menggali kultur dan tradisi. Budaya Jawa hanya pengantar lantaran asal-usul serialnya dengan latar Yogyakarta yang kuat, sulit tergantikan. Sebab, konflik keluarga bisa terjadi dalam ranah primordial di mana pun.
Terlebih, duet Ifa dan Eddie mengemukakan klimaks mengejutkan yang tampaknya bakal sukar diangkat lewat episode layar kaca. Mereka sedikit merombak pakem Losmen dengan norma-norma baku dan umumnya dihadapkan dengan masalah-masalah reguler.
Tanpa menggurui
Duo pengarah Losmen Bu Broto itu piawai mengaduk-aduk suka dan duka yang diliputi kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Mereka lincah saja memanggungkan pertengkaran lalu sekonyong-konyong membelokkannya dengan humor getir.
Segendang sepenarian dengan serialnya, Losmen Bu Broto menyisipkan makna-makna kehidupan tanpa menggurui. ”Boleh jadi memaafkan itu bukan urusan kita dengan orang lain, melainkan urusan kita dengan diri sendiri. Mungkin yang dibutuhkan memaafkan diri sendiri,” ujar Pak Herman (Landung Simatupang), tamu setia Losmen Bu Broto, kepada Pur yang tepekur.
Masakan Pur memang terkenal lezat dan terus ditagih Herman, terutama gurami asam kecombrangnya. Masalahnya, tiap kali mengiris ikan, Pur tak kuasa menahan beban emosional yang mengingatkannya saat ia menyiapkan hidangan kesukaan Anton itu.
Lain waktu, Pak Broto (Mathias Muchus) dengan lembut menasihati istrinya bahwa orangtua tak selalu benar. Anak pun punya ketakutan dan kelemahan. ”Kita terlalu berharap anak-anak sempurna. Padahal, mereka juga punya keinginan yang tak mungkin sama. Kita tak sadar kalau kita sering memaksa,” ucapnya.
Bedanya lewat kemajuan teknologi, Losmen Bu Broto tentu dilabur warna-warni lebih menyala lewat sinematografi apiknya. Nyanyian lembut yang diluncurkan Maudy Ayunda, seperti ”Semakin Jauh”, ”Pulang”, dan ”Sayangnya”, melantunkan mimpi-mimpinya yang terbelah.
Losmen Bu Broto memang tak menggamblangkan keberpihakan kepada orangtua atau anak. Film itu memotret fenomena sosial dengan penafsiran diserahkan kepada perspektif setiap penonton. Pada akhirnya, tak ada keluarga yang sempurna, tetapi ketidakperfekan justru menjadi sangat manusiawi dalam relasi antarkerabat.
Aspirasi penonton
Soal nostalgia, produser Losmen Bu Broto, Andi Boediman, tak menampik jika filmnya dibuat berdasarkan aspirasi penonton berusia mulai akhir 30-an tahun. ”Saya simak media online (daring), mereka mau Losmen dibuat ulang. Saya juga angkatannya Losmen,” katanya sambil tertawa.
Namun, Andi tak hendak membuat film nostalgia semata. Ia ingin memproduksi tontonan yang kontekstual dengan fenomena terkini. ”Enggak dibuat jadul. Malah, saya ingin mengedepankan perempuan Indonesia. Itu poin utamanya. Saya menyoroti konflik Bu Broto dan anak-anak perempuannya,” katanya.
Andi menekankan, Losmen Bu Broto mengutamakan nilai-nilai keluarga. Banyak orangtua punya ambisi, tetapi anak-anaknya tak sesuai harapan. ”Sebaliknya, anak punya aspirasi, tapi enggak dipahami orangtua,” katanya seusai nonton bareng Losmen Bu Broto di Jakarta, Jumat (19/11/2021).
Tantangan sungguh beragam. Andi harus meriset rentang waktu yang hendak dipanggungkan dalam Losmen Bu Broto. Ia pun ingin merebut hati anak muda yang dulu belum sempat menyaksikan Losmen. ”Makanya, untuk Sri, hanya satu nama yang muncul dalam peringkat teratas. Maudy Ayunda. Generasinya juga pas dan dipartnerkan dengan Danilla,” katanya.
Senada dengan Andi, Muchus pun mengungkapkan Losmen Bu Broto yang tak sekadar mengingatkan penonton dengan serialnya. Satu-satunya pemain orisinal dari serialnya itu juga menggarisbawahi betapa penting keutuhan keluarga. ”Seberat apa pun persoalan kalau berembuk dengan keluarga pasti selesai. Keluarga adalah fondasi semua pemecahan masalah,” katanya.
Sementara Maudy Koesnaedi mengusung Losmen Bu Broto sebagai potret kecil keluarga mana pun, selain menghantar memori semata. ”Aku baca respons penonton lewat media sosial. Ada yang bilang, ’Aku jadi paham kenapa Bu Broto galak banget. Ibuku gitu, Mbak’. Atau, ’Aku tuh Mbak Pur banget’,” katanya.