Teror Baru Film Horor Asia Tenggara
Film horor dari Asia Tenggara mulai diminati para penonton global.
Bak raksasa tertidur, film-film Asia Tenggara sebenarnya menjanjikan kisah yang tak kalah apik dari film di belahan dunia lainnya. Animo penonton internasional untuk menyaksikan film dari kawasan ini belakangan terus bergejolak. Pamor film Asia Tenggara ternyata mulai menggeliat berkat film horor yang eksotis.
Beberapa negara berhasil merebut status sebagai produsen film horor terpopuler selama beberapa dekade terakhir. Amerika Serikat pernah mengguncang dunia perfilman lewat The Exorcist (1973), The Shining (1980), Final Destination (2000), Paranormal Activity (2007), dan The Conjuring (2013).
Di Asia, Jepang terkenal sebagai produsen film horor populer lainnya yang membius penonton internasional. Negeri Sakura ini menjadi buah bibir ketika merilis Ring (1998) dan Ju-On: The Grudge (2002). Tak ketinggalan Jerman, Thailand, Korea Selatan, dan negara lainnya turut meramaikan pasar film horor internasional.
Beberapa tahun terakhir ini, film-film horor dari kawasan Asia Tenggara semakin diperhitungkan dalam peta film global. Meskipun memiliki anggaran produksi kecil, film dari Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina mulai dilirik. Animo penonton global untuk menonton ini pun terbantu berkat keberadaan platform streaming.
Satu film horor Asia Tenggara yang kembali mencuri perhatian adalah Roh (2019), sebuah horor rakyat (folk horror) garapan sutradara Malaysia, Emir Ezwan. Bercerita tentang keluarga di hutan terpencil yang menghadapi teror supernatural, Roh memadukan kepercayaan dalam Islam dan ilmu hitam serta budaya Melayu.
Roh masuk ke dalam radar sinema global setelah terpilih untuk mewakili Malaysia dalam pemilihan nominasi kategori Film Berbahasa asing dalam perhelatan Academy Awards ke-93, tahun ini. Ditambah lagi, film ini mendapat nominasi dalam sejumlah festival di AS, Italia, Singapura, dan Indonesia.
Pendiri Kuman Films yang memproduksi Roh, Amir Muhammad, bersemangat untuk melihat reaksi penonton seluruh dunia. “Kami tidak pernah menyangka, tetapi bioskop Spanyol dan Portugis telah mencuit cukup banyak tentang (film) ini,” katanya.
Dari Indonesia, sorotan internasional juga diberikan saat perilisan Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019) karya sutradara Joko Anwar, Sebelum Iblis Menjemput (2018) karya Timo Tjahjanto, serta Ratu Ilmu Hitam (2019) karya Kimo Stamboel.
Film-film yang menampilkan agama, budaya, dan kepercayaan lokal itu memantik rasa penasaran dunia tentang horor Asia Tenggara setelah tayang dalam berbagai festival luar negeri. Popularitas ini memperkukuh portofolio film horor Asia Tenggara yang banyak diisi Thailand sejak akhir 1990-an.
Selama beberapa dekade terakhir, Thailand menjadi produsen film horor bernuansa lokal yang populer secara internasional. Sebut saja Nang Nak (1999), Buppah Rahtree (2003), Pee Mak (2013) dan Krasue: Inhuman Kiss (2019). Serial thriller supernatural Girl From Nowhere (2018-sekarang) turut mendapat perhatian.
Kearifan lokal
Dalam memproduksi film horor, sineas biasanya mengeksplorasi ide baru yang kreatif. Tak jarang, karya mereka mencerminkan keadaan sosiologi budaya setempat. AS, misalnya, sering menyajikan film horor bertema zombie, monster, sihir, eksorsisme Kristen, atau paranormal. Sedangkan Jepang kerap menyajikan kisah hantu pendendam (onryō).
Asia Tenggara kaya dengan cerita rakyat, mitos, kepercayaan, ritual, dan agama besar yang telah beradaptasi dengan konteks budaya lokal. Dikutip dari buku Transnational Horror Cinema (2017), secara garis besar, produk budaya di Asia Tenggara terbagi menjadi dua wilayah.
Pertama adalah koridor utara yang mencakup Thailand, Laos, Kamboja dan, sampai batas tertentu, Myanmar di mana produk budaya Thailand mendominasi. Wilayah kedua adalah koridor selatan terdiri dari Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam yang menghasilkan produk budaya berbahasa Melayu.
Filipina terselip di antara kedua koridor itu. Sedangkan Vietnam dan Singapura menjalin hubungan budaya yang lebih dekat dengan negara Asia Timur. Di sisi lain, kehadiran diaspora China dan India di seluruh kawasan turut memengaruhi produk budaya di kawasan ini.
Alhasil, cerita hantu, mitos, dan tradisi di Asia Tenggara memiliki kemiripan sekaligus variasi yang beragam. Di masyarakat Indonesia, contohnya, beredar cerita kuntilanak, tuyul, genderuwo, kuyang, pocong, leak, dan jelangkung. Malaysia memiliki hantu yang mirip dengan Indonesia.
Sementara itu, hantu Thailand bervariasi, mulai dari pret (hantu lapar), krasue (seperti kuyang), hingga mae nak (hantu perempuan bertangan panjang). Kekayaan tersebut telah sekilas ditampilkan dalam serial antologi mitos dan cerita rakyat Asia, Folklore (2018-sekarang), ciptaan sutradara Singapura Eric Khoo.
Penonton internasional telah menyadari potensi itu. Film horor Asia Tenggara sebenarnya mirip dengan film klasik Eropa atau Amerika Utara era 1970-1980 karena diproduksi dengan cepat dan murah serta memiliki adegan berdarah yang sadis. Namun, penambahan cerita rakyat setempat itu seolah memberi nafas baru di pasar horor yang tengah jenuh.
Pengajar film dan televisi di University of Nottingham Malaysia, Thomas Barker, mengatakan, sineas Asia Tenggara berinovasi dalam genre yang telah agak basi di negara Barat dengan menggunakan ungkapan, alur cerita, dan monster yang familiar. Akan tetapi, pelokalan plot dan konteks menjadi kunci kesuksesan.
“Dengan memanfaatkan cerita rakyat dan pengalaman lokal, tetapi juga sangat menyadari genre horor global, pembuat film membawa ide-ide segar, termasuk jenis monster dan kengerian baru,” kata Barker.
Cerita dan teknologi
Film horor Indonesia cukup terkenal sejak akhir tahun 1960-an. Beranak dalam Kubur (1972), Pengabdi Setan (1980), dan Leak (1981) pernah berjaya pada masanya. Produksi film horor kembali menggeliat mulai awal tahun 2000 berkat Jelangkung (2001). Kualitas produksi juga semakin membaik satu dekade terakhir ini.
Pengajar di Institut Kesenian Jakarta dan sutradara, Marselli Sumarno, mengatakan, jika diperhatikan, film horor negara Barat maju dengan menggunakan pendekatan sinematik yang sekarang dibantu teknologi canggih. Sementara itu, Jepang berhasil dengan mempertahankan tradisi saat membuat film horor, ketimbang Korsel yang lebih memilih jalur populer.
Karena itu, lanjutnya, sudah saatnya sineas Indonesia mengeksploitasi cerita, keyakinan, ritual, dan kebiasaan tradisional yang ada di sekitar. Apalagi, sudah terbukti bahwa negara yang menggunakan legenda dan mitos bisa memajukan kebudayaannya, seperti Yunani.
“Cerita kita itu sebenarnya bagus jika digali, tetapi kalau mau kuat mesti ada pencanggihan cara bertutur yang bisa memadukan cerita tradisional dan teknologi. Kadang teknologi kita itu tidak kesampaian untuk menciptakan roh yang meyakinkan dan formula film mengulang sehingga terkesan dangkal,” ujar Marselli, dihubungi terpisah di Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Marselli mencontohkan banyak cerita lokal yang bisa dibuat menjadi film menarik. Sineas Indonesia bisa menggali soal kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan, ritual memindahkan tempat tinggal hantu yang mengganggu, tradisi memakamkan orang di dalam rumah, atau praktik ilmu sakti. Topik ini sebenarnya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat.
Baca juga: Tentang Film Horor yang Digemari dan Berkualitas
Dalam membuat konflik, ia melanjutkan, konflik bisa dibuat tidak hanya antar-manusia. Konflik bisa dibuat dengan membenturkan manusia dengan makhluk lain, makhluk tak terlihat, atau sesuatu yang abstrak, misalnya trauma, adat, dan ideologi. Penyajian cerita horor juga bisa dengan memadukan genre lain agar lebih menarik.
“Negara Eropa itu bisa membuat coklat dan kopi terbaik, tetapi mereka tidak bisa memproduksi bahan baku. Kita juga bisa jualan asal berani melakukan eksperimen dan eksplorasi kesenian,” ujarnya. (Al Jazeera)