Band Rock yang Memetik Buah Manis Era Internet
Band-band rock yang lahir dan tumbuh di milenium ketiga meniti karier dengan cara yang berbeda dari band-band era sebelumnya. Mereka memanfaatkan benar teknologi internet untuk menopang karier bermusik.
Era teknologi internet dan media sosial menjadi tumpuan band-band rock yang lahir dan tumbuh di milenium ketiga. Terlebih saat dunia digempur pandemi Covid-19. Berlian-berlian musik rock pun berupaya meliuk lincah di belantara jagat digital.
Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Ke-76 Republik Indonesia, Selasa (17/8/2021), trio beraliran rock asal Garut, Jawa Barat, Voice of Baceprot (VOB), yang diawaki Firdda Marsya Kurnia (vokal dan gitar), Widi Rahmawati (bas), dan Euis Siti Aisyah (drum) merilis singel terbaru mereka, ”God, Allow Me (Please) To Play Music”. Singel ini menjadi pembuktian tanpa henti bahwa mereka tak semata karena penampilan mereka, tetapi karena mereka benar-benar serius bermusik.
Seperti singel-singel milik VOB terdahulu, ”God, Allow Me (Please) To Play Music” juga masih kencang menderu, sekaligus menunjukkan kematangan trio ini dalam bermusik. Gebukan drum Siti makin bertenaga, begitu pula dengan permainan bas Widi yang makin membetot serta cabikan gitar dan vokal Marsya yang makin garang. Kerja keras ketiganya terbayar di singel yang dirilis dalam format digital tersebut. Pantas bila VOB mendapat ”tiket” untuk tampil di festival musik heavy metal besar di Jerman tahun depan, Wacken Open Air.
Dalam wawancara daring pada Kamis (19/8/2021) sore, Marsya menuturkan, ide singel tersebut sudah lahir tahun 2016 saat mereka merintis karier di Garut. ”Ini, tuh, tentang pengalaman kami di mana kami berada di satu fase lagi capek-capeknya berkonfrontasi dengan orang-orang yang terus-terusan menentang keputusan hidup kami untuk bermusik. Banyak yang bilang perempuan berhijab kayak kami enggak cocok main musik, apalagi musiknya musik metal, musik rock yang keras. Makanya lahir lagu ini,” tutur Marsya.
Baca juga : Voice of Baceprot, Band Metal Sadar Literasi
Sejak awal, jalan yang ditempuh trio VOB memang tak mulus. Ada saja yang tak suka melihat mereka bermusik. Padahal, mereka betul-betul ”hanya” ingin bermusik. Keresahan itu mereka sampaikan kepada Abah Ersa (Cep Ersa Eka Susila Satia), guru yang menjadi pembimbing mereka bermusik. ”Abah bilang, kalau kalian masih percaya Tuhan, bikin lagu yang minta izin ke Tuhan langsung,” ucap Marsya.
Simak penggalan lirik ”God, Allow Me (Please) To Play Music” yang dalam, langsung ke sasaran. ”I’m not the criminal/ I’m not the enemy/ I just wanna sing a song to show my soul/ I’m not the corruptor/ I’m not the enemy/ I just wanna sing a song to show my soul”.
Mereka berharap, setelah mendengar lagu itu, orang-orang bisa lebih toleran. ”Bukan cuma pada hal-hal yang menyangkut keyakinan, tetapi hal seperti perbedaan pendapat, cara pandang, bahkan hal seprivat keputusan hidup pun seharusnya orang bisa lebih menghargai. Sebab, kita enggak punya hak untuk menghakimi,” tutur Marsya.
Buah manis
Merintis jalan rock sejak tahun 2014 di ”Kota Dodol”, Garut, VOB adalah berlian tersembunyi yang ditemukan oleh keajaiban teknologi bernama internet. VOB memulai perjalanan mereka dari teknologi internet, bahkan memetik buah manis dari kemajuan teknologi.
”Sebenarnya dari awal kami juga sudah menggunakan teknologi. Misalnya, pas belajar, kami nonton-nonton Youtube, latihan, dan mulai mem-posting karya-karya kami di media sosial. Tujuannya ya saat itu hanya untuk seru-seruan, selain juga untuk mengungkapkan kegelisahan kami terhadap dunia sekitar,” kata Marsya.
Dapatkan Tiket dan Saksikan: Konser Virtual God Bless 48th Anniversary
Tak dinyana, banyak yang suka. Mereka pun belajar lebih serius lagi, sekaligus memaksimalkan kemajuan teknologi untuk mendistribusikan musik mereka, memperluas jangkauan. ”Justru sekarang kami merasa sangat diuntungkan karena adanya teknologi. Mungkin kalau enggak ada Youtube, IG (Instagram), dan semacamnya, kami enggak akan dikenal secepat ini,” ujar Marsya.
Dengan media sosial, saat manggung pun, sesederhana foto bersama di lokasi lalu mereka unggah di Instagram, Facebook, atau Twitter, responsnya luar biasa. ”Ramai banget karena jadi lebih cepat sampai ke orang-orang. Mereka tahu berarti benar mau main di situ. Jadi makin banyak orang datang. Seterbantu itu oleh medsos,” ucap Siti.
Tak urung, pandemi Covid-19 membuat sepak terjang mereka tersendat. Saat ini, promosi pun lebih banyak dilakukan secara digital menggunakan Youtube atau rilis di kanal musik daring berbayar. ”Kalau dulu launching singel bisa party, sekarang kami maksimalin media sosial,” kata Marsya.
Zaman memang telah berubah. Berada di bawah manajemen profesional seperti Amity Asia pun tak lantas membuat VOB lemah dari sisi daya tawar. Proses kreatif, misalnya, tetap dilakukan secara merdeka. VOB pun mendapat kebebasan untuk menentukan rancangan merchandise band yang kini lebih girly, seperti keinginan mereka menjadi band rock metal yang imut-imut.
Manajer VOB, Henry Bangun, mengatakan, diskusi selalu terbuka, termasuk soal tawaran manggung. ”Batasannya konsep. Panggungnya apa, ini yang kami kurasi untuk memastikan apakah event itu betul-betul mau melihat VOB sebagai band atau hanya mendramatisir, dianggap hanya mewakili agama atau golongan tertentu saja jadi dipolitisir,” kata Henry.
Scaller
Sama halnya dengan VOB, band rock indie Scaller yang diawaki oleh Stella Gareth dan Reney Karamoy sejak tahun 2012 ini pun menikmati buah kemajuan era internet. Tak hanya membantu proses kreatif, tetapi juga berpromosi.
”Kami beruntung tumbuh di era ini karena akses untuk produksi rekaman semakin efisien dan terjangkau untuk kami yang memproduksi musik secara independen. Di era sebelumnya, hal ini mungkin hanya bisa terakses untuk artis di bawah label besar,” kata Stella.
Dari segi teknis, misalnya, mereka jadi bisa merekam dan melakukan workshop musik di mana pun, tanpa mengurangi kualitas rekamannya, seperti di kabin di tengah hutan atau di pinggir pantai.
”Semuanya berkesinambungan dan bagi kami yang suka melakukan rekaman secara mobile, terbantu sekali dengan workflow seperti ini, sehingga eksplorasi suara dan musik pun jadi tanpa batas,” tambah Stella. Begitu pula dengan kehadiran media sosial sangat membantu dalam menemukan pendengar baru.
Baca Juga: God Bless, Rumah Terberkati bagi Para Raksasa
Cara kerja yang lebih independen, mulai dari proses kreatif, pengambilan keputusan, sampai metode promosi, meski menguras tenaga, memberi keduanya kesempatan belajar. ”Kami sesekali berkonsultasi dengan manajemen rekanan dan kolega-kolega lainnya. Namun, keputusan tetap dibuat berdua,” ujar Stella.
Termasuk soal distribusi rilisan fisik. Mereka bekerja sama dengan kios-kios penjual CD lokal dan untuk cendera mata, menggunakan lokapasar. CD dan cendera mata juga mereka bawa ketika tur dan menjualnya di lapak sendiri.
”Yang jadi kendala adalah infrastruktur. Kami merasa gedung konser yang proper dari segi akustik, audio, penataan cahaya, masih minim. Dengan platform itu, akan muncul banyak variasi musisi yang layak untuk diperdengarkan dan ditampilkan. Seperti halnya teknologi, infrastruktur pun punya peranan,” ungkap Stella.
Ekspansi rock
Era internet memang sebuah keajaiban. Namun, tak ayal, pandemi Covid-19 memberi guncangan yang tak kecil bagi pelaku di dunia musik. Kantor Berita Angkasa Records di Pasar Rebo, Jakarta Timur, misalnya, hampir kosong semenjak pandemi.
Dari rumah, ke-12 pekerjanya berupaya keras mempertahankan penghasilan. Memproduksi album, iklan komersial, dan menjual pernak-pernik band di lokapasar.
Berita Angkasa didirikan Rizma Arizky (34) pada 2015 karena band asuhannya, Kelompok Penerbang Roket (KPR), akan merilis album. Rizma membentuk band itu dari nol sejak 2011, menyatukan John Paul Patton (bas/vokal), Rey Baker (gitar), dan Viky Vikranta (drum). Rizma jadi manajernya.
Setelah meraup penggemar dari panggung ke panggung, album perdana Teriakan Bocah direspons positif. Seiring popularitas yang meroket, KPR mulai diundang di festival besar. Tak hanya menghadirkan pakar audio, kebutuhan produk video untuk band memberi ide bagi Rizma untuk mengembangkan unit bisnis baru, Berita Angkasa Studio.
Semula, studio itu untuk menggarap klip musik, film, juga desain visual pernak-pernik seperti kaus dan sampul album. Lambat laun studio juga menerima pesanan produk yang masih berkaitan dengan musik. ”Kas Berita Angkasa sekarang sebagian besar disubsidi dari unit studio ini,” kata Rizma.
Keunggulan itu justru memberi peluang untuk memproduksi rilisan musik. Dari semula hanya menaungi KPR, Berita Angkasa kini punya empat artis lain, yaitu band rock Jangar asal Bali, drumer jazz Rafi Muhammad, solois blues rock Morad, dan solois kugiran Anda Perdana.
Morad (26), meski lahir di era pandemi, hingga kini sudah merilis tiga singel. ”Aku masih tetap optimistis. Strateginya, aku dan manajemen mengoptimalkan media sosial aja sekarang. Masih adaptasi juga karena sampai sekarang pun formula pas untuk overcome situasi kayak gini emang belum ada. Kita mesti adaptasi terus, eksplor terus. Jadi konten-konten digital sih pasti, bakal lebih kuat,” tutur Morad.
Jalan masih panjang. Namun, rock terus berdenyut kencang di belantara digital.