Sejumlah musisi menggarap lagi lagu-lagu bercorak 80-an. Musik asyik dari tiga-empat dekade lalu, yang terdengar antik saat ini.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI DAN DWI AS SETIANINGSIH
·5 menit baca
Anggapan bahwa terobosan musik berhenti ketika Kraftwerk membuat album The Man-Machine tak sepenuhnya salah. Unsur bunyi elektronika dan ketukannya menjejak di kancah musik populer. Musik bernuansa masa depan—kini terdengar antik—bermunculan lagi di hari ini bahkan ketika album fenomenal itu telah berusia empat dekade.
Solois Danilla Riyadi mengeluarkan album Peluh, Gairah, dan Kelana(80’s Version) pada pertengahan Mei lalu. Album itu berisi delapan lagu pilihan dari dua album penuh dan satu minialbum sebelumnya. Delapan lagu itu diaransemen ulang bergaya pop ’80-an. Dia tampil glamor—bergaun panjang keemasan dengan rambut mengembang layaknya Jane Fonda masa muda.
Danilla diiringi band yang dimotori Lafa Pratomo dan Otta Tarrega. Danilla, Lafa, dan Otta dibantu musisi Gallang Perdana (bas), Edward Manurung (drum), dan Rendi James (gitar). Persekutuan mereka bernama Danilla & The Glamors.
Pemilihan judul album diusulkan Lafa karena, menurut dia, diksi itu banyak dipakai di literatur era ’80-an. Danilla sontak tertawa begitu mendengar usulan sohib sejak jaman kuliahnya itu. ”Yang tergambar langsung sosok Barry Prima, ha-ha-ha,” kata Danilla dalam perbicangan melalui panggilan video pada Sabtu (29/5/2021).
Corak pop dan disko di album reka ulang ini bertolak belakang dengan album-album terdahulunya. Sukar dimungkiri versi awal ”Terpaut oleh Waktu” pada album perdana Telisik (2017), misalnya, bisa membuat pendengarnya senyam-senyum karena merasa sedang dikangeni Danilla. Atau track lainnya, ”Aaa” dari album kedua Lintasan Waktu (2018), cocok didengar sambil melamun sendirian.
Kesan suwung itu terkikis. Dalam versi barunya, lagu ”Terpaut oleh Waktu” terdengar lebih ritmis dengan suara bas yang dalam. Bunyi gitar ritem berdistorsi tipis mengiringi ketat gitar melodi bernada tinggi, berkesan glam rock gaya Poison atau Whitesnake.
Lagu ”Terpaut oleh Waktu” diaransemen sedemikian rupa pada September 2020 bersamaan dengan trek ”Senja di Ambang Pilu”. ”Dua lagu (versi baru) itu awalnya untuk mengiringi acara ’Senam Bersama Danilla’, iseng aja untuk aktivasi karena kelamaan enggak manggung. Tapi acaranya batal, terus bingung lagunya mau untuk apa lagi,” kata Danilla, yang tak lain adalah keponakan mendiang Dian Pramana Poetra, penyanyi pop tenar di dekade 1980-an.
Kerja kelompok
Dia lalu dapat tawaran tampil di festival virtual I don’t Give a Fest yang berlangsung April 2021. Untuk main di sana, penampil disarankan menyuguhkan hal di luar kebiasaan. Manajer Danilla, Kiki Aulia, menyarankan mereka memainkan corak musik reggae.
”Wah, kalau reggae, gue tahunya Bob Marley doang,” kata Danilla. Dibandingkan reggae, dia dan Lafa lebih akrab dengan glam rock atau disko pop gaya Kylie Minogue ataupun Madonna. Referensi lainnya adalah Depeche Mode yang terpengaruh Kraftwerk.
Warna musik ’80-an yang pernah mereka kerjakan sebelumnya jadi punya kesempatan dipentaskan. Mereka perlu mengaransemen lagu lain sebagai pelengkap. Danilla lantas memilih ”Renjana”, ”Ikatan Waktu Lampau”, ”Lintasan Waktu”, ”Aaa”, ”Pinky & Thumb”, serta ”Middle” untuk di-80-kan.
Patokan pilihan lagunya pada mood yang sama, yang tidak terlalu gelap atau sendu.
”Patokan pilihan lagunya pada mood yang sama, yang tidak terlalu gelap atau sendu. Ya, sebenarnya pilih lagu yang bisa dijadul-jadulin dan kalau dimainkan di panggung seru,” ujarnya.
Aransemen baru dikerjakan oleh Lafa dan Otta, bersamping-sampingan di hadapan komputer masing-masing. ”Otta bikin draf aransemen, gue sempurnainsound-nya. Kirim ke Danilla untuk isi vokal di bilik rekaman. Hasil rekaman vokal dikirim lagi ke gue untuk mixing. Prosesnya kayak kerja kelompok,” kata Lafa.
Enam lagu kelar digeber dalam dua hari sebelum merekam video untuk festival virtual itu. Waktu ”manggung”, mereka tampil habis-habisan dan girang bukan kepalang. Euforia itu terlalu sayang menguap begitu saja. Akhirnya lagu-lagu itu disempurnakan lagi di studio selama tiga hari untuk dijadikan album. Jadinya, album ini digarap dalam waktu lima hari.
Artikulatif
Berkaca dari penggarapan album yang telah tersedia di layanan streaming ini, mereka beranggapan bahwa musik pop era masa lalu, khususnya ’80-an, berkarakter kuat. ”Secara vokal, penyanyi dari era itu rata-rata sangat artikulatif, pelafalannya jelas banget. Gaya nyanyinya Om Iyek (Achmad Albar) seperti itu, kan. Kalau musiknya terasa kemilau, atau mengkrelep, istilahnya orang Kebon Baru,” tutur Danilla.
Orang bikin musik di era itu rohnya terasa banget, kayak mengajak ’ayo semangat’. Ada gairahnya, gitu. Coba aja dengar musik-musiknya Fariz RM, Candra Darusman, Dian Pramana Poetra, kerasa banget tuh.
Menurut Lafa, karya musik pop Indonesia di era ’80-an sangat terasa gairahnya. ”Orang bikin musik di era itu rohnya terasa banget, kayak mengajak ’ayo semangat’. Ada gairahnya, gitu. Coba aja dengar musik-musiknya Fariz RM, Candra Darusman, Dian Pramana Poetra, kerasa banget tuh,” kata Lafa.
Kesan yang didapat Lafa dan Danilla itu nyata. Candra Darusman, misalnya, punya lagu berjudul ”Pemuda” yang sangat cocok jadi lagu peringatan Hari Sumpah Pemuda. Bukan kebetulan, Candra juga sedang ”meremajakan” lagu-lagunya dengan dinyanyikan lagi oleh penyanyi dan band-band masa kini. Lagu ”Pemuda” itu, misalnya, dinyanyikan ulang oleh Afgan di album Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman (2018).
Album lanjutan Detik Waktu ini dikabarkan keluar pada semester kedua 2021 ini. Singel pertama album ini menampilkan Ardhito Pramono dalam lagu ”Waktuku Hampa”. Sementara singel keduanya beredar Jumat (11/6/2021) dengan judul ”Perjumpaan Kita” dengan aktris Dian Sastrowardoyo sebagai partner duet Candra.
Irama brasilian pada lagu ”Perjumpaan Kita” ini adalah salah satu kesukaan Candra, yang terpancar dari lagu-lagu lamanya. Pada era 1980-an, musik pop Indonesia banyak dipengaruhi irama brasilian semacam bossanova yang banyak diusung penyanyi Andi Meriem Matalatta dan Ermy Kullit.
Bagi musisi dan penyanyi Mondo Gascaro, kelebihan karya musik Indonesia di era ’80-an terletak pada musiknya yang sangat serius, khususnya dalam hal penulisan lagu.
”Penulisan lagu di era itu kuat, ya, dari nadanya, juga liriknya. Mau menyampaikan apa sangat jelas, artikulatif. Secara musik, hampir semuanya singable walaupun strukturnya susah,” kata pemenang Piala Citra 2019 kategori penata musik lewat film Kucumbu Tubuh Indahku ini.
Karya-karya Mondo, baik ketika bergabung di band Sore maupun proyek solo, terpengaruh dari musik Indonesia berbagai era, termasuk era ’80-an. Dia mengakui lebih sering terpapar musik dari era 1970 hingga 1980-an karena lebih mudah didapat dibandingkan era sebelumnya. Album solonya, Rajakelana (2016), mencerminkan ragam pengaruh berbagai era itu.
Bagi dia, mengenal dan mengetahui karya musisi di era sebelumnya bisa menjadi bekal bagi musisi penerus. Dia menjuluki musik pop Indonesia yang bernuansa masa silam dalam istilah ”Indonesiana”, sejajar dengan Brasiliana. ”Indonesiana itu, ya, sebenarnya musik pop Indonesia yang mencoba sadar akan sejarahnya sendiri,” kata Mondo.