Dua Puluh Lima Tahun Navicula
Garis tangan Navicula memang jauh berbeda dari kebanyakan band rock Indonesia lainnya. Alih-alih mendulang uang, sepanjang kariernya yang pada 2021 ini menginjak usia 25 tahun, Navicula menabung social currency
Malam sudah menggelinding jadi dini hari ketika akhirnya Navicula naik panggung dan menghantam seperti badai. Sebelumnya, Prost Beer Kemang sepanjang malam bulan April 2009 yang panas itu memang sudah terlebih dulu berantakan digempur berbagai band grunge akar rumput, mulai Alien Sick, Besok Bubar, Konspirasi, Respito, dan lain sebagainya.
Sebagian sukses menyuguhkan grunge, salah satu sub-genre rock paling kontroversial – karena beberapa pengusung terbesarnya malah menolak disebut membawakan musik grunge (Pearl Jam, misalnya) – yang menjadi soundtrack masa remaja hampir seluruh Generasi X di dunia. Sebagian sisanya berakhir sebagai band yang boleh kita sebut sudah mencoba semampunya.
Masa itu adalah masa yang tidak terlampau bagus bagi Navicula, band grunge asal Bali yang dijuluki sebagai Green Grunge Gentlemen karena kadar kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan yang terbilang berlebihan untuk ukuran musisi (bahkan tingkat dunia sekalipun!). Setelah melepaskan diri dari Sony BMG (sekarang Sony Music) yang menjadi bendera rilis album Alkemis pada 2005, Navicula terombang-ambing di alam indie. Karya tentu tetap melaju, dibuktikan dengan konsistensi mereka menelurkan album tiap dua tahun sekali, yaitu Beautiful Rebel (2007) dan Salto (2009). Namun demikian, penerimaan audiens luas, yang jelas erat kaitannya dengan gelontoran bujet marketing sebuah band, seperti tak kunjung mampu mereka raih.
Secara khusus, Beautiful Rebel mendapat pujian sekaligus kritik miris dari berbagai media musik Indonesia. Majalah HAI (versi online) yang jelas merupakan salah satu acuan musik anak muda pada masa itu menyebut Beautiful Rebel sebagai album rock yang bagus namun dengan kualitas produksi yang sungguh payah. Wajar. Kalau kita bandingkan mewahnya tata suara dan kemasan sampul album Alkemis yang dimodali Sony BMG dan Beautiful Rebel hasil saweran mandiri yang macam CD bajakan ditempeli selembar kertas berisi ilustrasi yang mereka sebut sampul, jelas itu akan membuat siapa pun yang punya secuil penghargaan pada musik rock dalam negeri akan menitikkan air mata.
Bagaimanapun, Beautiful Rebel punya satu permata indah di dalamnya. Namanya “Aku Bukan Mesin”. Dalam lagu itu Navicula menyuguhkan kesaktian musik mereka secara utuh. Riff gitar yang gahar, groove matang, dan tentu saja tema lagu yang sepenuhnya memberontak. Singkat kata, seperti itulah seharusnya musik grunge dimainkan!
Barangkali perpaduan kritik majalah HAI atas payahnya kualitas produksi album Beautiful Rebel dan kesadaran mereka sendiri yang diamini seluruh pendengarnya tentang kedahsyatan “Aku Bukan Mesin” itulah yang kemudian mendorong Navicula merekam ulang lagu itu ketika pada November 2012 Band ini mendapat kesempatan langka berkolaborasi dengan salah satu nama terbesar dalam peta grunge dunia: Alain Johannes.
Di bawah bimbingan produser dari nama-nama beken macam Chris Cornell, Queens of the Stone Age, Arctic Monkeys, PJ Harvey, hingga Them Crooked Vultures, Navicula berhasil melahirkan kembali Aku Bukan Mesin dalam kapasitas maksimalnya. Pada akhirnya, bicara produksi musik yang mumpuni memang berarti bicara soal sumber daya manusia, modal, dan pengalaman. Sama sekali tidak ada jalan pintas.
Berbeda dengan pola hidup kebanyakan band rock yang menempuh jalur linear “menelurkan album-konser-beken-kaya”, Navicula seolah punya garis tangannya sendiri. Tidak bisa dibilang bagus sepenuhnya, namun jelas sangat unik dan menggairahkan.
Sejak mula Navicula memang memulai semuanya di jalur indie dengan berturut-turut merilis album kompilasi Underdog Society (1998), Self Portrait (1999), dan KUTA (Keep Unity Thru Art) pada 2003. Perubahan jalur hidup mereka menjadi ke dalam pengelolaan label rekaman besar hanya berlangsung sesaat. Hanya melahirkan satu album, Alkemis (2005). Dengan alasan pribadi yang rasanya bisa dengan mudah kita duga, mereka akhirnya menceraikan diri dari Sony BMG dan kembali ke dunianya semula. Dunia indie.
Tentu saja itu sama sekali tidak mudah. Kegamangan dan terutama keraguan pada kemampuan diri sendiri demikian kental terasa, terutama dalam album Salto (2009) yang seperti tidak punya jati diri musik yang jelas. Album itu, dengan gambar ulat bulu warna kuning terang sebagai sampul, seperti terbelah antara kepingin menyalurkan idealisme musik dan mencoba menyuguhkan musik rock yang sekiranya disukai publik. Meski tidak bisa dibilang sepenuhnya gagal, Salto jelas bukan album terbaik yang pernah dihasilkan Navicula.
Kebingungan arah bermusik pelan-pelan mereka atasi bukan dengan wawasan bunyi, melainkan wawasan lingkungan dan sosial. Lebih tepatnya, keberpihakan pada upaya nyata melestarikan lingkungan Indonesia dan ajakan sederhana untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial bangsa. Bagaikan tombak kembar, Robi (vokalis, gitaris) dan Dankie (gitaris) tak henti menyambar isu-isu lingkungan dan sosial untuk kemudian bersama menyulingnya menjadi lagu. Bukan sembarang lagu, melainkan lagu grunge yang enak di telinga, seru diteriakkan bersama di panggung-panggung di penjuru Indonesia, dan sejatinya memang memuat pesan yang perlu didengar, bahkan direnungkan.
Di antara sekian banyak, sebut saja “Mafia Hukum” yang menyoroti maraknya praktik jual beli kasus, “Orangutan” yang tentu saja berkisah tentang pedihnya nasib orangutan yang kini sudah demikian terpojok, “Kalimati” yang menangisi polusi di sungai kota-kota besar, “Mafia Medis” yang meneriakkan penderitaan rakyat jelata kala dicekik tagihan rumah sakit, “Di Rimba” yang bermanis-manis tentang keagungan hutan belantara Indonesia, “Busur Hujan” yang dengan tegas menunjukkan keberpihakan Navicula pada kemanusiaan, “Refuse to Forget” yang keras sekali menyuarakan soal kasus Munir, “Biarlah Malaikat” yang terang-terangan mendukung upaya KPK memberantas korupsi di Indonesia, “Ibu” yang merupakan lagu cinta pada bumi, hingga “Metropolutan” yang secara komikal menyindir payahnya kondisi lingkungan kota Jakarta.
Bagi Navicula, tema lagu-lagu tersebut tidaklah berat. Tidak pula dibuat-buat. Semua mengalir demikian alamiah ke dalam susunan nada-nada keras yang jadi ciri khas mereka. Ciri khas musik grunge. Proses penulisan lagunya pun, berdasarkan pengakuan Robi dan Dankie, banyak yang terbilang wajar-wajar saja, bahkan sebagian lahir dari pengalaman keseharian mereka sebagai manusia Indonesia yang kebetulan sama-sama tinggal di Bali.
“Metropolutan” lahir ketika Robi terpaksa menahan kencing karena taksi yang ditumpanginya dalam perjalanan menuju sebuah stasiun radio di Jakarta terjebak macet parah. “Busur Hujan” ditulis ketika kapal legendaris milik Greenpeace yang berbendera Rainbow Warrior akan berlabuh di Bali dan membuat kolaborasi khusus bersama Navicula. “Mafia Hukum” barangkali jadi yang paling akademis proses penulisannya. Lagu itu disusun setelah Robi mengikuti seminar soal upaya pemberantasan korupsi yang digelar oleh Indonesia Corruption Watch.
Tidak hanya di rumah atau di kota, lagu-lagu Navicula banyak yang lahir di tengah hutan, saat mereka dengan gilanya menjalani tur menggunakan mobil dan motor trail menyusuri ribuan kilometer jalan tanah penuh debu yang membelah hutan belantara maupun hutan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan. “Di Rimba” dan “Orangutan” adalah dua dari beberapa lagu yang tercipta dari proses kreatif seperti itu.
Pada akhirnya, garis tangan Navicula memang jauh berbeda dari kebanyakan band rock Indonesia lainnya. Alih-alih mendulang uang, sepanjang kariernya yang pada 2021 ini menginjak usia 25 tahun, Navicula menabung social currency. Segunung social currency! Itu, dalam banyak dimensi, jelas jauh lebih berharga ketimbang uang.
Keseharian yang sederhana, keteguhan mengusung apa yang disebut sebagai ajaran walk the talk, dan kejernihan visi menjadikan musik sebagai medium untuk menyampaikan beragam ajakan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sedikit demi sedikit memperbaiki tatanan sosial Indonesia telah mengukuhkan Navicula sebagai Green Grunge Gentlemen sesungguhnya, bukan sekadar marketing gimmick untuk menjual musik belaka.
Patutlah mereka disebut sebagai para ksatria distorsi yang mengabdikan waktu dan bahkan hidupnya bagi kebaikan sesama manusia.
Eko Wustuk
Penggemar musik dan penulis buku indie