Narasi Berani Busana Lelaki Masa Kini
Lelaki tak perlu takut berbusana keluar dari kebiasaannya. Sebab, pilihan busana adalah bagian dari ekspresi diri.
Para pria, coba cek isi lemari Anda. Apakah isinya melulu kaus berkerah, kemeja kotak-kotak, atau malah kaus band yang lama tidak mengeluarkan album itu? Jika iya, barangkali Anda perlu sesekali menengok acara peragaan busana pria. Corak, potongan, jenis kain, dan pemadupadanannya bisa bikin Anda melongo. Siapa tahu isi lemari Anda jadi makin ”berwarna”.
Salah satu acara peragaan busana yang memamerkan rupa-rupa pakaian untuk pria berlangsung dalam Plaza Indonesia Men’s Fashion Week (PIMFW) di Jakarta pada 2-7 September. Ada 40 perancang busana yang menunjukkan kreasinya agar mas-mas, om-om, bapak-bapak bajunya tidak itu-itu melulu. Ragam busana itu terangkum dalam tema ”Modern Gentleman”. Inilah ajang pamer busana pria yang mengaku dirinya modern.
Kata ”modern” dalam tema itu sepertinya penting. Gaya busana pria menjadi semenjana setelah era Victoria di daratan Eropa di abad ke-19. Menurut Jennifer Craik dalam buku The Face of Fashion: Cultural Studies in Fashion, hal ini seturut dengan pembagian peran sesuai gender. Secara bertahap, perempuanlah yang kebagian peran sebagai makhluk berbusana baik.
Sementara laki-laki berkubang dalam anggapan bahwa ”lelaki berpakaian demi kepantasan dan kenyamanan belaka; perempuan mendandani dan membelikan pakaian untuk lelaki; lelaki yang berdandan dianggap janggal; dan lelaki dianggap abai pada gaya busana”. Anggapan inilah yang tertanam sekian lama, sampai-sampai pria berbusana bukan demi penampilan menarik, tapi asal pantas saja.
Dalam perkembangannya, lelaki banyak yang menjadi perancang busana. Mereka tak hanya mengkreasikan pakaian untuk perempuan. Laki-laki pun mereka buatkan pola busana dan gayanya.
Andandika Surasetja adalah perancang busana yang ikut memamerkan karyanya di ajang PIMFW. Gaya busananya sehari-hari terbilang nyentrik. Kadang Andandika memakai gaun tipis dipadu dalaman dan celana panjang. Atau kalau sedang bekerja sehari-hari, Dika kerap memadukan celana pendek dan hem. Sedangkan desainer Iyo Nono suka memakai rok sebagai busana sehari-hari.
Gaya seperti itu mungkin mulai sering terlihat di acara tertentu, misal gala peluncuran film, atau konser musik—terlihat pada konser Bruno Mars pekan ini dan konser-konser lainnya. Akan tetapi, di tempat yang lebih umum, gaya semacam ini belum jamak terlihat.
”Baju itu genderless; tak ada batasan baju untuk laki, atau untuk perempuan. Siapa pun bisa memakainya asal merasa nyaman,” kata Dika, nama panggilan Andandika, Jumat (6/9/2024). Dika adalah pendiri dan Direktur Kreatif Studio Moral, serta Direktur Kreatif Jakarta Fashion Week. Dia bilang, keputusan memilih model baju adalah wujud ekspresi diri pemakainya.
Generasi muda, kata Dika, makin berani menunjukkan identitasnya lewat pakaian. Keberanian itu sejalan dengan sifat pekerjaan yang tak melulu formal; jam kerja yang lebih lentur; serta tempat kerja yang tidak kudu di kantor. Kelenturan mendasari pilihan berpakaian.
Baca juga: Daulat Sandang dari Perdesaan
Dika menyediakan gaya busana yang sekiranya cocok bagi pribadi fleksibel. Bawahan berbentuk rok untuk laki-laki adalah salah satunya. Dika membuat rok lipit pasang-lepas yang bisa ditambahkan jadi aksen di celana. Dika mengklaim, model itu laris dibeli. Stoknya ditambah.
Pakaian buatan Studio Moral, jenama bikinan Dika, kebanyakan dibeli lelaki. Namun, Dika bilang, baju rancangannya uniseks, alias bisa dipakai perempuan juga. Menurut Dika, pria tak harus tampil maskulin, tetapi juga bisa sedikit feminin. ”Ada sifat feminin dalam diri setiap lelaki. Sebaliknya, perempuan juga begitu,” kata Dika. Pernyataan ini disetujui oleh Iyo Nono yang juga kerap memakai rok.
Pemusik Gusty Pratama mulai berani mencoba berbusana seperti itu. Saat menghadiri ajang PIMFW pada Rabu (4/9/2024), personel band KIM itu memakai kemeja putih dengan bawahan jin biru muda. Di bagian belakang celananya, Gusty mengimbuhkan kain berbentuk setengah rok juga berbahan jin. Tampilan dia makin maksimal dengan aksesori anting panjang di telinga kirinya.
”Aku mulai berani pakai begini karena melihat beberapa cowok mulai pakai rok. Lalu aku mencobanya. Nyaman, sih,” katanya. Gusty bilang, tujuh kakak perempuannya mendukung gaya berbusana itu. ”Mereka malah support, banget,” ujarnya makin bersemangat.
Gaya ganjil
Peluang bermain dalam busana pria juga disajikan koleksi Danjyo Hiyoji yang bertajuk ”Monsieur”. Koleksi ini merupakan kerja bareng salah satu pendiri Danjyo Hiyoji, Dana Maulana, dan perancang Michael Samiadi.
Koleksi ini terinspirasi dari pertunjukan kabaret Perancis. Mereka berkreasi dengan busana tailored yang selama ini lekat dengan struktur tegas. Gaya yang terkesan rapi dan ”licin” itu mereka dekonstruksi. Dana dan Michael memainkan volume, siluet, serta memadukan warna dan bahan tak lazim.
”Kami mainin volume, dilebih-lebihkan. Misalnya bagian bahu lebih besar dari biasanya. Kami juga beri aksesi dari wire (kawat) yang kaku supaya ada tampilan yang whimsical (ganjil),” ucap Dana, Jumat. Dari konsep itu, jadilah 37 setelan jas unik. Ibaratnya, koleksi ini ”muncul” dari semesta Alice in Wonderland, atau Willy Wonka and the Chocolate Factory.
Busana yang dipakai aktor Dwi Sasono, misalnya, berwarna serba putih dengan dalaman tank top perak. Jas putihnya panjang hingga menyentuh paha dengan renda menjuntai. Bagian leher lantas dilengkapi hiasan pita besar dari kawat berbalut kain putih.
”Kami pakai berbagai bahan di koleksi ini; mulai dari sequins, satin, bulu palsu, katun, dan bahan serupa kulit. Kami kombinasikan setiap bahan agar unik,” kata Dana.
Koleksi ini adalah karya eksperimental Danjyo Hiyoji. Mereka mencoba menggubah busana formal dengan gaya jenaka. Gaya nyeleneh seperti ini biasanya dilirik anak muda yang berani tampil beda. Koleksi ini sudah laris dipesan setelah ditampilkan di landas peraga pekan lalu.
Agak bertolak belakang dengan Danjyo Hiyoji, kolaborasi jenama Biasa dan Studio Sejauh Mata Memandang memamerkan gaya busana yang cenderung aman dan santai, namun bukan berarti membosankan. Ukuran busananya cenderung longgar. Siluet busananya boleh santai, tapi kainnya dibikin dengan proses yang ”enggak santai”.
Ada 28 busana di koleksi ini, yang sekaligus menandakan kolaborasi perdana antara Biasa dan Studio Sejauh. Kain yang dipakai di koleksi ini dibuat oleh para mitra dan artisan Sejauh. Kain yang terinspirasi kain tenun Tuban (Jatim) ini ditenun artisan Pekalongan (Jateng). Setelahnya, kain dipoles artisan batik di Tuban dengan pewarna indigo nabati dari Temanggung (Jateng).
Baca juga: Sinergi untuk ”Modest Fashion” Indonesia ”Go International”
Ada juga busana yang diolah dari 100 persen benang bekas. Mereka berupaya menjunjung penghargaan kepada pekerja dan keberlanjutan lingkungan. Menurut pendiri Biasa, Susanna Perini, industri mode adalah salah satu industri paling berpolusi. Itu sebabnya, ia menyambut baik kolaborasi dengan Studio Sejauh yang selama ini menerapkan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Chitra Subyakto, pendiri Sejauh, dan Susanna merancang busana berbahan linen dengan potongan longgar. Selain nyaman, pakaian semacam ini cocok dipakai di daerah tropis yang panas dan lembab seperti Indonesia. Mereka berdua berujar, busana ini enak dipakai jalan-jalan di sawah. Namun, rasanya terlalu mewah untuk dipakai kerja di sawah.
Pakaian dalam koleksi ini umumnya berupa atasan berbentuk kemeja dan kaus, sementara bawahannya beragam. Ada celana pendek sebetis, celana panjang berpotongan lurus, hingga kulot berpotongan maksi yang terlihat seperti rok. Atasan dan bawahan itu bisa dipadankan sesuka hati.
Susanna dan Shitra menyiapkan pula aksesorinya, Ada topi, luaran, kain tenun, hingga tali yang menambah aksen pada busana. Pada akhirnya, rancangan seperti ini bisa dipakai siapa saja; laki-laki bisa, perempuan juga boleh.
”Yang penting, pertama, adalah kenyamanan. Dan yang kedua mudah dipadupadankan,” kata Chitra. Tanpa kenyamanan, busana hanya memenuhi kewajibannya sebagai penutup tubuh, namun gagal membuat pemakainya percaya diri dan bebas berekspresi.
Berani mencoba
Chitra dan Susanna memaklumi masih banyak pria yang enggan mengeksplorasi gaya berbusananya. Sementara itu, menurut Dika, laki-laki generasi muda mulai berani keluar dari pakem gaya pakaian pria. Hal itu bisa dimaklumi.
Seperti yang ditulis Craik, perempuan umumnya berbusana untuk mencapai imaji dikagumi, sementara penampilan pria cenderung berkaitan dengan peran aktif sosialnya, seperti pekerjaan dan status sosial. Ketika laki-laki terlalu atraktif atau rapi dalam berbusana, dia berisiko tidak terlihat jantan.
Gusty Pratama, generasi Z, misalnya berani tampil unik ketika menghadiri acara tertentu, seperti menghadiri pameran busana. Dia masih menahan diri untuk menjadikan gaya unik berbusananya di tempat yang lebih terbuka. Padahal, dia ingin tak sekadar pakai kemeja dan celana panjang biasa. Bagi Gusty, memilih model baju itu wujud ekspresi diri.
Baca juga: Mengetuk Pasar Mode Global Lewat Pintu Incubator
Susanna menyarankan agar para lelaki tak takut mencoba berbusana dengan ide tak biasa. Jika ide itu masih terlalu ”mengancam” (konstruksi sosial soal berbusana), lelaki dapat memulainya dengan memakai busana polos dengan aksen sederhana sehingga tampak unik.
Susanna dan Chitra sepaham dengan Michael Samiadi bahwa lelaki generasi Z atau milenial akhir cenderung lebih berani berdandan dibandingkan generasi yang lebih senior. ”Menurutku ada perubahan di busana pria. Mungkin cara berpakaian pria selama ini lebih minimalis. Tapi kini, generasi sekarang lebih berani dressing up lewat fashion. Dan itu sangat baik,” ucap Michael.
Di kancah musik, pada dekade 1980-an panggung-panggung diisi pria-pria gahar dengan riasan wajah warna-warni, gaya baju nyaris terbuka, dan celana ketat. Tengok saja gaya panggung band Twisted Sister atau Poison, atau bahkan Guns N’ Roses edisi awal. Tak ada yang meragukan maskulinitas mereka. Belakangan, citra glamor dan androgini itu muncul lagi, misalnya oleh grup Glass Beams atau Maneskin.
Bisa jadi, tiap zaman punya gaya dandannya masing-masing.