Jejak ”Modest Fashion” di Paris
”Modest fashion” punya kesempatan berkembang di pasar global, termasuk Eropa. Tetapi dengan penyesuaian yang cocok.
Apa yang dipikirkan ketika mendengar modest fashion alias busana santun? Banyak yang mengidentikkan dengan busana muslim. Sejatinya, modest lebih ke arah busana untuk tiap kalangan dengan tetap mempertahankan kesopanan tanpa memperlihatkan lekuk tubuh, apalagi transparan.
Seiring bangku penonton yang penuh, lampu di aula Salle Wagram, Paris, Perancis, Sabtu (7/9/2024), meredup perlahan. Liukan musik ala Timur Tengah mengalun, disusul satu per satu model berjalan memasuki bagian tengah aula yang disulap menjadi landas peraga.
Nama desainer Itang Yunasz disebut pertama usai para model berjajar dan kembali masuk ke area belakang panggung. Tak lama, lampu sorot mulai bekerja dan model-model silih berganti membawakan 10 tampilan dari koleksi Itang Yunasz.
Baca juga : Sinergi untuk ”Modest Fashion” Indonesia ”Go International”
Baju-baju berpotongan longgar dengan detail kerut atau tumpuk berbahan halus dari songket Bali disuguhkan Itang di panggung Indonesia International Modest Fashion Festival (IN2MF). Acara IN2MF yang dibuka untuk publik ini merupakan kerja sama Bank Indonesia (BI) dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Indonesia Fashion Chamber (IFC), dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, Perancis.
Selain Itang, ada sejumlah desainer dan jenama yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang bertujuan memperkenalkan mode busana santun atau modest fashion di Paris ini. Antara lain, Wignyo Rahadi, Dama Kara, Yece by Yeti Topiah, Luvnic, Jamilah x Prafito, Brilianto, Batik Chic, dan Dian Pelangi. Masing-masing membawakan 10 tampilan dalam tiap koleksinya.
Sebagian dari mereka juga mengedepankan wastra nusantara sebagai bahan dasar dari mode busana santun yang dibawa. Brilianto, misalnya, mengolah jumputan Palembang menjadi jaket, blazer, rok, hingga celana yang trendi. Sementara itu, Yeti Topiah memanfaatkan troso Jepara untuk diolahnya menjadi blazer, kulot, hingga kemeja.
Dama Kara dan Batik Chic sama-sama menggunakan tenun sutra Garut sebagai material untuk dijadikan beragam busana. Motif batik yang dibubuhkan sengaja dipilih bentuk geometris untuk menampilkan kesan kasual. Ini juga dilakukan jenama asal Yogyakarta, Luvnic.
Dari kulot, palazzo, skousers (rok celana), tunik, kemeja, outer, hingga luaran kimono bermotif geometris yang disusun bak batik berseliweran di atas landas peraga. Dama Kara dan Batik Chic lebih memilih warna biru dongker dipadu dengan putih atau putih tulang. Sementara Luvnic lebih lincah dengan warna kuning selain biru dongker dan putih.
”Kekhasan Luvnic pada motifnya itu. Geometris. Walau dibentuknya menjadi etnik. Untuk bahan, katun jadi pilihan, tapi yang dibawa ke Paris ini memang disesuaikan dengan kondisi di sini sesuai masukan saat workshop,” jelas Luffi Sutanti ketika dijumpai di Paris, Perancis.
Baca juga : Daulat Sandang dari Perdesaan
Wastra memang selalu menjadi kekuatan dan nilai jual tersendiri bagi mode Indonesia. Bahkan, dalam konteks pengembangan modest fashion di tanah Eropa ini, wastra yang menjadi pengikat dan penarik minat untuk pasar global melirik karya para desainer dan jenama yang ikut serta ini.
Brilianto menjelaskan, sejak lokakarya dan pelatihan yang diadakan pada Februari 2024, dirinya dan sesama desainer yang terpilih diberi panduan untuk koleksi yang hendak dibawa ke Paris. Modest fashion, lanjutnya, lebih kepada makna busana santun yang bisa dikenakan siapa saja sehingga dia menggarapnya lebih cair.
”Memang modest itu, kan, lebih ke sopan, ya. Penggunaannya bisa untuk yang berhijab, bisa juga yang enggak berhijab,” ujar Brilianto yang memilih bahan katun, linen, hingga semi-wol untuk koleksi yang dibawanya ke Eropa ini.
Desainer Dian Pelangi justru menerapkan gaya streetwear untuk karya busana santun di Paris kali ini. ”Tentu menyesuaikan dengan gaya di sini. Lebih ke arah yang kasual, tapi enggak kehilangan sentuhan modest seperti longgar dan nyaman. Misal, atasan seperti kaus atau kemeja dan bawahannya bisa kulot atau rok maxi,” jelas Dian.
Keberlanjutan
Selain wastra, isu sustainability lekat dengan Eropa, terutama Paris. Para desainer dan jenama yang terlibat pun diarahkan untuk mampu bercerita mengenai keberlanjutan lingkungan hidup dalam koleksi yang disuguhkan. Sejauh ini, konsep sustainability masih bergerak seputar material yang digunakan dan metode pewarnaan yang minim limbah.
Memang modest itu, kan, lebih ke sopan, ya. Penggunaannya bisa untuk yang berhijab, bisa juga yang enggak berhijab.
Seperti Wignyo Rahadi, misalnya, sebanyak 10 tampilan yang diusungnya berasal dari kain perca sisa tenun ATBM (alat tenun bukan mesin). Dengan teknik aplikasi perca, Wignyo mengoptimalkan sisa kain yang biasanya berujung limbah menjadi busana menawan penuh warna.
”Banyak sisa kain yang tidak digunakan ini yang akhirnya diolah dan bisa menjadi koleksi kali ini. Pengerjaannya sudah pasti melibatkan perajin juga,” ucap Wignyo.
Hal ini juga dilakukan Brilianto. Teknik aplikasi perca untuk merangkum jumputan Palembang menjadi jaket maupun blazer. Dian juga menyusun sisa-sisa kain perca untuk melahirkan detail semacam korsase dan pernak-pernik pada tiap tampilan koleksinya.
Batik Chic di bawah arahan Novita Yunus, selain bermain di material, juga bereksplorasi dengan warna. Ia memakai teknik pewarnaan indigo natural dyeing yang menghasilkan warna biru pekat atau indigo dari tumbuhan indigofera yang dalam bahasa Sunda disebut tarum. Pewarnaan ini membuat kain yang diolah menjadi berwarna semacam denim.
Baca juga : Jenama Legendaris di Men’s Fashion Show
Secara terpisah, Duta Besar Indonesia untuk Perancis Mohamad Oemar menjelaskan, mode Indonesia dengan kekayaan wastra merupakan kekuatan utama untuk bisa melesat di Paris karena punya identitas yang khas dan unik. Namun, apabila berbicara modest fashion Indonesia, butuh penyesuaian yang cocok mempertimbangkan kondisi di Paris, seperti cuaca dan kebiasaan untuk memperluas potensi di pasar Paris.
”Sesungguhnya kalau sudah masuk Paris ini, tidak hanya di sini. Tapi bisa sampai ke negara lain juga karena Paris ini, kan, tempat bertemunya banyak buyers dari berbagai negara,” ungkap Oemar.
Modest fashion ini sebenarnya bukan mengacu pada kelompok tertentu. Modest itu artinya,kan, lebih ke santun. Jadi, pengembangannya bisa dioptimalkan lagi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung juga memahami hal ini. Untuk itu, BI melalui program pengembangan UMKM dan juga program ekonomi syariah menitikberatkan pada wastra nusantara sebagai benang merah mode Indonesia, baik secara umum maupun modest fashion.
”Modest fashion ini sebenarnya bukan mengacu pada kelompok tertentu. Modest itu artinya, kan, lebih ke santun. Jadi, pengembangannya bisa dioptimalkan lagi,” tutur Juda.