Berebut Serabi Mirasa
Wajah Iwang terpaku pada periuk-periuk, tak peduli pada panas udara yang keluar dari perapian berbahan bakar arang itu.
Rasanya jarang ada jajanan yang untuk membelinya secara dadakan harus ”rebutan” dulu. Itulah yang terjadi saat membeli Serabi Mirasa buatan Iwang Yulianti yang sudah ada sejak 38 tahun lalu.
Lokasi berjualan Serabi Mirasa jauh dari kata strategis. Lokasi itu berada di dalam rumah lawas di Jalan Karang Anyar, Bandung, yang relatif sempit. Sebagai penanda, Iwang (69) hanya memasang spanduk bertuliskan ”Serabi Mirasa” di depan rumah tersebut.
Namun, jangan terkecoh. Begitu masuk halaman, memang ada tempat berjualan. Tetapi itu bukan tempat Iwang berjualan serabi, melainkan tempat kakaknya yang berdagang lotek. Pembeli masih harus masuk ke dalam rumah untuk menemukan tempat penjualan serabi.
Di tempat itu, yang merupakan bagian tengah rumah, terdapat tiga meja dan tiga kursi serta perapian dari batu bata tersusun rapi. Iwang duduk menghadap perapian dengan 16 periuk tanah di atasnya untuk memasak serabi.
Wajahnya terpaku pada periuk-periuk, tak peduli pada panas udara yang keluar dari perapian berbahan bakar arang batok itu. Tangannya lincah dan terampil menyerok, lalu mengangkat serabi-serabi dari periuk ke wadahnya. Setelah itu, ia mengaduk adonan, menyendoknya, lalu menuangnya ke periuk kosong.
Perempuan yang tetap tampak cantik itu tak sempat duduk nyaman sebab ia harus mondar-mandir menyerok, lalu mengangkat lagi serabi siap santap untuk dimasukkan ke kardus. ”Begini aja tiap hari. Mana sempat istirahat. Ngangkat telepon aja sering tak bisa. Sambil bikin serabi, saya melayani orang ambil pesanan,” katanya pada Kamis (1/8/2024).
Sekalipun tersembunyi, ”tempat kerja” Iwang nyaris tak pernah sepi pembeli sejak mulai jualan pukul 11.00 hingga pukul 17.00. Orang datang dan pergi membeli dan mengambil pesanan. Ketika tak terlalu banyak pembeli dadakan, Iwang agak santai, pesanan pun aman.
Pembeli dadakan
Sebaliknya, keadaan berubah tatkala banyak pembeli datang mendadak dan ngotot minta dilayani, sementara ia sudah mengatur jumlah serabi untuk pesanan. Iwang kerap bingung, merasa tak enak hati kepada mereka yang sudah memesan kue serabinya sejak sehari sebelumnya.
Seperti yang terjadi pada Kamis itu, Kompas yang memesan 30 serabi sejak pagi lewat layanan pesan singkat ternyata gagal mendapatkan karena pesanan banyak. ”Kalau mau, pukul 3 atau 4 aja. Saya buatin,” ujar Iwang.
Ia tak bisa berbuat banyak sebab ada hak pemesan sebelumnya yang harus ia penuhi. Akan tetapi, Iwang mengizinkan kami membeli empat serabi, dua serabi kinca dan dua serabi oncom, untuk icip-icip.
Tak lama, datang seorang lelaki ingin membeli serabi. ”Enggak bisa, mesti dipesen dulu,” jawab Iwang. ”Ah, enam biji saja, lima enggak papa-lah. Sudah langganan. Biasa, kan, tetangga,” ujar lelaki setengah baya itu.
”Tetangga di mana?” tanya Iwang. ”Sebelah rumah. Tetangga jangan gitu-lah.”
”Urang tetangga sendiri, ngaku-ngaku, ha-ha,” katanya lagi sembari tertawa terbahak ketika Iwang menelisiknya lebih detail.
Iwang tak bisa berkata menghadapi kengototan orang itu. Ia harus menjual 10 serabi kepadanya. Pembeli lain yang antre dan belum mendapat kepastian mendapat serabi ikut ngedumel.
”Ngaku dulur. Pura-pura bae. Saya juga dulur dari Tangerang, he-he-he,” timpal salah satu pembeli yang juga dadakan dan ngotot minta Iwang menjual 10 serabi kepada dirinya.
Demi meraih hati Iwang, ia menceritakan rumahnya di Margahayu, Bandung. ”Kalau enggak dapat, harus kembali lagi besok, jauh atuh,” ucap perempuan yang tak beranjak meninggalkan rumah Iwang walau sudah ditolak halus itu.
Perempuan tersebut sebenarnya punya langganan serabi merek terkenal, tetapi ia ingin mencoba Serabi Mirasa yang bulan lalu viral di Tiktok itu. “Di sana sekarang kurang enak, kadang bantat. Harganya juga naik jadi Rp 8.000 per pasang,” tambah perempuan itu.
Baca juga: Gurih Legit Bebek Madura Ma'Isa
Mengingat banyak peminat, Iwang yang mengerjakan semua hal mulai dari berbelanja bahan di pasar, membuat adonan serabi, membumbui oncom, lalu membuat serabi, sampai melayani pembeli menerapkan cara pesan minimal satu hari sebelumnya. Ia tak membatasi pembelian, yang penting tidak mendadak. Harga serabi kinca atau oncom sama, yakni Rp 2.500 per buah.
Masalah timbul karena tak semua calon pembeli mau ikut aturan. Untuk pembeli yang taat aturan seperti Koko (58), warga Bandung, Iwang senang melayani. ”Saya pesan 10 buah sejak kemarin. Buat teman minum kopi nanti sore. Sudah langganan 10 tahunan sih dan saya mah cocok banget. Gurihnya pas, enggak pernah berubah. Daging serabinya matang,” tutur Koko saat mengambil pesanan.
Dibandingkan serabi yang dijumpai di banyak tempat di Bandung ataupun Jakarta, ukuran Serabi Mirasa tak terlalu besar, berdiameter 9-an sentimeter dengan ketebalan sekitar 4 sentimeter. Sepintas, bagian luar serabi tampak kering, tetapi begitu dibuka, dagingnya empuk, lembut, dan matang sempurna.
Serabi dengan kinca (santan dicampur gula merah) punya rasa gurih dan sedikit manis. Sementara serabi oncom renyah di luar, gurih di dalam. Rasa oncom dengan bumbu bawang putih, cabai, dan kencur seolah berpadu pas dengan gurih daging serabi berbumbu sedikit garam.
Terjual habis
Setiap hari Iwang membuat 500-700 serabi dua rasa yang selalu habis terbeli pelanggan. Rika, warga Bandung yang punya dua anak, menceritakan, anaknya yang bernama Roderick (7) sejak TK sudah gemar Serabi Mirasa. ”Sekali makan habis empat buah. Ini saya mesenin buat bekal dia ke sekolah besok,” ujar Rika.
Berhubung ia kerjakan sendiri, Iwang tak bisa menambah volume penjualan. ”Tidak ada yang bantuin. Ini hari saudara mau bantuin, eh, enggak datang. Anak-anak juga belum mau belajar, mungkin karena semua anak laki-laki. Pada punya pekerjaan setelah lulus kuliah,” tutur Iwang.
Ia ragu mencari tenaga untuk membantu dirinya, khawatir beda tangan, bisa beda rasa serabi sehingga membuat pembeli kecewa. ”Ngaduk adonan, mencampurnya dengan santan bukan hal mudah. Jangan sampai adonan jadi bantat, enggak matang. Nanti waktu masak kudu memperhatikan apinya seberapa. Enggak gampang atuh,” tambahnya.
Ia mendapat resep membuat serabi dari nenek suaminya, kemudian menambah rasa, ukuran lebih besar dari aslinya. Sejak dulu, ia membuat dua rasa saja sebab pelanggan tak mau rasa lain, seperti keju dan cokelat.
Baca juga: Cita Rasa Malaysia di Selatan Jakarta
Setiap hari, setelah subuh, Iwang ke pasar untuk belanja 20 kg terigu, 50 kg kelapa parut yang sudah dibuat santan, arang batok, garam, bawang putih, oncom, dan lainnya. Sejak pagi ia membuat adonan, mengaduknya, dan mendiamkannya selama beberapa jam. Setelah itu, ia membuat bumbu dan memasak oncom, lalu mulai berjualan.
Ia beristirahat sebentar pada siang hari untuk makan, lalu mengolah adonan lagi untuk memenuhi pesanan berikutnya. Pukul 17.00 ia tutup, tetapi ia belum bisa santai. Ia harus membersihkan semua alat, termasuk membongkar perapian untuk membersihkan abu. ”Harus sampai bersih. Baru bikin perapian baru. Orang maunya saya masak pake arang, jangan diganti, itu khasnya,” tuturnya.
Usia yang tak lagi muda membuat Iwang sering kelelahan. ”Makanya, kalau ada yang beli pakai maksa, enggak mau pesen dulu, saya kewalahan, enggak nyaman,” kata Iwang yang akan terus membuat Serabi Mirasa yang raos pisan.