Daulat Sandang dari Perdesaan
Di tengah banjir impor benang dan sandang, banyak petani tetap tekun menanam pohon penghasil serat dan pewarna alam.
Di tengah banjir impor benang dan pakaian, banyak petani tekun menanam penghasil serat dan pewarna alam. Pihak lain meramunya menjadi benang dan pakaian. Bangsa ini sejatinya mampu membuat pakaian sendiri dari serat alam.
Gerakan tersebut, antara lain, dilakukan Wibowo Akhmad, petani pemilik Ramindo Berkah Persada Sejahtera yang menyediakan serat alam; R Asyfa Fuadi, pembuat kain denim; Fatah Syaifur Rochman, pemilik usaha Shibiru, penyedia pewarna alam indigo; dan praktisi biodiversitas, Chandra Kirana Prijosusilo, dari Sekar Kawung.
Chitra Subyakto, pendiri jenama Sejauh Mata Memandang, mempertemukan keempatnya. Chitra merasa beruntung bertemu mereka yang selama ini bekerja dalam diam, tetapi memberi dampak besar bagi penyelamatan alam.
Menurut Chitra, sampah pakaian yang berada di urutan kedua paling banyak di bumi menuntut orang untuk sadar pentingnya membuat sandang dari bahan alam. ”Sebenarnya banyak orang ingin membuat sandang dari bahan alam, tetapi tak tahu harus cari bahan ke mana. Di sini kita bisa belajar dari orang-orang pintar itu,” tutur Chitra, Rabu (7/8/2024), di Pekalongan, Jawa Tengah.
Ia sudah merasakan bekerja sama dengan mereka, dan 16 orang lainnya seperti mereka, serta membuka pintu bagi siapa pun yang ingin berkolaborasi dengan mitranya itu. Mereka sudah lama mengusahakan bahan dari alam.
Wibowo, yang akrab dipanggil Bowo, misalnya, sudah 25 tahun membudidayakan rami yang batang kayunya menjadi bahan pembuat benang. Ia bekerja di perusahaan budidaya rami tahun 1999, tetapi usaha itu bangkrut karena harga rami tak kompetitif. Ia terus menanam rami di atas lahan yang tersisa, seluas 1.600 meter persegi.
Usahanya berhasil. Hingga saat ini, Bowo bekerja sama dengan 35 kelompok tani dan menanam rami di lahan seluas 25 hektar di lereng sebelah selatan Gunung Sumbing di Wonosobo, Jateng. ”Saya ini ’The Last Samurai Indonesia’ untuk rami. Saya tak mau menyerah. Bagaimanapun, yang terbaik itu benang alam. Akhirnya berkait pemanasan global, banyak orang cari serat alam,” kata Bowo.
Ia jatuh bangun dalam usaha itu karena banyak orang kurang paham tentang rami. Baru tiga tahun terakhir ia bisa membuat benang rami dari tanaman di Indonesia dan dikerjakan tangan-tangan terampil orang Indonesia.
Kini, ia memasok produknya sebanyak 2,5-3 ton per bulan kepada pelanggan, terutama para pembuat interior dan dekorasi rumah. ”Saya punya misi selaras dengan Mbak Chitra, mari merajut benang kolaborasi kebersamaan untuk kedaulatan dan kemandirian sandang sendiri,” katanya.
Usaha pantang menyerah juga dilakukan Fatah yang belajar menanam tanaman penghasil pewarna indigo tahun 2016. Ia mencoba menanam beberapa jenis tanaman bahan pembuat pasta pewarna alam warna biru.
Fatah yang bekerja sama dengan para petani kopi di kaki Gunung Sindoro di Temanggung, Jateng, mengelola tanaman indigo seluas 65 hektar. Produk pasta indigonya banyak dipakai desainer wastra. Ada pula yang diekspor ke Malaysia.
Akhir-akhir ini, permintaan makin tinggi sehingga ia mengurangi penjualan agar persediaan pasta bisa lebih lama. ”Permintaan dari Malaysia saya kurangi. Begitu pula untuk pemesan dari Surabaya, Bekasi, dan Nusa Tenggara Timur. Saya yakin ke depan bisnis ini lebih baik sehingga harus ancang-ancang untuk membuat tempat produksi lagi,” tutur Fatah.
Baca juga: Rancangan Hangat Sapto untuk Musim Gugur dan Dingin
Denim Pekalongan
Jika Fatah dan Bowo menyediakan bahan baku, Asyfa yang mengolahnya. Ia memproduksi denim dari benang serat alam dengan warna indigo dan warna lain, umpamanya merah dari tanaman secang. Begitu lulus dari Fakultas Teknik Kimia Konsentrasi Teknologi Tekstil Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, ia mendalami usaha tenun.
Lelaki itu ingin menghidupkan lagi tenun Pekalongan yang nyaris punah dengan membuat kain denim sejak 2012. Sejak awal ia memilih bahan baku alami. Hasilnya, denim dari bahan ramah lingkungan bertekstur lebih lembut dan berwana pekat.
Selain itu, ia melayani pesanan kain yang datang dari luar daerah. Ia membuat jenama sendiri, Craft Denim, yang menjual celana panjang, jaket, kemeja, dan tas dengan target anak muda agar mereka mengenal karya tenun dan produk ramah bumi.
Seperti Asyfa, Chandra Kirana atau Kiki sudah 10 tahun ini bekerja dengan masyarakat di sentra tenun seluruh Nusantara. Ia melihat kekayaan alam Indonesia luar biasa besar. Namun, ia sedih melihat banyak artisan petenun tradisional memakai benang impor.
”Itu seperti merusak susu di belanga. Keberlanjutan lingkungan jadi lebih parah lagi karena memojokkan tanah dan air,” ujarnya. Demi memahami budaya lokal, ia tinggal di sentra tenun selama tiga bulan per kedatangan.
Ia lalu menemukan kampung tenun mandiri di Kecamatan Kerek, Tuban, Jawa Timur. Mereka masih menanam pohon kapas yang menghasilkan kapas coklat dan putih. Kiki bekerja dengan petani dan meneliti untuk menaikkan produksi sebab warga Kerek memintal sendiri kapas menjadi benang, lalu menenunnya hingga jadi kain.
Ia juga menyaksikan kecerdasan pada artisan tenun di Sumba Timur, NTT, yang meski kondisinya gersang dan kering, warna kain tenun mereka sangat kuat. Ternyata karena mereka punya teknik mengikat warna merah dari buah mengkudu dengan memakai minyak kemiri.
Sementara artisan petenun Sungai Itik di Kalimantan yang dikelilingi hutan basah mengikat pewarna alam dengan lemak hewan buruan. Bisa kijang, bahkan ular. ”Luar biasa kearifan tentang proses kimia di tiap tempat yang beradaptasi pada sumber alam yang ada. Itu kegeniusan dalam memahami biodiversitas (keanekaragaman hayati),” kata Kiki.
Baca juga: Mengetuk Pasar Mode Global Lewat Pintu Incubator
Perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, menurut dia, sangat berhubungan. Semakin miskin keanekaragaman hayati suatu wilayah, semakin rentan ketahanan iklimnya.
Saat kerusakan alam semakin nyata, daulat sandang salah satu solusinya.
Raden Asyfa Fuadi, pendiri CraftDenim.id, dengan denim dan produk baju siap pakai di Studio Sejauh di Pekalongan pada Kamis (8/8/2024).