Mengapa Lirik Lagu Kian Lugas dan Teramat Gamblang?
Ada kecenderungan lagu-lagu era sekarang liriknya semakin lugas dan terus terang. Mengapa?
Apa yang bisa dipelajari dari artikel ini?
- Lagu apa saja yang liriknya sedang disukai pendengar?
- Bagaimana tren lirik lagu pada era sekarang?
- Mengapa musisi sekarang cenderung membuat lirik lagu yang lugas?
- Bagaimana pendengar bisa terhubung dengan lirik lagu?
- Benarkah musik memiliki kekuatan?
- Bagaimana musik bisa jadi rekaman zaman?
Lagu apa saja yang sempat viral di media sosial?
Lagu Sal Priadi, ”Dari Planet Lain”, belakangan sukses menyentuh hati banyak orang dan viral. Potongan lirik lagu ”Dari Planet Lain”, yakni sepertinya kau memang dari planet lain/ dikirim ke bumi untuk orang-orang sepertiku//, banyak dipakai warganet untuk mengekspresikan dirinya dalam bentuk meme, lyp-sinc, pesan pelesetan, dan sebagainya di berbagai platform media sosial. Lagu ini terhubung dengan pengalaman banyak orang yang memiliki pasangan dengan karakter unik.
Jagat dunia maya juga sempat dipenuhi potongan lirik atau lagu ”Aduh” dan ”Kita Bikin Romantis” milik Maliq & D’Essentials. Publik memotong bagian hook lagu yang catchy dari lagu ”Aduh” sebagai musik latar video dengan berbagai mood dan cerita, mulai dari video tentang pasangan, pemandangan, hingga makanan. Demikian pula lagu ”Kita Bikin Romantis” diambil hook-nya untuk menggambarkan hubungan romantis manusia hingga kelucuan hewan peliharaan. ”Surga itu kamu/duniawi juga kamu/ sumpah mati, yang kumau/cuma sama kamu/...”.
Lagu ”Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan” milik Bernadya juga viral. Lirik bernada galau dan judul lagu ini rupanya beresonansi dengan perasaan banyak orang. Ada yang meminjam kegalauan lagu-lagu Bernadya untuk membuat pesan-pesan galau di media sosial hingga pesan di poster politik yang diusung demonstran kawal keputusan MK: Bernadya Tolong Stop Bikin Lagu Sedih, Negara Kita Udah Menyedihkan.
Lagu lama Dewa 19, ”Risalah Hati”, yang dinyanyikan kembali oleh Yura Yunita, juga viral. Penggalan lirik lagu yang berbunyi ”Aku bisa membuatmu, jatuh cinta kepadaku, meski kau tak cinta”,justru memunculkan kalimat viral ”Gak Bisa Yura”, terutama di Tiktok. ”Gak Bisa Yura” dipakai untuk menunjukkan kejengkelan atau rasa frustrasi pada satu kondisi yang susah atau mustahil diubah, misalnya mustahil kembali lagi pada mantan yang sudah menikah dan punya anak.
Baca juga: Dari Viral ke Panggung Festival
Bagaimana tren lirik lagu-lagu sekarang, termasuk yang sempat viral?
Lirik-lirik lagu Indonesia, termasuk yang sedang viral, cenderung lugas dan sederhana. Lirik-lirik puitik ala Taufik Ismail, Ebiet G Ade, dan Kla Project yang mengandung banyak metafora mulai ditinggalkan, jika tidak didaur ulang. Penulis lirik lagu era sekarang lebih memilih gaya bertutur yang lebih terus terang, langsung pada intinya, tanpa bunga-bunga sehingga pesannya dengan cepat bisa ditangkap. Bahkan, frasa yang tidak dipakai pada era sebelumnya, seperti makian, ungkapan marah, kini bisa masuk dalam lirik.
CEO Juni Records Adryanto Pratono melihat, tren ini mulai terjadi sejak awal era 2000-an dan bertahan hingga sekarang. Menurut dia, tren lirik-lirik lagu yang gamblang merupakan penanda era baru, yakni era peralihan dari generasi milenial ke generasi Z. Gaya tutur yang gamblang dalam membuat teks selanjutnya menjadi semacam ”norma” yang diterima oleh industri musik.
Tren ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia global. Jurnal Scientific Reports pada Kamis (28/3/2024) menuliskan, hasil penelitian terhadap 12.000 lagu berbahasa Inggris dari berbagai genre pada periode 1980-2020 menunjukkan, lirik-lirik lagu selama 40 tahun terakhir menjadi lebih sederhana, berulang-ulang, bernada marah, dan terobsesi pada diri sendiri. Namun, kecenderungan ini telah menunjukkan tanda-tanda membosankan.
Baca juga: Lirik Lagu Semakin Membosankan
Mengapa musisi sekarang cenderung membuat lirik lagu yang lugas?
Secara industri, musisi sekarang banyak yang berkarya secara independen. Dengan demikian, mereka punya kebebasan lebih dibandingkan musisi di bawah label besar, termasuk dalam menulis lirik lagu. Intinya, mereka bisa menulis lirik apa saja tanpa tekanan khawatir intervensi dari label.
Secara personal, musisi era sekarang cenderung membuat lagu untuk mengekspresikan pengalaman pribadi. Lagu dipakai sebagai medium untuk bercerita, berkeluh kesah, dan berbagi pengalaman. Isu yang diangkat bukan isu besar, melainkan isu keseharian, bahkan personal, seperti rasanya patah hati, tertekan secara mental, kesepian, berhadapan dengan kekasih yang unik, dan semacamnya.
Oleh karena itu, bahasa yang mereka gunakan pun cenderung bahasa sehari-hari yang lugas, mengalir, tanpa bunga-bunga sehingga pesannya mudah ditangkap dan dimengerti pendengar tanpa perlu berpikir keras.
Ternyata, lagu dengan lirik-lirik sederhana disukai pendengar karena dianggap beresonansi dengan pengalaman hidup mereka.
Baca juga: Lugas Saja, Lirik Lagu Sekarang Tak Perlu Berbunga-bunga
Bagaimana lagu bisa beresonansi dan terhubung dengan kehidupan pendengarnya?
Pada acara dengar album baru band .feast, Membangun & Menghancurkan, di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Kamis (22/8/2024), seorang peserta yang hadir tiba-tiba emosinya bergejolak saat mendengarkan lagu ”Nina”. Dia menahan sesak di dadanya agar air matanya tidak jatuh. Dia berkata, lagu itu liriknya terhubung dengan kehidupannya saat ini.
Hal seperti ini lazim dirasakan fans. Para penggemar Taylor Swift bahkan merasa hidupnya yang hancur diselamatkan oleh pesan-pesan lagu idolanya itu.
Idi Subandy Ibrahim, pakar komunikasi massa dan budaya populer, menjelaskan, fenomena seperti ini terjadi karena idola mampu membentuk ikatan dan menciptakan perasaan terhubung yang kuat dengan penggemarnya. Hal ini semakin mudah digunakan berkat teknologi digital yang berjangkauan kuat, masif, dan interaktif.
Apa yang diimpikan penggemar, lanjut Idi, pemenuhannya bisa ditemukan pada diri sang idola. Secara positif, idola menjadi kerangka etik bagi penggemar karena ia bisa menawarkan sesuatu yang membuat penggemar terhubung dan merasa terwakilkan aspirasinya.
Selain itu, persoalan global saat ini lebih kompleks dan imbas yang dirasakan orang di seluruh dunia lebih besar, seperti persoalan pemanasan global, pandemi Covid-19, dan aneka tekanan hidup yang mengganggu kesehatan mental. Nah, para idola—termasuk musisi yang cerdas—mampu mengisi celah-celah kekosongan di hati banyak orang yang disebabkan oleh kehampaan, kesepian, dan persoalan lain.
Baca juga: Kami Merasa Dipeluk Taylor Swift
Benarkah musik memiliki kekuatan?
Sejak lama musik diyakini memiliki kekuatan dahsyat. Orang-orang Yunani Kuno telah menyadari bahwa musik mampu menembus jiwa manusia. Musik dianggap mampu membentuk karakter dan perilaku manusia. Plato menyebut, musik yang baik bisa memberikan pendidikan tentang kebajikan, keberanian, dan kenegarawanan. Sementara itu, Damon menyebut musik dapat menyuntikkan kebajikan, kebijakan, dan keadilan pada anak-anak muda, serta membumikan teori-teori Phytagoras (Sakka, 2009). Di luar kekuatannya, bagi Plato, musik juga menyimpan narasi berbahaya bagi jiwa ketika musik kehilangan kualitasnya akibat adanya kebebasan individu dalam mengejar kesenangan bermain musik (Ibrahim, 2011).
Ahli-ahli ilmu sosial kontemporer juga menyepakati bahwa musik memiliki kekuatan sebagai media budaya dalam mengomunikasikan perasaan, pesan, dan pembentukan wacana. Secara garis besar ada beberapa peran musik dalam kehidupan sosial dan politik, yakni musik sebagai ekspresi personal, musik sebagai rekaman fenomena sosial, musik untuk menyampaikan pesan-pesan politik, dan musik sebagai medium perlawanan.
Baca juga: Musik sebagai Bentuk Perlawanan dan Identitas
Bagaimana musik/lagu bisa menjadi rekaman zaman?
Banyak lagu yang merekam fenomena sosial. Itu sebabnya, lagu bisa dipakai untuk melihat perubahan-perubahan yang sedang atau telah terjadi dalam kehidupan kita. Lewat lirik lagu, misalnya, kita bisa melihat teknologi yang digandrungi anak muda pada era tertentu, yang tidak dikenal oleh generasi sekarang.
Lagu ”Tididit” milik Sweet Martabak yang dirilis tahun 1997, misalnya, merekam soal demam pager alias penyeranta di kalangan anak muda. Pager adalah teknologi komunikasi mobile satu arah, paling ngetop sebelum era handphone.
Sementara itu, lewat lagu ”Surat Cinta” milik Vina Panduwinata yang dirilis tahun 1987, kita bisa melihat bagaimana pesan-pesan cinta anak muda generasi 80-an dan sebelumnya, hanya bisa diungkapkan dengan surat yang dikirim melalui kantor pos. Anak muda era sekarang tidak merasakan bagaimana deg-degannya menanti surat dari pacar yang diantar petugas pos. Pasalnya, sekarang pesan-pesan cinta bisa disampaikan langsung lewat telepon atau media sosial.
Masih banyak lagi contoh lain bagaimana musik/lagu bisa menjadi medium untuk merekam berbagai perubahan sosial, baik yang kecil maupun besar.
Baca juga: Lirik Lagu Perekam Zaman