”Spiderman” Cilik, ”Pengin Koyo” Mas Veddriq
Setelah kemenangan Veddriq Leonardo di Olimpiade Paris 2024. banyak anak kecil bermimpi jadi ”spiderman”.
”Pengin yo koyo Mas Veddriq”. Ucapan ini terdengar dari kasak-kusuk anak-anak yang tengah menunggu giliran meniti dinding pada Rabu (14/8/2024) sore itu di kawasan Klebengan, Yogyakarta. Medali emas dari panjat tebing di Olimpiade Paris 2024 menyuburkan mimpi para bocah ini untuk turut mengukir prestasi dan membawa harum nama Indonesia di dunia.
Renjana Suluh Arcapada (9) yang akrab disapa Bre punya cita-cita itu. Rabu sore itu, di Fitriyani Climbing Arena, Klebengan, Yogyakarta, pusat latihan dari klub panjat tebing Nusantara Sports Climbing (NSC), Bre duduk lesehan bersama teman-temannya menanti waktunya bergantian memanjat dinding.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Sebelumnya, Bre dan anak lain yang baru pulang sekolah melakukan pemanasan berupa lari dan gerakan fisik ringan di siang terik. Lalu, mereka dibagi dalam dua kelompok. Ada yang ke papan panjat tebing untuk nomor speed, ada yang menuju papan boulder dan lead.
Dalam olahraga panjat tebing, ada tiga nomor. Ada speed dengan jalur lurus dan adu kecepatan; lead, yakni panjat dinding dengan pengaman tali; dan boulder yang merupakan panjat dinding tanpa pengaman tali dengan ketinggian maksimal 4 meter.
Bre masuk dalam kelompok lead dan boulder hari itu. Ketika tengah asyik ngobrol, nama Bre dipanggil. Dengan sigap, Bre memakai sepatu khusus untuk memanjat, memasang harness, dan sabuk kantong berisi bubuk magnesium carbonate.
”Ambil yang sebelah kanan. Kanan kuwilho, endi kananmu? Tumpuk kakinya, dorong tho, Bre untuk loncat. Ya, apikkuwi. Ayo lagi,” teriakan pelatihnya memberikan instruksi dari bawah.
Dari 48 anak yang bergabung di NSC, milik mantan atlet panjat tebing Fitriyani dan suaminya, Sepdes Sinaga, Bre yang sudah berlatih sejak usianya 4 tahun ini termasuk yang termuda berprestasi. Tahun ini, tiga medali diraihnya dalam dua kompetisi berbeda. Di Kejuaraan Daerah Kelompok Umur DIY 2024, ia meraih medali perunggu untuk speed perorangan putra usia 6-9 dan medali emas pada nomor lead perorangan putra usia 6-9. Kemudian di Gebyar Olahraga Pendidikan, ia mendapat perunggu untuk lead beregu putra. ”Aku main di speed juga, tapi aku lebih senang lead,” ungkap Bre semangat.
Bre masuk ke NSC tanpa sengaja. Chandra Cahyanto (42), ayah Bre, mengikutkan anaknya sejak NSC berdiri karena dihubungi oleh temannya, sesama pencinta alam, yang ikut membantu perkembangan NSC. Walau tak dimungkiri, bocah kelas 2 SD ini sempat berhenti berlatih. Namun, akhirnya, ia memilih kembali dan malah kian tekun.
Di Surabaya, dua siswi SMP Negeri 21 Surabaya, Yuma Indiana Syarifah (14) dan Devina Apriliani Putri (14), memperagakan boulder, Jumat (16/8/2024) pagi. Aksi keduanya membuat teman-temannya terperangah.
Baca juga: Dari Dok Kapal, Veddriq Leonardo Melenggang ke Podium Emas Olimpiade
Yuma dan Devina dari kelas 8 termasuk dalam 35-40 anggota ekstrakurikuler panjat tebing di sekolahnya. Mereka sudah sejak kelas 7 mengikuti ekstrakurikuler panjat tebing. Keduanya ingin menjadi atlet. Dari sekolah ini, pernah mencetak siswi berprestasi juara daerah.
Menurut Wakil Kepala SMP Negeri 21 Surabaya Sapta Meiningsih, sekolahnya telah memiliki dinding panjat bantuan dari Pemerintah Kota Surabaya sejak 2015 yang digunakan untuk ekstrakurikuler sekaligus mendukung program pencarian atlet berbakat oleh Federasi Panjat Tebing Indonesia. Sudah dua tahun terakhir, pelatih ditambah menjadi dua orang karena jumlah peserta cukup banyak.
Adapun SMP Negeri 21 Surabaya hanya satu dari beratus-ratus lokasi di Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik) untuk berlatih panjat tebing. ”Olahraga ini makin digemari dan menjadi industri sepuluh tahun terakhir. Dengan keberhasilan Veddriq meraih emas, olahraga ini bisa booming," ujar Basuki Rachmat alias Abas, sesepuh panjat tebing dari Gresik.
Menyemai bibit
Abas, pendiri Rock Hobbies Center pada 2009, mengelola toko peralatan dan perlengkapan kegiatan alam terbuka dan masih melatih panjat tebing. Lokasi latihan berada di Warkop (Warung Kopi) Boulder tepi Jalan Panggang, Suci, Manyar, Gresik.
Di halaman kedai ada dua dinding vertikal tegak dan miring untuk latihan panjat. Di dalam ada setidaknya lima segmen dinding juga untuk latihan. Di sinilah 40-50 anak, putra dan putri, berlatih panjat setiap hari kurun Senin-Jumat pukul 16.00-20.00 WIB.
Biaya yang dikenakan amat terjangkau, yakni Rp 60.000 per bulan. Senilai Rp 40.000 untuk honor pelatih, sedangkan Rp 20.000 membantu pembiayaan listrik, air, dan sekadar perawatan dinding. Jika bukan anggota klub yang berlatih dikenai biaya Rp 10.000 per orang per hari latihan. Biaya lomba diperoleh dari sponsor.
Baca juga: Andai Saat Itu Veddriq Leonardo Memilih Berhenti Memanjat
Gresik menjadi salah satu kekuatan utama panjat tebing Jatim. Dari warung itu, lima tahun terakhir, muncul putra putri kelompok yunior panjat tebing. Ada yang sudah dibina di pelatihan nasional sebagai atlet kejuaraan dunia. Dari Gresik pula ada sejumlah atlet panjat yang ”dibajak” provinsi lain untuk meraih medali Pekan Olahraga Nasional.
”Veddriq telah membuktikan bahwa panjat tebing Indonesia bisa berprestasi hebat. Semoga anak-anak yang menyukai olahraga ini mampu dalam hidupnya bertekad kuat dan mau menjadi juara dunia serta Olimpiade,” kata mantan pengurus FPTI Jatim dan FPTI Kabupaten Gresik ini.
Untuk kategori lead dan boulder, Indonesia memang belum banyak berbicara di Olimpiade. Namun, ketika emas sudah didapat dari kategori speed, pemanjat-pemanjat Indonesia pada prinsipnya berpeluang juga di kategori lead dan boulder. ”Saya yakin, dua-tiga Olimpiade lagi, bisa medali di lead-boulder, tetapi pembinaan berjenjang dan berkelanjutan harus serius, perbanyak lomba rutin, fokus, dan atlet-atletnya mau jadi juara dunia,” ucap Abas.
Fitriyani peraih medali emas panjat tebing Asian Games 2018 ini juga sepakat. Kategori lead dan boulder patut mendapat perhatian, terlebih kini kompetisinya nomor terpisah, bukan kombinasi seperti sebelumnya. Berdasarkan pengalamannya di klub miliknya yang berdiri sejak 2019, prestasi anak-anak merata di tiap nomor meski lokasi latihannya kerap berpindah-pindah.
”Dari pintu ke pintu kami latihannya. Tadinya, dari di SMA 3 Yogyakarta. Kalau di sana dipakai, kami ke mapala-mapala. Terus pindah ke Mandala Krida, baru setahun belakangan di Fitriyani Climbing Arena milik Pemkab Sleman,” ungkap Fitriyani.
Berbicara peminat, Fitriyani membeberkan selalu bertambah. Bahkan di awal pandemi, anggota mencapai 113 anak. Banyaknya anggota ini rupanya berpengaruh pada materi pengajaran. Seiring dengan waktu, terjadi seleksi alam hingga tersisa yang sekarang dengan berbagai tingkatan kelas.
Di NSC, ada lima kelas, yaitu kelas superior untuk atlet yang tergabung dalam pemusatan latihan, kelas A+ yang diarahkan menjadi atlet prestasi, kelas A yang telah menguasai berbagai macam teknik dan menguasai medan panjat, serta kelas B dan C bagi pemula.
Untuk bisa masuk kelas B atau C, ada sistem trial sebanyak 3 kali yang bertujuan melihat potensi dan semangat anak dengan biaya Rp 25.000. Pasca-trial, pelatih akan menentukan. Biaya bulanan yang mesti dikeluarkan sebesar Rp 200.000 jika diterima.
Selain melatih anak, Fitriyani juga mengajak orangtua mengatur ekspektasi agar mereka tak terlampau menekan anak untuk cepat menunjukkan perkembangan atau berprestasi. ”Jangan sampai tekanan itu membuat anak jadi mundur, padahal punya potensi,” ujar Fitriyani.
Mengenai lomba, Fitriyani selama dua tahun ini mengadakan Festival Panjat Tebing Anak Nusantara yang diikuti ratusan anak dari seluruh Indonesia.
Di Malang, beberapa tahun terakhir pembinaan bibit atlet panjat tebing di Malang kembali bergeliat setelah lebih dari satu dasawarsa mati suri. Padahal dulu, tahun 1990-an Malang terkenal gudang atlet di Jatim. Barometer semua ada di Malang karena punya ikon Lembah Kera yang ada di kawasan hutan jati, Desa Gampingan, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Jumat (16/8/2024) itu, sejumlah bocah gabungan dari beberapa komunitas, yakni Mupat Climbers Club (SD Muhammadiyah 4 Kota Malang), Kawi Sport Climbing (KSC), dan Tumpang Climber Club (TCC) 99, merayap di tebing Lembah Kera yang merupakan salah satu jalur panjat tebing di Jawa Timur yang biasa digunakan oleh pemanjat dewasa, termasuk dari luar negeri ini.
Mereka tengah mengikuti pengenalan panjat tebing alam sekaligus persiapan pengibaran bendera raksasa ukuran 14 meter x 9 meter dalam rangka 17 Agustus pada keesokan harinya (17/8/2024). Dari dinding sisi kanan ”Pipo” ke arah blok ”Kompor” lalu ”White Snake” dengan tingkat kesulitan yang makin bertambah, tangan kecil mereka mencengkeram ceruk bebatuan sambil kakinya berupaya mencari pijakan.
”Asyik, tidak takut. Kayak semacam mainan gitu. Lebih asyik dibanding gim,” ujar Farzana Hafizah Ramadhan Fadlian atau Farza (9), siswa kelas 3 SD Muhammadiyah 4 Kota Malang, yang baru saja merasakan nikmatnya memanjat tebing alam.
Di SD Muhammadiyah 4, panjat tebing menjadi salah satu ekstrakurikuler (ekskul) sejak dua tahun lalu. Juli lalu, Farza baru saja memenangi (juara 1) event Festival Olahraga di Kota Malang yang menjadi pijakan untuk kejuaraan tingkat daerah di Surabaya. Farza ikut latihan panjat tebing di sekolah sejak kelas 1 SD.
Pelatih KSC dan TCC99 Dedy Setiawan mengatakan, saat ini ada empat klub yang aktif dan kelihatan tumbuh berkembang ada tiga. Mereka adalah Mupat Climbers Club yang terus terjadi regenerasi setiap tahun, KSC, dan TCC 99, dan Iso Manjat Syukur (IMS).
”Di Mupat ada 40-an anak. Di KSC ada 48 anak sekarang. Selama tiga tahun terakhir kita jadi pemasok atlet Kota dan Kabupaten Malang di kejuaraan provinsi (kejurprov). Sejak 2021 di Kejurprov Probolinggo mulai memecah penyebaran perolehan medali. sejak saat itu kita selalu ada di podium,” katanya.
Menurut Dedy, dalam pembinaan atlet muda sebenarnya tidak ada kendala. Pihaknya berhasil menghapus mindset yang menyebut jadi pemanjat kecil sulit. Kini, setiap bulan selalu ada penambahan anak-anak baru yang ikut di klub panjat tebing.
Mereka adalah anak-anak yang punya mimpi besar: berprestasi hingga tingkat dunia. Biar kayak Mas Veddriq.