Rancangan Hangat Sapto untuk Musim Gugur dan Dingin
Sapto Djojokartiko memilih memakaian baju koleksi musim gugur dan dingin pada manekin yang dipajang di Museum Mandiri.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·4 menit baca
Lama tak mengeksplor bahan kulit dan beludru, desainer Sapto Djojokartiko menghadirkan dua bahan itu di koleksi baru bertema Fall-Winter 2024. Baju berbahan kulit, beludru dengan potongan bergaris feminin membuat tubuh pemakai tetap hangat dan tampil anggun.
Mereka yang belum lama mengenal Sapto bisa jadi bertanya-tanya mengapa muncul bahan beludru dan kulit serta warna yang ”bukan Sapto” di koleksi terbaru ini? Ternyata, alumnus sekolah mode Esmod tersebut pada awal berkarya sudah menggunakan bahan-bahan itu. Dalam perjalanan, ia mencari alternatif bahan lain dan tertambat pada organza, lace, bahkan satin dan sutra sebagai bahan untuk karyanya.
Untuk membedakan karya dulu dan kini, ia memberi sentuhan agar menampakkan kebaruan dan keunikan. Misalnya atasan coklat polos berhias bunga timbul ukuran besar di dada yang menjadi padanan rok beludru. Adapun rok panjang dari kulit dibuatnya tak hanya berbelahan tinggi di depan, tetapi juga ada belahan di samping dan belakang.
”Ada 2-3 belahan. Banyak belahan membuat rok tinggal diputar jika ingin tampil beda, misalnya biar seperti kain. Aku memberikan keleluasaan ke pemakai untuk mengubah-ubah gayanya. Biar mereka mengeksplorasi sendiri,” ujar Sapto pada pameran koleksi terbarunya di Museum Bank Mandiri Jakarta, akhir Juli lalu.
Soal kehadiran bawahan panjang biru tua dari beludru yang dipadu atasan warna coklat, nah itu hal baru. Ada lagi blus beludru kuning berdraperi, dengan payet tebal motif rikmadara warna coklat tua, berpadu bawahan panjang merah marun. Itu hasil eksplorasi baru Sapto dan tim saat mencoba memadukan warna tak biasa.
Masih ada tampilan baru yang menjadi bagian dari 30 pasang koleksi tersebut. Ia membuat motif kotak dan wajik dari teknik quilt (jahit tindas) untuk bawahan dan syal. Jadilah penghangat tambahan yang melingkari leher.
Karya baru lainnya, terusan coklat dengan leher yang bisa dibuka tutup atau diubah tampilannya berkat adanya kancing yang dipasang di sekitar leher.
Untuk aksesori, Sapto membuat bros, kancing, dan anting besar berwarna perak. Hmm.. unik dan mencuri pandang mereka yang melihat.
Sebagai penanda, Sapto terus mengkreasikan hal baru. Ia membuat terusan, atasan serta rok lurus seperti berhias permata. Pancaran cahaya itu datang dari manik-manik yang dipotong bulat dengan sinar laser lalu dijahit tangan satu per satu hingga memenuhi sebagian atau seluruh blus, rok, atau terusan. Tanpa harus menambah banyak aksesori, baju-baju itu sudah siap untuk bergaya ke pesta.
Perjalanan reflektif
Koleksi baru tersebut tak ditampilkan dalam pergelaran. Sapto memilih memakaikan baju koleksi musim gugur dan dingin pada manekin yang dipajang di Museum Mandiri. Itu pun hanya satu hari. Sore harinya, seluruh koleksi dipindah ke studio dan tokonya di Plaza Senayan, Jakarta, agar pelanggan leluasa mencobanya.
Pemilihan Museum Mandiri yang merupakan bangunan tua dari masa kolonial bukan tanpa sebab. Ia sengaja memilihnya karena gemar gaya art deco, yakni model hiasan yang lahir tahun 1920-1939 yang memengaruhi arsitekur bangunan dan seni dekoratif pada interior, mebel, perhiasan, patung, serta perhiasan dan baju. Bentuk dan gaya bangunan sesuai untuk menggambarkan perjalanan karier yang ia rintis sejak 11 tahun lalu.
Gagasan itu muncul setelah ia terinspirasi film animasi pendek Le Ravissement de Frank N Stein (1982) karya Georges Schwizgebel yang melihat melalui sudut pandang seseorang yang bingung dan terasing. Film itu menjadi cara untuk kampanye dengan mengeksplorasi tema realitas kehidupan, ruang, identitas, dan interaksi tekstur.
Konsep tersebut kemudian dikembangkan melalui perjalanan panjang, menyimulasikan adaptasi seseorang terhadap lingkungan sekitarnya, dan mewakili perkembangan mereka hingga titik inkarnasi.
Selaras dengan isi film itu, Sapto memulai perjalanan karier setapak demi setapak dengan mendesain, membuat baju, bermacam aksesori, dan sudah mencoba memakai banyak jenis kain. ”Ini bak cermin. Ini loh proses yang dulu session per session (musim) ku kerjakan,” katanya.
Memang, selama lima tahun terakhir, Sapto mengakui lebih banyak memakai bahan lace dan organza. Harus diakui, baju dari bahan lace dan organza dengan renda, payet cantik, menjadi favorit para pelanggannya. Ketika Sapto merilis busana dari bahan katun dan lainnya, pelanggan setia selalu menanyakan koleksi busana berpotongan sederhana dengan hiasan renda dan bahan tipis nan menerawang yang terbaru.
Belajar dari kebutuhan tersebut, setiap kali membuat koleksi musim apa pun, pria asal Solo itu selalu membuatkan outfit dari bahan lace dan organza. ”Aku harus selalu bikin sebab mereka pasti mencari yang seperti itu,” ujar Sapto lagi.
Tak mau sekadar membuat. Dari tangannya tercipta blus, terusan, jaket dengan hiasan bordir, sulam tangan, payet aneka motif rancangan khas jenama Saptojo. Belakangan ia juga membuat rikmadara, motif imaji sulur kembang yang terinspirasi dari tanaman hias yang menjulur panjang seperti rambut.
Berkat sentuhan bordir, payet, sulam, blus, terusan berpotongan feminin yang semula dari kain menerawang menjadi penuh bordir-bordir cantik. Dengan kombinasi dalaman, celana lebar atau rok panjang, setelan itu membuat sang pemakai tetap hangat di udara dingin.
Sapto akan terus berjalan, ia terus berkelana mencari kesenangan dan inspirasi bagi karya berikutnya.