Musim Semi Kuliner di Sekitar Stasiun MRT
Keberadaan MRT bikin jarak makin dekat. Berkuliner jauh-jauh tak lagi khawatir asal lokasinya dekat jalur MRT. Mau ikut?
Setidaknya satu-dua tahun terakhir, kawasan sekitar stasiun-stasiun moda transportasi publik massal (MRT) makin berkembang dan ramai. Itu terutama tampak dari semakin maraknya titik kuliner yang berebut menarik perhatian. Rupanya, MRT adalah ”koentji”.
Pandemi-19 harus diakui telah memukul para pelaku di bisnis kuliner. Sebut saja kawasan seperti Blok M dan Lebak Bulus yang sama-sama sempat ”mati suri”. Namun, kini, bisnis kuliner, terutama di sekitar area moda transportasi publik massal, kembali menggeliat.
Pusat belanja seperti Poins Square di Lebak Bulus yang juga sempat sepi saat pandemi, misalnya, kini bergeliat lagi. Ini antara lain dipicu keberadaan akses moda transportasi MRT yang memudahkan orang datang dan pergi dalam waktu singkat.
Pengunjung juga dimudahkan dengan keberadaan jembatan layang Simpang Temu Lebak Bulus yang sudah mulai beroperasi. Jembatan sepanjang 307,5 meter ini menghubungkan Poins Square dan Stasiun MRT Lebak Bulus Grab. Lokasi itu sudah terisi sejumlah tenan kuliner.
Hal serupa terjadi di Mal Blok M Plaza. Pengunjung mudah menjangkau lokasi itu lewat Pintu B Stasiun MRT Blok M BCA yang langsung terhubung ke area dalam mal tanpa perlu turun dari platform stasiun dan memutar menuju gerbang mal di bawah. Di mal itu kini juga makin banyak pilihan tenan kuliner, berimbas juga ke area lain seputar Blok M.
Tak bisa dimungkiri, kehadiran moda transportasi publik massal, seperti MRT, telah membantu mobilitas menjadi lebih cepat. Lokasi yang semula jauh dan memakan waktu tempuh cukup lama kini bisa ditempuh dalam waktu singkat.
Salah satu yang paling merasakan manfaatnya adalah pekerja kantoran. Setidaknya setiap jam istirahat makan siang mereka bisa memanfaatkan MRT untuk mendatangi lokasi-lokasi alternatif lain yang sebelumnya sulit didatangi lantaran berada di lokasi macet. Pekerja kantoran juga bisa ”menjelajah” pilihan-pilihan lokasi kuliner seusai jam kantor atau saat pulang ke rumah.
Seperti Noni Desiyanti (50), karyawan swasta berkantor di SCBD. Salah satu pilihan favorit Noni adalah Kedai Soto Betawi Pinangsia yang hanya berjarak sekitar 150 meteran dari Pintu A MRT Stasiun Lebak Bulus. ”Rasa dan harganya sepadan. Yang penting makan kenyang, habisnya sekitar Rp 100.000 berdua suami,” kata Noni.
Baca juga: Gurih Legit Bebek Madura Ma'Isa
Kedai Soto Betawi Pinangsia biasa menjadi meeting point Noni dan suami yang berkantor di kawasan TB Simatupang. Mereka biasa makan malam sebelum pulang ke rumah di Sawangan, Bogor, sekitar satu jam perjalanan lagi dari Lebak Bulus. Mereka memilih makan malam di luar karena tak lagi punya tenaga untuk memasak di malam hari.
Tak hanya Kedai Soto Betawi Pinangsia, di sekitar pintu masuk Stasiun MRT Lebak Bulus Grab, Cilandak, Jakarta Selatan, tampak beragam tempat makan yang berjejer, seperti Kue Pukis Kota Baru, Kopi Kenangan, Motto Kopi, atau Poppang. Ada juga warung-warung nasi kecil atau toko kelontong waralaba.
Pemandangan lebih kurang sama tampak di kawasan Cipete, sekitaran beberapa stasiun MRT, seperti Cipete Raya dan Haji Nawi. Di sana ada kedai makanan cepat saji waralaba, kedai makanan berat, kue, kopi, atau camilan. Salah satunya Kedai Bangka Resto dan Café Mie Ayam Bangka Chandra. Pukul 15.00, kedai itu sudah tampak sepi. Sejumlah karyawan hanya duduk-duduk di area kasir, sebagian melayani satu dua tamu atau membersihkan meja kursi.
”Ramainya setiap jam makan siang. Kebanyakan karyawan kantoran. Kalau jam segitu semua meja penuh. Saya enggak tahu pasti mereka kantornya di mana, tapi saya yakin mereka ke sini naik MRT karena keluarnya dari lift itu,” ujar Wawan, salah satu karyawan.
Kedai yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari lift menuju MRT itu buka pukul 10.00-22.00 setiap hari. Di akhir pekan, terutama Minggu pagi, banyak pengunjung datang menumpang MRT dari dan menuju kawasan Gelora Bung Karno. Sebagian dari mereka memarkir mobil di area parkir umum, yang berada tepat di belakang kedai.
Inovasi menu
Demi menarik pengunjung, sejumlah pebisnis kuliner di seputar stasiun MRT menerapkan strategi khusus. Salah satunya menawarkan menu-menu lezat nan unik. Massaro, misalnya, menyediakan menu olahan mi dan nasi yang diolah dengan tambahan beberapa elemen, mulai dari lelehan keju maupun tambahan daging sapi. Dengan begitu, mi yang disajikan terkesan lebih mewah.
”Mi ayamnya saya tambah irisan daging goreng empuk bagian has dalam yang dimarinasi semalaman. Banyak yang sampai penasaran datang langsung ingin mencicipi dan mereka suka. Setahu saya kebanyakan dari mereka naik MRT, terutama saat jam makan siang karena cepat dan bebas macet,” ujar Massaro. Selain mi ayam sapi, Massaro menawarkan inovasi menu lain, seperti Nasi Ayam Geprek Keju Mozarella dengan tiga pilihan sambal.
Harga-harga di warung itu pun terbilang ekonomis, mulai dari yang termurah Rp 2.000 berupa sepotong tahu atau tempe goreng hingga termahal seporsi Mie Ayam Sapi Mozarella seharga Rp 36.000. ”Orang berani datang dari jauh-jauh bahkan untuk sekadar penasaran nyobain karena ada pilihan MRT. Dengan MRT benar-benar termudahkan,” ujar Masaro yang per hari menjual lebih dari 200 porsi.
Kiat menarik pembeli dengan inovasi di menu pun dilakukan pemilik Mack’s Creamy, Stephanie Joey, dan Shafira Amadea dari Busy Cheese Café. Kedua bisnis kuliner tersebut baru didirikan pertengahan tahun ini menyasar kalangan pembeli Generasi Z yang diketahui senang bepergian dengan naik MRT. Inovasinya, antara lain, ialah wadah es krim yang dibuat menarik serta aneka pilihan rasa yang unik, seperti stroberi kecombrang nipis, dark choco & brownie brittle, serta milk choco & malted fudge. Harganya pun dibuat ekonomis, Rp 35.000 per skup.
Pemilik Warung Mie Ayam Sapi Sede Pedes Cipete, Muhammad Massaro (30), mengakui, keberadaan MRT sangat membantu. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kedai, warung, maupun restoran yang buka di area Cipete terus bertambah. Ia melihat tak sedikit pebisnis kuliner tak lagi ragu untuk menyewa lokasi di kawasan dekat stasiun MRT seperti Cipete.
Tak hanya para pengusaha kelas UMKM, pemanfaatan potensi dan peluang juga dilakukan perusahaan pengembang besar, seperti pengelola Urban Forest Cipete. Head of Planning and Project Urban Forest Cipete Harya Nayaka Wijaya menyebut, pihaknya mengawali proyek pembangunan hunian tinggi berkonsep properti pribadi jauh sebelum MRT dibangun. Mereka juga mengembangkan taman seluas 1,7 hektar sebagai bagian dari konsep permukiman yang mereka tawarkan. ”Kami sudah bikin taman bagus dan serius dari tahun 2016. Saat pandemi, proyek sepi dan semua berhenti. Namun, pohon-pohon yang kami tanam terus tumbuh besar dan bagus,” ujar Harya.
Baca juga: Memboyong Kampung Halaman untuk Kaum Urban
Saat pandemi terkendali dan keadaan berangsur normal, ada banyak pebisnis F&B mendatangi Urban Forest Cipete. Mereka menyampaikan ketertarikan untuk menyewa tempat di area taman sebagai lokasi restoran atau kafe. Saat itu tren untuk menggelar pertemuan dan berkuliner di lokasi-lokasi terbuka, seperti taman, tengah ramai sehingga membuka peluang bisnis baru.
Dengan berbagai pertimbangan dan studi, pihak Urban Forest Cipete akhirnya membangun Taman Brightspot di area itu dengan konsep retail compound. Area taman yang luas dan besar tetap dipertahankan, tetapi Urban Forest Cipete juga mendirikan empat atau lima bangunan seluas 120-160 meter persegi di dalamnya untuk disewakan.
”Para penyewanya kami pilih restoran-restoran yang unik dan menarik sehingga orang tertarik untuk datang dan mencicipi. Dengan begitu, baik tenan maupun pengunjung yang datang, kami bisa kurasi sekaligus,” ujar Harya.
Pemerhati sekaligus penulis sejumlah buku kuliner, Kevindra Soemantri, Sabtu (10/8/2024), menyebut, keberadaan transportasi publik massal, seperti MRT, kini memiliki fungsi baru selain sekadar alat transportasi. Menurut dia, makin banyak masyarakat urban yang tak lagi menganggap MRT sebagai sekadar moda transportasi, tetapi juga sebagai sarana yang memudahkan mereka berwisata, terutama kuliner. ”Hal itulah yang menjadi katalis bagi kemunculan tempat-tempat makan baru, terutama di sekitar stasiun MRT,” ujarnya.
Kevindra menambahkan, pada awalnya dari sisi pebisnis kuliner masih enggan. Mereka mencoba meraba apa manfaat keberadaan MRT untuk bisnis kuliner yang mereka jalankan. Hal itu tampak dari belum banyak area sekitar MRT yang bergeliat pada awal-awal MRT beroperasi pasca-Asian Games 2018 di Jakarta dan terutama saat pandemi Covid-19 terjadi. Namun, kini mereka berubah pikiran. Pebisnis kuliner, baik yang sudah sejak awal berjualan di situ maupun yang baru, menangkap peluang.
Dari pengalaman di jalur Koridor I MRT, Kevindra melihat kemungkinan antusiasme jauh lebih besar akan ditunjukkan para pelaku bisnis kuliner jelang beroperasinya Koridor II. Pada beberapa tempat sepanjang jalur Koridor II, dari Budaran HI menuju kawasan Kota Tua, sejumlah pusat perbelanjaan bahkan sudah mulai berbenah dan bersiap. Dia mencontohkan Gajah Mada Plaza yang sudah berbenah walaupun Koridor II belum mulai beroperasi.
”Tambah lagi kawasan yang dilalui Koridor II ini lebih unik dan lebih banyak terkait dengan kawasan tujuan wisata dan kuliner ketimbang Koridor I, yang lebih ke area perkantoran. Di jalur Koridor II ada banyak destinasi wisata, seperti Galeri Nasional, Museum Nasional, wisata kuliner, dan kawasan Kota Tua,” ujarnya.
Dalam sejarahnya, lanjut Kevin, keberadaan atau kemunculan akses transportasi yang baik tak hanya memicu pergerakan atau perpindahan orang dengan kemampuan daya beli berbeda secara massal. Belajar dari laporan di banyak jurnal masa lalu, catatan sejarah menunjukkan ada banyak area di sekitar stasiun-stasiun KA hidup dan berkembang pasca-beroperasinya kereta api Orient Express di akhir abad XIX.
”Banyak hotel dan restoran baru bermunculan saat itu. Hal serupa terjadi di sini (Indonesia) sejak zaman dahulu,” ujar Kevin.
Peningkatan mobilitas manusia menyuburkan kuliner di sekitar jalur transportasi. Nah, kuliner di jalur MRT kini memasuki musim semi serta dinikmati oleh pelanggan dan penjual.