Sinergi dan regenerasi, dua kata kunci keberlangsungan industri mode Tanah Air. Pintu Incubator berupaya mewujudkannya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Alunan musik beralih dari aransemen ”Swan Lake” milik Tchaikovsky yang megah ke musik elektropop milik kelompok musik Men I Trust yang lembut mengayun. Seiring pergantian itu, lampu landas peraga padam sejenak. Deretan model dengan gaun dan setelan serba hitam lalu lalang di hadapan dan seketika penerangan menyala kembali.
Belasan tampilan yang dihadirkan di pergelaran kolaborasi peserta Pintu Incubator x École Duperré Paris, Jakarta Fashion and Food Festival (JF3), pada Rabu (31/7/2024) tersebut merupakan buah karya jenama Senses. Senses adalah salah satu jenama yang terpilih dalam program Pintu Incubator.
Senses yang dikenal dengan karya-karyanya yang elegan ini selalu memproduksi desain dari nol dalam jumlah terbatas. Desain tersebut pun tak akan dibuat lagi jika habis terjual. Hal ini sejalan dengan tujuan Senses mengurangi limbah dan menjaga eksklusivitas tiap produk.
Konsep mengurangi limbah demi lingkungan ini juga dianut oleh Enigma Art Textile yang tampil dalam landas peraga yang sama. Kain yang digunakannya berasal dari serat alami yang digarap dengan tangan oleh para perajin di Jawa Tengah dan Bali.
”Pengolahannya ada yang tenun tangan, batik, tie-dye, bordir, juga sablon. Namun, semuanya tetap dipikirkan terkait dampak lingkungannya agar produk yang dihasilkan tak hanya unik dari segi desain dan hasil olahannya, tetapi juga ramah lingkungan,” ujar Elizabeth Selly dari Enigma Art Textile.
Senses dan Enigma Art Textile merupakan kedua jenama yang lolos ke tahap lanjutan dalam program Pintu Incubator. Sebelumnya, Pintu Incubator telah menyeleksi sekitar 500 pendaftar. Pada seleksi fase pertama, terpilih tujuh jenama yang kemudian mengikuti sesi lokakarya serta pendampingan privat.
Dari tujuh jenama tersebut kemudian disaring lagi menjadi lima jenama untuk masuk ke fase kedua, yang salah satunya juga berkesempatan tampil di landas peraga JF3 pada pekan lalu. Selain Senses dan Enigma Art Textile, ada Tales and Wonders, Arae, dan Denim It Up!. Kini, tersisa dua jenama yang akan maju ke tahap selanjutnya dan dipersiapkan untuk mengikuti Première Classe, Paris Trade Show.
Founder Pintu Incubator, Thresia Mareta, ketika dijumpai di Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (8/8/2024), menyampaikan, para pendaftar program Pintu Incubator setiap tahun selalu memiliki desain unik dan menawan. Hanya saja yang terpilih memang memiliki kriteria lain.
”Beberapa hal jadi pertimbangan karena ini berkaitan juga dengan langkah mereka saat nantinya berhadapan dengan buyer (pembeli) yang bukan hanya lokal, melainkan global. Antara lain, kemampuan kapasitas produksi, konsistensi kualitas, dan punya benang merah yang jelas untuk tiap koleksinya,” tutur Thresia.
Selama tiga kali penyelenggaraan, sejumlah jenama dari hasil Pintu Incubator ini dibawa ke Paris Trade Show untuk bertemu dengan para pembeli. Terakhir pada Paris Trade Show 2023, Pintu Incubator membawa Fuguku, Bertjorak, dan Apa Kabar.
Beberapa hal jadi pertimbangan karena ini berkaitan juga dengan langkah mereka nantinya berhadapan dengan buyer yang bukan hanya lokal, melainkan global. Antara lain, kemampuan kapasitas produksi, konsistensi kualitas, dan punya benang merah yang jelas untuk tiap koleksinya.
Regenerasi dan sinergi
Thresia menuturkan, sebagian besar partisipan Pintu Incubator merupakan kreator muda. ”Sebenarnya gagasan Pintu Incubator ini muncul dari banyak hal. Namun, salah satunya untuk mendorong para kreator muda berani muncul dan memperoleh panduan yang tepat,” ujar Thresia.
Sepanjang 20 tahun membangun JF3, Thresia turut mengamati perkembangan industri mode Tanah Air. Persoalan regenerasi menurut dia cukup krusial karena umumnya yang dikenal dan tampil di landas peraga bisa terprediksi dan sedikit yang muda. Keberlangsungan industri mode, ujarnya, perlu ditopang oleh kemunculan talenta-talenta baru.
Regenerasi, imbuhnya, tak hanya seret di area kreator, tetapi dari sisi produsen, seperti perajin, pun mengalami hal serupa. Anak muda enggan jadi perajin karena melihat kehidupan orangtua mereka.
”Dengan memantik kreator muda terus berkarya dan membuka peluang usaha mereka, ini juga berdampak kepada perajin agar bisa terus menghasilkan dan menarik anak muda untuk mau turut melestarikan,” tutur Thresia.
Keresahan Thresia ini ternyata juga dirasakan di Perancis melalui penuturan Atase Kebudayaan Perancis untuk Indonesia Charlotte Esnou. Perjumpaan di pertunjukan Lakon Indonesia di Prambanan, Jawa Tengah, akhirnya membawa pada pembicaraan untuk berkolaborasi mewujudkan Pintu Incubator yang bisa menjadi ruang belajar bagi pelaku industri mode muda Indonesia dan kreator muda Perancis.
Tahun ini, misalnya, sejumlah desainer dari sekolah mode École Duperré Paris ikut pamer hasil karyanya di JF3. Hal ini untuk memantik mereka agar juga bisa membuka pasar di Indonesia. Di sisi lain, jenama Indonesia juga mampu memperluas jaringan agar bisa berkelanjutan memasok karyanya ke luar negeri.
”Ini jadi semacam bentuk sinergi juga karena memang harus seperti ini agar jalannya terbuka. Sinergi juga terjadi dengan para perajin,” kata Thresia.
Pengembangan bisnis
Seperti yang disinggung sebelumnya, kriteria untuk lolos Pintu Incubator bukan sekadar desain. Kesiapan bisnis juga patut diperhatikan. Setidaknya para kreator muda ini sudah punya target dan tujuan terlebih dahulu untuk kemudian mereka dapat lebih mengembangkan diri melalui sesi lokakarya dan pendampingan privat 1-on-1 dengan ahli.
Ada tiga topik penting yang selalu menjadi bahan pelatihan di Pintu Incubator, yaitu perencanaan bisnis model, ide dan produk, kemudian strategi komunikasi jenama untuk membangun brand awareness. Ini semua penting dimiliki desainer yang kemudian membuka usaha atau jenama. Kadang, pemilik jenama paham masalah bisnis. Hanya saja, pengetahuan terkait produksi pakaian sebatas siluet saja.
”Ini akan dibantu dari segi ilmu desain dan lain-lain. Ada juga yang paham bikin karya, produknya bagus, nyaman, cutting-nya enak, tetapi enggak bisa pembukuan atau enggak pintar mengomunikasikan brand-nya atau dirinya. Ini dilatih di sini,” tutur Thresia.
Buyer itu kalau tertarik akan pesan dalam jumlah besar. Jadi, sejak awal memang harus siap dulu, apalagi sebagian besar kan masih home industry. Kualitas ini enggak kalah penting, jangan sampai bikin banyak terus kualitas menurun. Benang merah dari produk juga penting untuk mendorong buyer repeat order.
Tidak hanya itu, mereka bahkan juga dibantu memikirkan keahlian apa saja yang perlu direkrut demi kelangsungan usaha mereka sesuai anggaran yang dimiliki dan kebutuhan setiap jenama. Thresia juga menekankan pada setiap jenama pentingnya konsistensi kualitas dan kapasitas produksi.
”Buyer itu kalau tertarik akan pesan dalam jumlah besar. Jadi, sejak awal memang harus siap dulu apalagi sebagian besar kan masih home industry. Kualitas ini enggak kalah penting, jangan sampai bikin banyak terus kualitas menurun. Benang merah dari produk juga penting untuk mendorong buyer repeat order,” kata Thresia.
Salah satu benang merah yang digarisbawahi dari para peserta Pintu Incubator selama ini adalah ramah lingkungan dan bernilai budaya. Bentuknya bisa berbeda tergantung keunikan yang ingin ditonjolkan oleh tiap jenama, tetapi benang merahnya serupa. Bahkan, di beberapa jenama, benang merah ini sudah muncul di tiap koleksi sebelum mengikuti Pintu Incubator.
”Semestinya memang seperti itu. Jadi, buyer yang sudah cocok dengan koleksi sebelumnya punya kepastian tentang koleksi selanjutnya,” ujar Thresia.
Kendati demikian, Pintu Incubator yang berjalan selama enam bulan untuk pelatihan ini sejatinya hanya pembuka jalan. Kelanjutannya kembali kepada para pelaku industri mode sendiri. Namun, setidaknya, upaya untuk memercikkan api regenerasi dan sinergi telah dirintis oleh program inkubasi ini.