Berbondong-bondong Mengular demi Kuliner Viral
Hafid berdiri paling depan. Ia sampai rela datang dari di Bandung demi mencicipi kuliner viral tanpa menghiraukan terik.
Blok M lagi enggak bisa diam. Demikian ungkapan yang sering betul wira-wiri di media sosial akhir-akhir ini. Tujuan kuliner diserbu dengan antrean yang mengular. Jejak-jejak serupa terefleksikan pula di jalur MRT lain. Selain mengelak kemacetan, transportasi itu bisa jadi akses berwisata kuliner.
Sudah sekitar pukul 16.00, tetapi pengunjung masih bererot saja di OO Donut, Blok M, Jakarta, Sabtu (10/8/2024). Antrean dengan panjang hampir 50 meter menuju kedai donat itu di tengah petang yang masih gerah. Kasir berseru-seru memanggil nama konsumen yang pesanannya sudah siap diambil.
Sudah sejak OO Donut buka sekitar pukul 14.00, antrean belum juga surut. Beberapa anak ikut mengantre bersama orangtuanya seraya bersenda gurau. Tanpa sekat, konsumen bisa menyaksikan karyawan-karyawan yang sibuk menyiapkan hidangan, mengoleskan selai, atau memasukkan donat.
Baca juga: Meremukkan Botol, Meremukkan Amarah
Putri Yulia (24) ikut mengantre bersama suaminya. Ia sudah kerap menyaksikan konten-konten soal Blok M yang saat ini kesohor sebagai pusat jajanan viral. Warga Jakarta Barat itu rela berdiri sekitar 30 menit karena sangat menyukai donat.
”Panas, sih, tapi penasaran. Memang lagi jalan-jalan habis makan siang terus lihat antrean jadi spontan ikut. Coba-coba makanan baru,” ujarnya. Putri yang senang berwisata kuliner tambah tertarik saat mengamati kedai yang menurutnya artistik. Ia membeli lima donat dengan total harga Rp 72.000.
Blok M memang tengah membetot atensi penggila kuliner. Antrean panjang sudah lazim terjadi di sejumlah kedai beberapa pekan terakhir. Pengunjung berderet hingga trotoar sebelum bisa masuk dan menikmati pesanannya. Pedagang kaki lima turut kecipratan rezeki.
Di depan Saltbread, misalnya, semua kursi sudah penuh dengan 25 orang yang duduk untuk menunggu. Pintu geser baru dibuka setengah, tetapi roti-roti di Saltbread sudah dinanti penggemarnya. Begitu terbuka penuh pada pukul 12.00, massa kontan berkerumun.
Nyaris bersamaan, lebih kurang 20 orang juga mengantre di Busy Cheese Cafe untuk membeli cheesecake yang menjadi andalannya. Sudah tentu, kursi-kursi panjang di pinggir trotoar disesaki pengunjung yang menikmati kue, es krim, dan roti.
Di Mack’s Creamery, antrean sekitar 30 konsumen malah sudah terlihat pada pukul 11.45. Kedai es krim itu baru dibuka 15 menit lagi. Karyawan Mack’s Creamery dengan ramah menawarkan air dingin dengan gelas kertas, tisu, hingga meminjamkan payung. Tepat pukul 12.00, antrean sudah memanjang hingga 50 konsumen.
Di dalam kedai seluas 60 meter persegi dengan kapasitas sekitar 40 pengunjung, mereka berdesakan, bahkan rela berdiri. Pembeli masih saja datang silih berganti. Di belakang etalase, pramusaji menawarkan tamu-tamu untuk mencicipi es krim yang diminatinya dengan sendok kecil.
Pegal berdiri
Hafid Nur Prasetyanto (23) berdiri paling depan. Ia sampai rela datang dari di Bandung, Jawa Barat, demi mencicipi kuliner yang sedang hype alias viral. Ia sudah tiba dengan dua temannya sekitar pukul 10.30 lalu berfoto-foto dengan latar atraktif sambil mengobrol.
Rasanya, sih, sepadan, ya, dengan lama antre dan harganya. Aku lumayan senang kulineran. Pakai MRT saja ke Blok M.
Selang sejam, Hafid berinisiatif untuk memulai antrean yang dibuntuti konsumen lain. Ia tahu Mack’s Creamery dari media sosial. ”Baru tahu beberapa hari lalu terus penasaran. Sekalian eksplorasi tempat-tempat baru. Di Blok M, banyak yang belum kucoba. Cari yang segar-segar,” tuturnya.
Seusai mengantre sekitar 30 menit didekap gerah dan lumayan pegal berdiri, ia memuaskan diri dengan menikmati es krim dan sejuknya embusan pendingin udara selama hampir satu jam. Hafid asyik mengulum es krim cereal milk dan matcha seharga mulai Rp 35.000 per porsi.
”Rasanya, sih, sepadan, ya, dengan lama antre dan harganya. Aku lumayan senang kulineran. Pakai MRT saja ke Blok M,” ujarnya. Transportasi tersebut dipilih karena aman dan nyaman selain jarak stasiunnya yang cukup dekat menuju sentra kuliner.
Tak hanya Hafid, berdasarkan pengamatan, banyak pengunjung yang berbondong-bondong mengakses MRT. Hanya berjalan sekitar 5 menit dari stasiun, mereka sudah mencapai sentra kuliner tersebut. Di kiri kanan, kedai-kedai mungil, tetapi estetik sungguh menggoda untuk dikunjungi.
Moda yang aman, cepat, dan nyaman nyatanya tak hanya memudahkan publik untuk berkelit dari kemacetan, tetapi juga menyuburkan usaha kuliner. Di sekitar stasiun Lebak Bulus Grab, umpamanya, beragam tempat makan berjejer di sepanjang trotoar.
Penumpang MRT bisa mampir di Kue Pukis Kota Baru, Kopi Kenangan, Motto Kopi, atau Poppang. Sekitar 150 meter dari stasiun, ada Soto Betawi Pinangsia. Kamis (8/8/2024), sekitar pukul 19.00, puluhan penumpang menuruni tangga stasiun.
Di antara mereka, kaki Noni Desiyanti (50) mengayun pasti ke Soto Betawi Pinangsia. Ia melayangkan pandang ke tempat makan separuh terbuka tersebut. Untunglah tak ramai.
Baca juga: Merayakan ”Mind, Body, and Soul”
Noni memilih meja yang terletak di tengah ruangan. Setelah menaruh dua tas di dekat kursi, tubuh lelahnya duduk. Pelayan langsung datang mencatat pesanan.”Saya lumayan sering ke sini, dua tahun terakhir. Bisa seminggu sekali. Saya tahu pas jalan dari stasiun terus nemu,” kata Noni.
Pegawai perusahaan di Sudirman Central Business District (SCBD) itu pulang dari Stasiun Istora Mandiri dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.Seperti biasa, ia makan bersama suaminya yang berkantor di Jalan TB Simatupang. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Sawangan, Depok, Jabar.
Tempat transit
”Kalau sampai rumah, udah malam enggak sempat masak dan capek. Jadi tempat transit karena ke Sawangan masih jauh, sejam lagi,” tutur Noni.Ia juga mempunyai tempat untuk berteduh menunggu jemputan. Noni biasanya memesan soto betawi daging atau ayam goreng. ”Rasa dan harganya sepadanlah,” ujar Noni yang bisa menghabiskan sekitar Rp 100.000 sekali makan bersama suami.
Imelda (40) juga semakin punya banyak pilihan lokasi berkuliner saat makan siang sejak sering memanfaatkan MRT. Biasanya, setiap tanggal muda, ia dan rekan-rekannya ”bertualang” dari kantor di SCBD. Kecepatan dan ketepatan jadwal MRT bisa diandalkan untuk bepergian agak jauh. Blok M, Cipete, atau seputar Jalan Sabang dan Sarinah, biasa menjadi tujuan.
”Sekarang kalau mau coba-coba makan di tempat agak jauh, gampang sepanjang bisa dijangkau MRT. Baliknya enggak susah atau macet-macetan. Ongkosnya murah dan waktunya sebentar,” ujar Imelda.
Jika ingin ke Jalan Sabang, ia dan rekan-rekannya turun di Bundaran HI. Mereka menuju Sarinah dan melanjutkan dengan berjalan sejauh 700 meteran. Imelda bisa mampir ke salah satu warung sate favoritnya. Jika ingin menikmati makanan Padang, ia mampir ke restoran macam Natrabu.
Sesuai kebutuhan pengguna MRT. Di Cipete, dulu banyak bisnis seperti garmen. Sekarang, kuliner semakin banyak.
Sementara, di Cipete, Imelda dan rekan-rekannya biasa mampir ke Nasi Campur Bali. Tempat makan satu ini sempat viral dan hype. Bisa juga di Blok M macam Futago Ya, Shophaus Mahakam, atau Sarang Oci. “Tempat makan yang lagi nge-hits boleh dicoba asal enggak antre panjang. Kalau lama, mending wasalam aja, ha-ha-ha,” tambahnya.
Kepala Divisi Corporate Secretary PT MRT Jakarta Ahmad Pratomo mengatakan, kawasan-kawasan sekitar stasius MRT tak hanya bertumbuh tetapi juga beradaptasi. ”Sesuai kebutuhan pengguna MRT. Di Cipete, dulu banyak bisnis seperti garmen. Sekarang, kuliner semakin banyak,” ujarnya.
Ia menambahkan, Blok M merupakan kawasan berorientasi transit yang dikembangkan pihaknya dengan konsep green creative hub. ”Makanya, ada Taman Literasi. Radiusnya, kami memetakan dan mengembangkan sampai kurang lebih 700 meter dari stasiun,” ujarnya.
Pencerita makanan atau food storyteller, Ade Putri Paramadita, memandang ramainya tujuan kuliner di sekitar MRT merupakan imbas beberapa hal. ”Dimulai dengan informasi yang berkeliaran melalui media sosial lalu memantik keingintahuan serta keinginan untuk ikut mencoba,” ujarnya.
Kehadiran MRT boleh dipandang semacam “dewa penolong” yang memudahkan bepergian dalam kurun waktu yang lebih singkat. ”Memotong macet, intinya. Hal lain yang memicu, bisa juga posisi penjenamaan serta cara menjual yang baik,” tuturnya.
Kualitas yang bagus bisa menghasilkan keberlangsungan usaha. Jika kurang baik, kemungkinannya kecil untuk bisa bertahan di tengah persaingan bisnis yang sadis ini. ”Intinya, semua faktor itu saling berpengaruh dan menunjang larisnya sebuah usaha,” ucapnya.