Industri mode berkontribusi pada pemanasan global. Produsen kain mulai sadar untuk menerapkan produksi ramah lingkungan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Isu perubahan iklim telah menjadi keprihatinan seluruh pihak. Kesadaran untuk menerapkan gaya hidup hijau muncul pula di kalangan pelaku industri mode, termasuk kain wastra.
Pendiri Sejauh Mata Memandang (SMM), Chitra Subyakto, mengatakan, dunia berada dalam kondisi darurat karena pemanasan global. Pemanasan terjadi akibat aktivitas manusia dan efek rumah kaca. Industri mode tak ayal ikut berkontribusi.
Bahan poliester tidak bisa didaur ulang dan akan menjadi sampah abadi yang memenuhi Bumi. Saat kita pakai, mikroplastik akan masuk ke pori-pori yang dampaknya terasa 10-20 tahun kemudian.
”Kita sebagai pencinta dan praktisi fashion punya andil dalam menjaga Bumi. Di Sejauh Mata Memandang, kami berpedoman pada prinsip ekonomi sirkular sehingga produk kami lebih bertanggung jawab, lestari, dan dapat digunakan berulang kali,” kata Chitra dalam acara Karya Kreatif 2024-Pagelaran Sustainable Fashion: Asa Wastra Membumi di Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Mengutip Canopyplanet.org, lebih dari 300 juta pohon ditebang setiap tahun untuk diubah menjadi kain serat selulosa, seperti viscose. Jika dibaringkan dari ujung ke ujung, pohon-pohon ini akan mengelilingi Bumi tujuh kali. Saat ini, hutan di Indonesia, Kanada, dan Brasil menjadi sasaran penebangan untuk keperluan mode.
Chitra menjelaskan, jenis kain lain yang tidak ramah lingkungan adalah poliester sebab menggunakan bahan kimia berbahaya. ”Bahan poliester tidak bisa didaur ulang dan akan menjadi sampah abadi yang memenuhi Bumi. Saat kita pakai, mikroplastik akan masuk ke pori-pori yang dampaknya terasa 10-20 tahun kemudian,” ujarnya.
Di SMM, Chitra menuturkan, mereka menerapkan dua metode ekonomi sirkular, yakni daur ulang (recycle) dan daur naik (upcycle). Sejak tahun 2021, SMM berkolaborasi dengan EcoTouch untuk mengumpulkan sumbangan baju bekas dari bahan nonpoliester. Baju-baju tersebut lalu dicacah menjadi serat dan diolah menjadi benang baru.
SMM selanjutnya mengirim benang tersebut kepada mitra penenun di Pekalongan, Jawa Tengah, untuk dibuat menjadi kain baru. Proses penenunan berjalan secara manual tanpa listrik dan menggunakan pewarna nabati dengan sedikit air. Per Desember 2023, SMM sudah mengumpulkan 25,6 ton pakaian bekas tidak layak pakai.
Untuk daur naik, SMM mengolah kain perca atau kain reject untuk diolah menjadi pakaian baru. ”Mari menjadi bagian dari solusi, bukan polusi,” kata Chitra.
Karena itu, Chitra menambahkan, kunci perubahan di industri mode agar lebih hijau terletak pada semua individu yang berada di sistem hulu hingga hilir di seluruh pelosok negeri. Mereka antara lain petani kapas, petani rami, pemintal benang, penenun kain, penjahit, sampai konsumen.
Pelaku UMKM
Kesadaran untuk menciptakan kain, khususnya wastra, yang berkelanjutan juga muncul dari kalangan pelaku tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kesadaran itu muncul dari beragam faktor, termasuk lewat pembinaan yang dilakukan Bank Indonesia.
Ketua Dewan Penasihat Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (Pipebi) Ririn Perry Warjiyo mengatakan, banyak UMKM binaan BI yang mulai bergerak ke arah tersebut. Pelaku UMKM secara bertahap mulai menggunakan pewarna alami dan memperhatikan pengelolaan limbah.
”Acara sore ini Pagelaran Sustainable Fashion: Asa Wastra Membumibermakna agar kita melestarikan wastra Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi. Ini untuk membangkitkan wastra tenun agar seperti batik dan songket tidak hanya dilihat sebagai bagian dari masa lalu, tetapi bagian hidup yang integral dan dinamis,” ujar Ririn dalam sambutannya.
Ririn melanjutkan, wastra tidak hanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya, tetapi juga memutar roda ekonomi. ”Perajin wastra itu kebanyakan ibu-ibu. Mereka menjaga tradisi, penenun cerita, dan pahlawan ekonomi. Seiring meningkatnya kesadaran gen Z sadar dan vokal bicara tentang lingkungan, maka penting agar membuat wastra relevan,” tuturnya.
Dalam acara tersebut, sejumlah pelaku UMKM berkolaborasi dengan dengan dua desainer ternama, yaitu Mel Ahyar dan Toton Januar. Para pelaku UMKM tersebut adalah Mawar Tenun dari Nusa Tenggara Barat, Batik & Tenun Gedog Zaenal dari Jawa Timur, Gallery Batik Ciwaringin dari Jawa Barat, dan Lamops Craftworks Jewelery dari Nusa Tenggara Barat.
Pemilik Mawar Tenun, Lalediah, mengatakan, usahanya mempekerjakan sekitar 50 penenun di Desa Batujai Karang Dalam, Lombok Tengah. Dahulu, usahanya menggunakan pewarna kimia.
”Setelah mendapat binaan, kami diberi pelatihan dan jadi mengerti tentang pewarna alam lebih ramah lingkungan dan membuat kain lebih unik dan warna awet. Kami memakai pewarna alami sejak tahun 2019,” kata Lalediah.
Menurut Lalediah, tidak bisa dimungkiri waktu pengerjaan kain tenun jadi lebih lama ketika menggunakan pewarna alam. Proses pewarnaan alami harus melalui proses pembuatan pewarna dari tumbuhan dan pencelupan benang selama beberapa bulan. Namun, harga jual produknya jadi lebih tinggi 5-10 persen dibandingkan ketika masih menggunakan pewarna kimia.