Nyaman dan Santai Jadi yang Utama
Jakarta Fashion and Food Festival (JF3) menjadi momen tumbuhnya terobosan di industri mode. Seperti apakah?
Busana yang mengusung nilai budaya Indonesia menjadi kekuatan mode Tanah Air. Bahkan, kini, nilai budaya itu disandingkan pula dengan semangat keberlanjutan lingkungan. Bagaimana jika keduanya disatukan dalam pakaian kasual yang nyaman dikenakan kapan pun?
Sebelum beranjak jauh, apa yang terpikirkan ketika mendengar busana dengan unsur budaya? Tentu, batik, tenun, dan aneka wastra beragam motif yang pertama tercetus. Lalu, isu keberlanjutan pun identik dengan proses pembuatan yang cukup menantang dan memakan waktu.
Atas dasar itu, karya jenama lokal yang khas dengan elemen budaya dan keberlanjutan lingkungan sedikit kurang terjangkau dari segi harga. Selain itu, siluet yang ditawarkan lebih dominan untuk acara formal. Sedikit yang tergerak untuk momen kasual dengan desain nyaman dan tak lekang oleh waktu.
Baca juga: Dua Dekade Berkontribusi untuk Regenerasi Mode
Jakarta Fashion and Food Festival (JF3) yang kali ini memasuki tahun ke-20, pada penyelenggaraan di Summarecon Mall Serpong sejak 30 Juli-4 Agustus 2024, memberi pilihan lengkap. Bahwa busana yang mengangkat corak budaya dan ramah lingkungan bisa terjangkau harganya dan bisa dipakai bersantai sehari-hari.
Lakon Indonesia mengawalinya pada peragaan busana pada Selasa (30/7/2024). Dengan tema Pasar Malam, areal landas peraga disulap seolah menjadi wahana pasar malam yang riuh. Bangku-bangku untuk penonton bukan kursi tamu berpelapis sarung hitam atau emas seperti biasa, melainkan bangku taman hingga kursi plastik.
Di belakangnya ada jajanan penganan lokal, seperti putu dan es cendol. Di bagian lain, baju-baju Lakon Indonesia dijajakan. Tersedia pula spot khusus yang menjual camilan dan permainan zaman dahulu, seperti rambut nenek dan permen cicak. Apabila musik latar yang mengiringi model berjalan biasanya musik electronic dance atau musik klasik mendayu, pergelaran kali ini menghadirkan medley lagu dangdut dipadu rekaman riuh orang-orang berbincang, suara klakson, sampai suara tukang bakso.
Model dengan tampilan pertama berupa kemeja panjang putih belahan depan dengan celana pendek hadir diantar Bajaj yang berjalan sepanjang landas peraga. Sang model pun turun, lalu menyusuri landas peraga dan ketika berpapasan dengan model kedua yang berjalan berlawanan arah, mereka berpelukan dan berakting seolah kawan lama yang jarang bersua.
Selanjutnya, nuansa biru putih dengan motif garis dan motif batik wira-wiri pada 30 tampilan pakaian besutan desainer Irsan. Koleksi ketujuhnya ini dipenuhi celana pendek, kaus, kemeja, gaun, rok panjang asimetris berjumbai, rok mini, skort (paduan rok mini dan celana pendek), tank top, hingga luaran. Serba santai.
Simak juga: ”Skateboard” hingga Mode Ramaikan JF3
”Cutting-nya sederhana, tapi sangat kuat dan coba mengadaptasikan dengan pakaian sehari-hari. Kita kan cenderung suka, ya, pakai baju olahraga ke beragam tempat karena kenyamanan yang dicari. Tapi, kan, baju olahraga enggak cocok untuk semua ruang. Jadi, kami juga memperhatikan etika berpakaian di suatu ruang dengan mengutamakan kenyamanan,” kata founder Lakon Indonesia, Thresia Mareta.
Batik pekalongan milik Dudung Alisyahbana dipilih Lakon Indonesia untuk mengikat tema baju streetwear yang nyaman, tetapi tetap punya nilai budaya dan ramah lingkungan. ”Itu memang semangat kami, ya, fashion itu tetap harus ramah lingkungan di setiap prosesnya,” ujar Thresia.
Usaha tersebut terwujud dalam pengembangan pola busana yang sederhana, seperti minim potongan, kancing, retsleting, dan jahitan. Maka, pemakaian listrik dan air pun dapat dipangkas. ”Kalau di setiap titik proses itu kita benar-benar bisa efisien dan kita bertanggung jawab, impact-nya lebih besar,” imbuhnya.
Kalau di setiap titik proses itu kita benar-benar bisa efisien dan kita bertanggung jawab, ’impact’-nya lebih besar.
Selain Lakon Indonesia, busana yang mengutamakan kenyamanan ini juga disuguhkan sejumlah jenama dan desainer yang tampil di JF3, antara lain Eyez On Me, Rinda Salmun, dan Bespoke Project Indonesia.
Generasi baru
Selain menjadi ajang lahirnya terobosan di industri mode, JF3 juga menjadi ruang bagi generasi baru di bidang mode Tanah Air untuk berkembang. Salah satunya kehadiran PINTU Incubator yang telah memasuki tahun ketiganya. Tahun ini, PINTU Incubator berkolaborasi dengan École Duperré. Bukan sekadar peragaan busana, program ini juga merupakan kesempatan bagi desainer muda Indonesia untuk menunjukkan kreativitas dan orisinalitas mereka di kancah internasional.
Menariknya, tahun ini, sejumlah desainer Perancis—Coline Percin, Daniel Cheruzel, Guy Chassaing, Louisa Gauchon, Ninon Fievet, dan Noemi Jondot—dari École Duperré ikut menyuguhkan karyanya di landas peraga bersama jenama lokal terpilih di PINTU Incubator.
PINTU Incubator mengumumkan lima partisipan yang akan mempresentasikan karya mereka di JF3 2024 setelah melalui proses seleksi ketat dan pembinaan intensif dengan para alumnus program dan sejumlah desainer Perancis. Ada Senses, Enigma Art Textile, Arae, Tales and Wonder, dan Denimitup. Mereka terpilih dari 500 jenama. ”Tahun lalu bisa 12 peserta yang diterima, tahun ini cuma 7. Kami mengurasi brand berdasarkan kesiapan mereka masuk pasar internasional,” ujar Thresia yang juga founder PINTU Incubator.
Baca juga: Program Inkubasi Mode Pintu Mencari Talenta Baru
PINTU Incubator, sejak diluncurkan pada 2022, menjadi wadah bagi puluhan jenama dan desainer muda untuk berkembang, dari pasar lokal hingga internasional. Program ini menawarkan tambahan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan, mendorong jenama lokal untuk memenuhi standar internasional.
Salah satu pencapaian terbesar PINTU adalah membawa kreator muda ke pameran bergengsi Première Classe-Paris Trade Show selama Paris Fashion Week dan memberikan beasiswa enam bulan di École Duperré, Paris.
Charlotte Esnou, Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Perancis di Indonesia dan Direktur Institut français d’Indonésie di Jakarta, bercerita tentang ide di balik program bilateral ini. ”Kami ingin mempertemukan banyak talenta berbeda di bidang fashion untuk mendampingi para kreator muda,” tuturnya.
Jenama Senses membuka dengan dua belas busana dominasi warna hitam. Senses mengusung pola kain tradisional, tetapi dengan siluet modern, seperti midi dress tanpa lengan. Arae menyusul dengan sepuluh busana hasil teknik eco-print dan pewarnaan alami. Mengusung konsep berkelanjutan, teknik cetak kain ini ramah lingkungan lantaran seluruh prosesnya tak menggunakan bahan kimia dan hanya menyerap pigmen alami aneka tumbuhan. Hasilnya, tampak berbagai kemeja bersiluet boxy dengan celana longgar panjang ataupun pendek yang dipadukan dengan caping dan tas jinjing maupun selempang.
Kami ingin mempertemukan banyak talenta berbeda di bidang ’fashion’ untuk mendampingi para kreator muda.
Tales and Wonder menampilkan dua belas busana yang didominasi warna coklat dan hijau bernuansa earthy tone, menampilkan seni cetak dan ilustrasi bertema Balinese Ramayana. Motif floral lebih ditonjolkan sejalan dengan warna hijau dan coklat yang menjadi landasan. Inspirasi itu dipadankan dengan tren pakaian modern serupa kemeja crop top, tank top model kemben yang dipadu luaran tanpa lengan, aneka gaun mini, midi, dan maxi yang seluruhnya menunjukkan tengkuk dan tonjolan tulang selangka sehingga tampak elegan.
Sementara itu, Enigma Art Textile menghadirkan dua belas busana kuning dan biru yang sederhana dan membumi dengan desain kontemporer yang dipengaruhi budaya Indonesia.
Malam itu ditutup dengan koleksi denim streetwear dari Denimitup dengan sentuhan tradisional pada aksesori kepala. Kreasi mereka, bagian dari HAM! JEANSKU, memadukan berbagai warna cerah yang menyimpang dari pakem jins biru pada umumnya seperti warna coklat dan kuning.
Tak hanya dari PINTU, para perancang muda dari LPTB Susan Budihardjo dan Esmod pun mendapat kesempatan memamerkan karya. Dengan tema acak-acak, lebih dari 20 siswa LPTB Susan Budihardjo dari Jakarta, Bali, dan Semarang menyulap kain denim menjadi aneka rupa baju streetwear dengan ragam warna dari hijau muda, lilac, sampai perak.
”Dua bulan penuh kami menggarap ini dan berharap akan selalu ada panggung untuk kami desainer muda,” ucap Desi Rahmadani (25) dari LPTB Susan Budihardjo seusai pertunjukan.
Catatan: Artikel ini merupakan hasil kolaborasi dengan peserta magang Harian Kompas, Daffa Almaas Pramesthy, Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan Rilanda Virasma Meiprita, Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro.