Gurih Legit Bebek Madura Ma’Isa
Aisa pernah dikira bermasalah dengan polisi. Mereka berbondong-bondong mendatangi gerobak perantau asal Madura tersebut.
Berbekal ingatan akan leluhurnya, Aisa (67) berdagang bebek madura. Perantau tersebut berjuang dengan bekerja di dapur, berjualan di tepi jalan, hingga membuka rumah makan. Pelanggan berduyun-duyun menikmati bebek racikan Aisa.
Semua meja yang dilengkapi kursi di Ma’Isa tak bersisa, Selasa (30/7/2024) sekitar pukul 12.00 WIB. Pengunjung yang masih berdatangan lantas mengalihkan langkahnya menuju tikar. Begitu mendapati meja yang ditinggalkan konsumen, pramusaji langsung sigap membenahinya.
Di depan warung yang terletak di Jakarta Timur itu, beberapa pembeli mengantre untuk memesan makanan yang langsung diambilkan pramusaji. Rata-rata tak sampai lima menit pelanggan sudah beranjak untuk makan. Hampir semua tamu tampak memilih menu bebek untuk pendamping nasi.
Setiap hidangan disajikan dengan piring beralas kertas minyak. Menu bebek ditemani beberapa potong mentimun dan tentu saja bumbu hitam yang melumuri bebek. Khas madura betul. Daging coklat gelap yang kenyal terlihat mengilat.
Saat dikunyah, asin dan pedas yang sedap silih berganti menyinggahi indera pengecap. Siap-siap saja mulut berlepotan bumbu karena bebek yang enak digerogoti. Sisa-sisa daging yang masih melekati tulang juga tak kalah mengasyikkan untuk dicungkil.
Baca juga: Kuliner Viral Penambah Denyut Pasar
Sendok dan garpu tersedia, tetapi kebanyakan tamu lebih nyaman makan dengan tangan. Lauk primadona lain di Ma’Isah, rempeyek hangat, sungguh istimewa karena, meski ukurannya setelapak tangan, tetap renyah. Gurihnya udang diselingi daun jeruk dengan suara keriuk yang nyaring ketika dilahap.
Bakwan empuk pun tak kalah difavoritkan. Sejumlah tamu yang datang terpaksa menunggu beberapa menit lantaran lauk yang diselipi udang, kol, dan wortel itu sempat habis. Kerupuk putih atau kulit menambah nikmat bersantap di rumah makan berkapasitas sekitar 60 orang tersebut.
Lumayan sulit juga menuju wastafel dengan melewati sesaknya pembeli yang lesehan. Selepas pukul 13.00, keramaian berangsur melandai. Lantunan pengamen setengah baya yang memainkan kecapi di teras Ma’Isa tanpa mengusik kenyamanan pengunjung lamat-lamat terdengar.
Tak leyeh-leyeh
Aisa, pemilik rumah makan itu, juga tak sekadar leyeh-leyeh walau mempekerjakan sekitar 15 karyawan. Ia bersiaga di meja kasir seraya kerap celingukan mengawasi kalau-kalau konsumen meminta bantuan atau pegawainya perlu membersihkan meja.
Perempuan kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur, tersebut tak ingat persis tahun ketika merantau, tetapi ia memperkirannya sekitar 1985. ’Suami kerjanya sama pengusaha besi bekas. Saya ikut masak untuk karyawan-karyawannya. Semua 26 orang,” tuturnya.
Setelah enam tahun, Aisa jemu, apalagi sudah banyak kerabat juragannya yang turut bekerja di dapur. Ia pamit untuk memulai usaha kecil-kecilan. ”Masa, di Jakarta cuma jadi koki. Saya enggak enak juga, kan, sudah banyak yang nyiapin makanan,” katanya.
Aisa berdagang di Klender, Jakarta, sejak tahun 1991. Ia berjualan serabutan, mulai kursi, gado-gado, tempe, bakwan, hingga tahu menggunakan gerobak di depan pabrik es. Lambat laun, resep bebek madura sang nenek yang sungguh lezat terngiang-ngiang.
”Coba-coba jual nasi bebek terus orang tanya. Saya bilang, cicipin saja. Infonya menyebar dari mulut ke mulut,” ucapnya. Lebih-lebih, tak jauh dari lokasi itu terdapat pul taksi dan kantor polisi. Pembeli beramai-ramai menyerbu bebek sehingga Aisa berhenti meyuguhkan gado-gado.
Ia enggan memerinci bahan-bahan bumbu hitam yang menjadi rahasia dapur dan hanya menyebut kuah pekat andalannya tersebut dengan kretek. ”Istilahnya, jangkep. Semua ada. Peyek juga pakai bahan berkualitas,” ujar Aisa yang juga tak menjelaskan nominal keuntungannya.
Banyak pelanggan kepincut sampai-sampai antreannya begitu panjang. Asia terpikir untuk pindah karena di trotoar jumlah kursi jelas tak memadai. ”Pernah ada yang nanya, polisi, kok, ramai banget. Dikira ada masalah sampai saya diserbu polisi. Saya kasih tahu, iya, masalah perut,” tuturnya sambil tertawa.
Akhirnya, ia digusur karena lahan yang akan dipakai untuk rumah sakit. Tawaran untuk memanfaatkan bangunan yang ditinggali sampai saat ini lalu menghampiri Aisa. ”Enggak langsung ditempati. Saya ngontrak dulu di pinggir kali sampai pernah kebanjiran,” katanya seraya tersenyum.
Ratusan bebek
Aisa bersyukur mampu membeli rumah untuk berjualan bebek, disusul perluasan ke ruko di sebelahnya yang semula berfungsi sebagai wartel. ”Saya lupa kapan, tapi beli yang pertama kira-kira tahun 2015. Terus ditambah lagi daya tampungnya, dua tahun kemudian,” ucapnya.
Aisa dibantu anak pertama dan kedua yang bergantian menjaga rumah makannya dengan jam buka mulai pukul 06.00. Mereka bersiap menutup Ma’Isa sekitar pukul 21.00. Harga setiap porsi bebek Rp 22.000, peyek Rp 8.000, dan bakwan Rp 2.000.
Aisa bisa menghabiskan hingga 400 bebek per hari. Ma’Isa juga menyediakan ayam seharga Rp 17.000 per potong. Lauk lain, seperti daging sapi bacem, tahu, dan sate ampela. Air mineral, es teh manis, dan es jeruk bisa dipilih untuk memuaskan dahaga.
Baca juga: Harmoni Sate dan Keroncong
Kini, beberapa rumah makan mengenakan nama serupa, tetapi ia tak ambil pusing. Ma’Isa tak punya cabang, tetapi Aisa mengaku lokasi-lokasi itu dikelola saudaranya. ”Saya kurang tahu. Selera masing-masing, tetapi resep dan cita rasanya berbeda,” ujarnya.
Pengemudi yang mengunjungi Ma’Isa meninggalkan mobil dan sepeda motornya di pinggir jalan. Aisa tak mengetahui jumlah kendaraan yang bisa menepi di Jalan Bekasi Timur tersebut dan menyerahkannya kepada juru parkir. Ia juga tak keberatan dengan pengamen yang mengais rezeki di depan rumah makannya.
Fitra Ramadhan (25) menilai Ma’Isa salah satu bebek paling enak di Jakarta. Ia mengetahui tujuan kuliner itu dari temannya pada 2018. ”Dibungkus dan dibawa ke kantor saya. Enak, makanya jadi rekomendasi,” kata warga Pancoran, Jakarta, tersebut.
Fitra menggandrungi bebek itu karena pedas berpadu gurihnya yang sangat enak. Pegawai Mabes Polri tersebut juga menyukai bumbu hitam yang menjadi keunggulan Ma’Isa. ”Agak kering dagingnya. Kalau bebeknya lebih besar dan empuk, mantap, tapi sudah lumayan pas, kok,” tuturnya.
Donald (53) diberi tahu koleganya tentang Ma’Isa, tujuh tahun lalu. Karyawan perusahaan peti kemas itu berkantor di Tanjung Priok, Jakarta. ”Kalau diajak teman, saya mampir. Rasanya enak. Istimewa karena bumbu hitam yang bikin sedap bebeknya,” ujarnya.
Warga Medan Satria, Bekasi, Jawa Barat, tersebut selalu memesan bebek. Ia juga menggemari bakwan, tetapi terkadang tak kebagian. ”Sekarang saja kehabisan. Jadi, cobain rempeyek. Bebeknya empuk. Rata-rata, saya ke Ma’Isa sebulan sekali,” tuturnya.