Bagaimana Seluk-beluk ”Homeschooling”?
Mengapa sejumlah keluarga memilih metode ”homeschooling”? Apa kelebihan dan kekurangannya?
Apa yang bisa dipelajari dari artikel ini?
- Apa itu homeschooling?
- Mengapa sejumlah keluarga memilih metode homeschooling?
- Apa kelebihan dan kekurangannya?
- Benarkah anak-anak yang mengikuti homeschooling kurang bersosialisasi?
- Benarkah biaya homeschooling lebih mahal dari sekolah formal?
- Apakah anak homeschooling bisa menembus perguruan tinggi ternama?
- Bagaimana legalitas homeschooling di Indonesia?
- Apa saja kunci sukses keluarga yang memilih homeschooling?
Homeschooling atau belajar mandiri di rumah awalnya muncul di Amerika tahun 1960-an. Metode ini lahir dari keprihatinan seorang guru bernama John Caldwell Holt terkait pendidikan. Dia mulai mengembangkan sistem pembelajaran dengan memberi kebebasan pada anak untuk mengikuti kepentingan mereka sendiri dengan berbagai macam sarana dan sumber pembelajaran.
Di Indonesia, homeschooling muncul tahun 1996-an dan semakin berkembang pada 2005. Pada saat pandemi Covid-19, semakin banyak keluarga yang memilih homeschooling untuk pendidikan anak-anaknya sebagai respons atas berbagai pembatasan fisik.
Kini, informasi tentang homeschooling semakin mudah diperoleh. Komunitas homeschooling juga bertumbuhan. Meski begitu, masih ada banyak pertanyaan soal homeschooling. Apa saja yang perlu kita ketahui soal homeschooling?
Apa itu ”homeschooling”?
Pada intinya, homeschooling adalah proses belajar yang dilakukan secara mandiri di rumah dengan orangtua sebagai pendidik utamanya. Setidaknya ada tiga macam model homeschooling yang berkembang, yakni homeschooling tunggal atau homeschooling yang dilakukan oleh satu keluarga; homeschooling majemuk atau homeschooling yang digelar oleh beberapa keluarga; dan homeschooling yang digelar dalam komunitas, baik yang diajar oleh orangtua sendiri maupun dengan memanggil guru.
Metode homeschooling bukan berarti memindahkan sekolah ke rumah. Cara berpikir seperti itu harus dibongkar. Itulah yang dilakukan pasangan Renata Permadi dan Heru saat memilih program homeschooling untuk anaknya, Ilman Mufid, sejak sang anak lulus SD hingga duduk di kelas 9.
Awalnya, Renata sempat mengalami kesalahan dengan mendorong Ilman belajar semua mata pelajaran seperti di sekolah. Belakangan ia menyadari kesalahan itu dan segera mengubah cara berpikirnya. Selanjutnya, ia membuat kesepakatan dengan anaknya sebagai subyek pembelajar yang menjalankan proses belajar terkait dengan apa yang ingin dipelajari dan bagaimana metode dan aturan mainnya.
”Jadi memang problem terbesar adalah mengubah mindset tentang apa itu homeschooling. Bukan memindahkan sekolah ke rumah. Jadi di tahap awal memang terjadi yang namanya tahap deschooling terlebih dulu. Mengubah mindset,” ujar Renata, Rabu (24/7/2024) pagi.
Baca juga: ”Homeschooling”, Bebas Belajar Tanpa Sekat Dinding Sekolah
Mengapa sejumlah keluarga memilih metode”homeschooling”?
Ada banyak alasan di balik keputusan sejumlah keluarga memilih metode homeschooling, mulai yang sifatnya ideologis, psikologis, hingga praktis.
Aar Sumardiono, pendiri Rumah Inspirasi (wadah bagi para keluarga homeschooling), memilih metode homeschooling bagi anaknya karena persoalan otonomi dalam mendidik anak. Ketika anak mengikuti pendidikan di sekolah, peran orangtua cenderung hanya menjadi pelaksana. Dengan metode homeschooling, otonomi ada di keluarga. Sekolah memiliki isu manajemen kelas sehingga saklek pada target apa pun, termasuk waktu belajar. Dalam homeschooling, tidak ada jam belajar saklek dan target belajar lebih longgar.
Putri Anisa dan suaminya, Andi Muhyiddin, memilih homeschooling karena anaknya mulai tidak nyaman menjalani sekolah formal, baik dari segi pembelajaran maupun lingkungan. Hal yang sama diungkapkan Bonita dan Petrus Briyanto alias Adoi.
Setelah menjalani homeschooling, ternyata anak-anak mereka nyaman dan bebas mengembangkan bakat dan mengeksplorasi pengetahuan kapan saja, di mana saja, dengan siapa saja. Mereka tidak perlu terburu-buru ke sekolah dan mengikuti jadwal padat serta tidak perlu berhadapan dengan kemacetan lalu lintas menuju sekolah.
Ada juga orangtua yang memilih homeschooling karena tidak ingin anak-anak mereka terbebani oleh tugas-tugas sekolah yang ditargetkan kurikulum.
Alasan lainnya, sejumlah orangtua khawatir dengan pengaruh negatif pergaulan di sekolah yang kadang timbul, seperti tawuran, narkoba, konsumerisme, perundungan, kebiasaan mencontek, dan sebagainya.
Baca juga: Jalan Ninja agar Anak Tetap Sekolah
Apa saja kelebihan ”homeschooling”?
Homeschooling menekankan interaksi intens orangtua dalam mendidik anak. Dari situ terbentuk hubungan yang kuat antara orangtua dan anak yang menjalani homeschooling. Kesempatan untuk berbicara mengenai banyak hal, bertukar pendapat melimpah. Selain itu, kebebasan memilih aktivitas membuka keran kesetaraan antara orangtua dan anak.
”Awal-awal homeschool, duduk bareng ngobrol aja isinya. Dari yang searah cuma aku terus yang ngomong dan berakhir air mata dari anak-anak. Lalu, mereka mulai berani berpendapat dan menimpali. Sampai akhirnya sekarang aku bisa jadi close friend,”ungkap Putri Anisa.
Bonita juga merasakan hal yang sama. Homeschooling membuat Bonita makin dekat dengan anaknya, Pramusetya Kanca (16). Mereka bisa membicarakan apa saja dan mengemukakan pendapatnya. Bonita bahkan mendorong Pram untuk menegur dirinya atau ayahnya, Adoi, jika mereka berbuat kesalahan. Namun, hal itu tetap mesti dilakukan dengan menghargai satu sama lain.
Pembelajaran di rumah secara mandiri juga bersifat fleksibel. Anak bisa belajar di mana saja, kapan saja, dengan metode apa saja.
Apa saja kekurangan ”homeschooling”?
Metode homeschooling tidak memiliki standar baku karena mengikuti pola kerja dan nilai tiap keluarga. Dengan demikian, cara yang digunakan di sebuah keluarga tidak bisa dicontoh begitu saja oleh keluarga lain.
Aar Sumardiono dan istrinya, Mira Julia alias Lala, mengakui, berdasarkan pengalamannya, penerapan homeschooling penuh uji coba. Misalnya, seorang anak saat SD bisa mengikuti homeschooling dengan cara A, tapi ketika SMP cara tadi bisa jadi tidak efektif lagi. Di situ, orangtua harus mulai menggali dan membahas kesepakatan lagi dengan sang anak agar bisa menemukan cara baru yang efektif.
Tidak tertutup kemungkinan, keluarga yang memilij homeschooling akhirnya memutuskan untuk memasukkan anaknya lagi ke sekolah formal lagi. Hal ini antara lain dilakukan oleh Asrie Nadya (39), orangtua dari komunitas CharmEd. Anak sulungnya yang semula sekolah formal dan sempat beralih homeschooling ketika usia SMP, saat SMA bersekolah formal lagi karena kebutuhan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.
Benarkah anak yang menempuh ”homeschooling” kurang bersosialisasi?
Sejumlah orang menganggap, anak-anak yang mengikuti homeschooling kurang bersosialisasi gara-gara lebih banyak belajar di rumah. Bagaimana sebenarnya?
Asrie Nadya (39), orangtua dari komunitas CharmEd, mengatakan, pertanyaan seperti itu paling sering diajukan. Padahal, sebenarnya tidak ada masalah dalam sosialisasi anak-anak homeschooling. Sebab, orangtua yang memilih jalur homeschooling telah mempersiapkan diri dengan pola pikir bahwa belajar tidak melulu berkaitan dengan akademik.
Orangtua juga merancang beragam aktivitas dengan sesama peserta homeschooling lain seperti kemah, pramuka, masak bersama, berkesenian.
Bagi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan homeschooling, perjumpaan dan aneka kegiatan menjadi medium belajar juga. Di balik agenda main dan berinteraksi, mereka sekaligus belajar soft skill dan kemampuan lain yang menunjang masa depannya, seperti kepemimpinan, komunikatif, bekerja sama, dan berbagai kompetensi lain.
Benarkah biaya ”homeschooling”mahal?
Biaya homeschooling bersifat fleksibel karena semua hal bisa dijadikan medium untuk belajar mulai jalan-jalan atau pergi ke pasar. Buku bisa beli digital atau buku bekas, aplikasi berbayar bisa ditanggung bersama orangtua lainnya. ”Namun, yang terpenting, bukan berarti dengan kondisi begini kemudian anggaran pendidikan yang sudah disiapkan jadi didiskon,” ujar Lala.
Ia memberi contoh, misal orangtua sudah menyiapkan biaya pendidikan untuk anak di sekolah internasional. Bukan berarti ketika memutuskan untuk homeschooling, kemudian sisa biaya yang ada malah dialihkan untuk hal di luar pendidikan anak.
Ifa, warga Kebun Jeruk, Jakarta, yang memilih program homeschooling untuk anaknya yang duduk di kelas 3 SD, mengaku mengeluarkan biaya sekitar Rp 20 juta setahun. ”Pengeluaranku agak tinggi karena homeschooling anakku menginduk ke lembaga. Jadi mesti bayar ke sana. Di luar itu paling keluar uang sekitar Rp 1 juta untuk bayar les sesuai minat anak, beli materi pembelajaran, dan patungan langganan aplikasi pembelajaran,” katanya, Minggu (28/7/2024).
Ahmad, warga Tangerang Selatan, Banten, mengeluarkan uang sekitar Rp 1,5 juta per bulan untuk biaya les matematika, bahasa Perancis, dan basket untuk dua anaknya yang menjalani homeschooling. ”Yang terbesar itu di awal pengeluaran untuk buku. Selebihnya bacaan non-wajib sekitar Rp 500.000 per bulan,” tambahnya.
Baca juga: Plus Minus ”Homeschooling”
Apakah siswa ”homeschooling” bisa masuk perguruan tinggi?
Anak-anak dari homeschooling punya kesempatan untuk masuk perguruan Tinggi negeri melalui jalur mandiri dan jalur tertulis. Dua anak Aar dan Lala yang menjalani homeschooling kini kuliah di Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada sembari menjalankan wirausaha sesuai dengan minat dan bakatnya.
Bagaimana legalitas ”homeschooling” di Indonesia?
Negara melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakui praktik sekolah rumah atau homeschooling. UU itu menyatakan, setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
UU ini mengakui pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal diselenggarakan institusi sekolah. Pendidikan nonformal dilaksanakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, ataupun pelengkap pendidikan formal.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolah Rumah mengamanatkan peserta homeschooling masuk ke pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) agar mendapat pengakuan.
Baca juga: ”Homeschooling” Diakui Undang-undang, Diragukan di Lapangan
Apa saja yang perlu diperhatikan sebelum keluarga memilih ”homeschooling”?
Bagi orangtua yang mau menerapkan homeschooling, jadilah ”orangtua” terlebih dulu. Gali pemahaman pengasuhan, pegang prinsip-prinsip berkeluarga, baru masuk ke urusan keilmuan. Sebab, pembelajaran homeschooling mesti disesuaikan dengan tujuan pendidikan dan nilai-nilai yang dianut keluarga.
Inti homeschooling terletak pada keterlibatan orangtua secara total dalam proses pembelajaran anak. Orangtua harus mau ikut belajar, menjadi fasilitator, dan mengarahkan tanpa mendikte anak. Setelah hal itu dipahami, orangtua boleh memilih teknis dan metode belajar yang sesuai dengan karakter dan minat anak.
Soal apa yang akan dan harus dipelajari anak di rumah, semua harus didasari kesepakatan antara orangtua sebagai pihak yang mengawasi, dengan anak sebagai subyek pembelajar yang menjalankan proses belajar.
Orangtua harus menanamkan pentingnya menjalani segala sesuatu secara disiplin pada sang anak. Kedisiplinan itu tampak antara lain dari manajemen waktu untuk berkegiatan sehari-hari.
Aar dan Lala mengingatkan orangtua agar tidak asal ikut-ikutan menerapkan homeschooling untuk anak karena metode ini membutuhkan komitmen dan kesepahaman keluarga soal visi-misi dan tujuan pendidikan.
Karakteristik anak juga perlu dipertimbangkan mengingat homeschooling selain mengutamakan fleksibilitas juga mesti berpihak pada kepentingan anak.