Wawancara Nakhoda Baru Suzuki Indonesia, soal Mobil Listrik Murah dan Penjualan yang Stagnan
Wawancara khusus Presiden Direktur PT Suzuki Indomobil Motor yang baru, yakni Minoru Amano.
Mulai Januari tahun 2024, PT Suzuki Indomobil Motor memiliki presiden direktur baru, yakni Minoru Amano. Pria asal Jepang ini telah 40 tahun bekerja di Suzuki, antara lain pernah bertugas di Jerman dan Thailand. Bekal pengalaman panjang itulah yang akan dibawanya untuk menghadapi sejumlah tantangan di Indonesia, antara lain pasar penjualan mobil yang stagnan dan masa peralihan menuju mobil ramah lingkungan.
Simak wawancara terbatas Kompas dan beberapa media lainnya dengan Presiden Direktur PT Suzuki Indomobil Motor Minoru Amano di sela-sela pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Kamis (18/7/2024).
Anda diketahui punya pengalaman panjang di Suzuki selama 40 tahun. Sebelumnya di Indonesia, Anda juga ditugaskan di Thailand. Anda juga pernah ditugaskan di Jerman. Apa yang akan Anda bawa ke Indonesia? Bagaimana strategi yang akan Anda terapkan di Indonesia?
Jadi sebagai presiden direktur saya tidak mau hanya memberi instruksi. Yang paling paham soal pasar tentu staf Indonesia sendiri. Saat bekerja di Jerman, saya belajar karakter orang di sana banyak rata-rata keras kepala dan bicara blak-blakan. Tapi dari mereka saya belajar banyak hal juga. Lalu di Thailand.
Sejarah perusahaan Jepang di Indonesia dan Thailand itu panjang. Saya kira ada masanya gaya manajemen Jepang dianggap baik tapi rasanya tidak selalu begitu. Maka, saya ingin komunikasi dengan staf saya supaya ada banyak ide memajukan perusahaan.
Sejak menjabat dari Januari sampai saat ini, apa pendapat Anda tentang pasar otomotif Indonesia? Bagaimana karakter konsumen Indonesia? Bagaimana rencana ke depan Suzuki Indonesia?
Saya memandang saat ini masa perubahan. Kita ambil contoh di Thailand, pasar terbesar mereka adalah kendaraan pikap yang bermuatan 1 ton seperti Toyota Hilux dan Isuzu D-Max. Pangsa pasarnya bisa sekitar 50 persen di sana. Jadi mereka butuh kendaraan pikap kabin dobel yang bisa angkut penumpang sekaligus barang. Lalu di sana juga mulai bergerak ke kendaraan yang konsumsi bensinnya lebih efisien. Jadi, arah kebijakan kami adalah untuk menyediakan kendaraan yang sesuai kebutuhan konsumen itu.
Di Indonesia, saya sendiri masih enam bulan, tapi saya lihat ada kemiripan. Produksi mobil Suzuki di Indonesia sendiri juga sudah sejak 1976 sehingga kami sudah lama hadir di masyarakat Indonesia. Suzuki di Indonesia banyak dikenal dengan varian Carry yang sudah banyak membantu kegiatan pertanian dan perikanan.
Pasar Indonesia yang besar adalah mobil dengan tiga baris (tempat duduk) atau mobil keluarga. Untuk menjawab kebutuhan itu, Suzuki sendiri memiliki varian APV, Ertiga, dan XL 7. Jadi tidak hanya di Thailand, di Indonesia pun kami akan mengeluarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saat ini pasar juga sedang berubah dengan masuknya kendaraan listrik. Situasi pasar kini kian beragam. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Thailand.
Artinya apakah Suzuki akan mulai bergerak untuk kembangkan mobil listrik?
Yang mau saya sampaikan adalah perubahan pasar ini sebenarnya tak hanya hanya di Indonesia, tetapi juga Thailand. Kami estimasikan pertumbuhan pasar otomotif (di Indonesia) akan tumbuh seiring pertumbuhan ekonomi. Namun, rupanya penjualan stagnan.
Ada istilah one million trap sehingga penjualan terperangkap atau stagnan hanya di kisaran 1 juta unit. Jadi tidak hanya Suzuki, tapi juga pemegang merek lain juga alami hal yang sama. Jadi, pertanyaan bagi kami, kenapa ya? Suzuki sendiri sudah bangun pabrik di Cikarang, Jawa Barat, pada 2014.
Di Thailand juga sudah ada banyak investasi dan peluncuran berbagai produk, tetapi volume penjualannya juga tidak terlalu besar. Jadi memang modelnya ada banyak. Arahnya sudah benar. Namun, volume penjualannya tidak besar. Inilah tantangan pasar otomotif ya.
Baca juga: Siap Bertualang Bersama Suzuki Jimny 5 Pintu
Suzuki terkenal dengan mobil harga terjangkau dan mulai mau terjun di mobil listrik. Apakah ada segmen baru? Atau bagaimana ke depan?
Jadi memang untuk model tetap akan kami jual dengan harga terjangkau karena kami tidak bisa jual dengan harga tinggi. Suzuki punya prinsip, menjual mobil dengan nilai tambah yang tinggi. Tapi tidak mungkin kami lompat tiba-tiba menyasar ke segmen seperti Lexus. Setiap merek sudah punya basis fondasi kepercayaannya masing-masing.
Dengan kata lain, apakah Suzuki ingin menjual mobil listrik dengan harga terjangkau?
Mungkin pertanyaan yang terlalu melompat interpretasinya. Jadi bagi konsumen yang beli produk Suzuki sekarang, mobil listrik itu bukan solusi yang cocok buat mereka. Sebetulnya yang terpenting untuk industri otomotif dan masyarakat bukan mobil listriknya, melainkan mobil menuju nol emisi. Jadi memang tujuannya ciptakan nol emisi. Nah, apakah mobil listrik itu jadi solusi terakhir? Kita belum tahu.
Ada banyak jalan menuju zero emission, kita harus pertimbangkan bagaimana jalannya. Ini yang kami sebut di Suzuki sebagai multipathways. Jadi kayak baterai litium harganya cukup tinggi. Bisa saja jalannya bukan di mobil listrik, tapi fuel cell. Bisa juga solusinya bahan bakar alternatif seperti biofuel dan lain sebagainya. Jadi jalan mana yang dipilih bisa berbeda tergantung dari wilayahnya.
Ambil contoh di Norwegia di mana pembangkit listrik itu 100 persen sudah tenaga air. Jadi sumber energi listriknya memang terbarukan. Kalo misalkan mereka jadi beralih ke mobil listrik, ya otomatis zero emission. Tapi di Indonesia, Jepang, Thailand, ini kan pembangkit listrik masih bergantung dengan uap dari batubara.
Kalau di Indonesia sendiri, kendaraan berbahan bakar minyak atau hybrid kita masih dalam proses transisi yang panjang sekali. Jadi, Suzuki sendiri memberikan value apa yang bisa kita tawarkan ke konsumen. Dengan mobil bensin sekalipun kita juga selalu pertimbangkan bagaimana menciptakan konsumsi bensin lebih irit. Begitu juga dengan mobil hybrid supaya mengurangi emisi.
Salah satu produk Suzuki yang paling laku itu Carry. Apakah ke depan ada Carry improvement kayak Carry hybrid?
Jadi, saat ini kami belum tahu ya, apakah hybrid Carry itu sesuatu yang dicari konsumen. Kami harus dengarkan suara konsumen itu seperti apa. Kami paham Suzuki Carry ini bisa jadi andalan konsumen untuk angkut barang dalam muatan besar. Dalam hal itu, Carry itu jadi model yang sangat penting. Walaupun kami baca banyak laporan studi, kita belum tahu banyak juga.
Bulan lalu, saya mengunjungi Manado dan Palembang berkunjung ke dealer dan mengobrol langsung dengan konsumen pengguna Carry. Apa yang kurang, bagaimana pendapat mereka. Kami tetap harus dengarkan suara konsumen lalu berinovasi bagaimana Carry ini bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Anda mengatakan tujuan utamanya adalah mengurangi emisi sehingga jangan terlalu terpaku hanya pada mobil listrik saja tapi beragam jenis lainnya. Rasanya ini juga banyak dilakukan pabrikan Jepang lainnya. Apakah ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah Jepang yang ingin mendorong hidrogen? Apakah memang seperti itu kebijakannya?
Jadi disampaikan bahwa Jepang fokus selain mobil listrik itu tidak sepenuhnya benar. Hidrogen juga ada dua tipe yang juga mobil listrik. Ada jenis hidrogen itu untuk gerakan motor listrik dan juga sebagai bahan bakarnya. Kendaraan hidrogen juga perlu sisi infrastruktur bagaimana pengembangannya. Charging station juga harus dipikirkan. Tangki mobilnya juga. Kendaraan jenis itu juga masih belum banyak.
Penjualan mobil Indonesia stagnan hanya di kisaran 1 juta unit. Salah satu penyebabnya adalah daya beli masyarakat tumbuh tidak secepat kenaikan harga mobil. Bagaimana tanggapannya?
Tadi di awal memang sudah disampaikan ada jebakan 1 juta unit. Kami sudah keluarkan banyak model tapi penjualannya masih sekitar 1 juta unit. Saya juga berpikir bahwa daya beli masyarakat ini tidak tumbuh cepat jadi salah satu faktor. Jadi memang kondisi industri otomotifnya sulit. Kami tidak mau menaikkan harga, bahkan kalau bisa menurunkan harga. Di dealerpun sudah berikan diskon cukup banyak. Di sisi industri sendiri cukup sulit.
Kami sendiri juga berusaha supaya harga mobil tidak naik. Tapi kan juga banyak kompetisi. Yang lebih penting itu bagaimana daya beli masyarakat ditingkatkan. Kami sudah dengar ada rencana pemberian insentif pemerintah untuk mendorong penjualan. Kami berpikir alangkah baiknya ada kebijakan yang bisa tidak menaikkan penjualan secara sementara tapi bisa secara berkelanjutan.
Kalau pemerintah bisa kasih insentif supaya penjualan naik, ya kami berterima kasih. Supaya bisa berkelanjutan dan tidak sementara naik ya insentifnya diberikan yang punya lokal konten tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang tinggi. Jadi industri otomotif itu tidak hanya ATPM, tapi juga supplier komponen. Itu mereka punya tenaga kerja dan juga keluarganya. Suzuki sendiri memang ada yang impor kayak Grand Vitara dari India. Kalau insentif diberikan model impor itu ya kembangkan ekonomi India. Tapi kalau insentif untuk produksi kendaraan seperti APV, Carry, Ertiga, XL 7, itu manfaatnya akan berkelanjutan untuk Indonesia.
Baca juga: Keluar dari Jebakan Satu Juta Unit Penjualan Mobil