Merayakan Kebinekaan Menu Zamrud Khatulistiwa
Setiap menu yang disajikan merupakan penghormatan pada daerah yang dijelajahi.
Aneka hidangan terbaru disodorkan oleh Kaum. Tak sekadar lezat, tetapi juga mengetengahkan bunga rampai khazanah kuliner Nusantara. Orisinalitas sajian berbaur dengan nuansa nostalgia, terutama untuk mereka yang berasal dari daerah yang kekayaan gastronominya diangkat restoran tersebut.
Jumat (5/7/2024), para pengunjung terlihat berbincang di ruang yang nyaman dengan interior retro. Bangunan tersebut didirikan pada masa kolonalisme Belanda dan digunakan Kaum sejak tahun 2017.
Restoran yang terletak di Jalan Dr Kusuma Atmaja, Jakarta, itu banyak memajang buku-buku eksiklopedia kuno. Banyak juga perabot-perabot lawas seperti guci khas China, patung porselen gajah, cawan, dan poci teh dari kaleng. Malam itu, lagu-lagu lawas, seperti ”Walau dalam Mimpi” yang dipopulerkan Ermy Kullit, ”Separuh Nafas” dari Dewa 19, dan ”Cantik” rilisan Kahitna, sayup-sayup mengalun di sela perbincangan.
Baca juga: Kuliner Viral Penambah Denyut Pasar
Pukul 20.00, pramusaji lantas beranjak untuk mengulurkan tahu tek-tek. Tampilan tahu yang tergenang saus kecoklatan demikian pekat itu saja sudah menebitkan air liur. Saat dicecap, cita rasa Jawa Timur yang sangat kental spontan menyergap, tentu karena petisnya. Sebuah pembukaan yang ”ciamik”.
”Tahu tek-tek berasal dari Surabaya. Dinamakan begitu karena pedagang memukul wajan sambil berkeliling,” ujar Kepala Juru Masak Kaum Jakarta Rachmad Hidayat. Ia sesekali memang menghampiri tamu-tamunya untuk menambah wawasan mereka.
Lumpia tahu udang yang diisi kentang, bawang putih, wortel, dan cabai merah menyusul juga. Kulit nan renyah bertambah sedap diguyur saus asam manis dengan kenikmatan klasik. Selanjutnya, datanglah masakan asal Gorontalo, gohu putungo, beralaskan daun pisang di wadah anyaman bambu.
”Kalau gohu artinya rujak. Ditambah putungo atau jantung pisang, pelengkapnya seperti daun pepaya, jagung, dan parutan kelapa. Supaya khas, pakai tuna asap,” tuturnya. Rachmad pun menyiasati pahitnya daun pepaya. Setelah dipotong lalu direbus dengan batangnya, ia membubuhi daun pisang dengan garam dan minyak kelapa.
Prolog tuntas, ia mempersembahkan deretan sajian utama. Kalio tumbuak, oseng buncis daging cincang, terong lado mudo, dan ayam biromaru seakan mengalir tanpa henti. ”Mana dulu, nih, yang dimakan,” kata seorang undangan perempuan sambil memegang dahi dengan raut wajah bingung sekaligus tertawa.
Sungguh menakjubkan memandangi sekelumit perbendaharaan tata boga dalam negeri yang sudah demikian beragam. Lidah pun terus diajak mengecap gurihnya panggangan dari Sigi, Sulawesi Tengah, berupa ayam biromaru, atau racikan rempah ala Sumatera Barat yang diantar lewat kalio tumbuak.
Kalaugohu artinya rujak. Ditambahputungoatau jantung pisang, pelengkapnya seperti daun pepaya, jagung, dan parutan kelapa. Supaya khas, pakai tuna asap.
Seleksi menu
Kalio tumbuak dengan lima bola daging berlumurkan santan likat yang menor dan diimbuhi potongan cabai kian cantik disisipi tiga keping opak. Tak kalah menggugah selera, terong lado mudo sungguh menggiurkan dengan ikan asin jambal roti, tomat, dan cabai hijau.
Sayuran semakin variatif dengan oseng buncis daging cincang yang ditebari bawang goreng. Bawang putih dan bombai terlihat berselang-seling dengan cabai. ”Saya seleksi menu dari Sabang sampai Merauke selama hampir tiga tahun dengan mendatangi sumber-sumbernya langsung,” ujar Rachmad.
Ditengahi penuturan yang bernas, bersantap jadi tak menjemukan. Lebih-lebih, rentetan hidangan yang baru sontak membuat pengunjung terbelalak lantaran saking banyaknya. Pecak gurami, kambing bakar belanga, mi banjur, lempah kuning, dan nasi goreng kemuning ayam suwir kemudian membuntuti undangan.
Beberapa porsi tergolong berukuran jumbo. Kambing bakar belanga paling menggoda menilik daging yang tampak empuk dengan bilahan tulang menyembul. Tebakan tersebut terasa jitu sewaktu potongan paha bawah nyaris lumat tatkala dikunyah, berpadu sempurna dengan marinasi garam, minyak kelapa, dan lada.
Tercecap betul daging lunak yang dimasak begitu lama hingga perengusnya tak berbekas. Sesekali, sekilas kejutan ketumbar, santan, dan jintan mendekap lidah. ”Dibumbui sehari semalam, baru dimasak selama tiga jam. Makanya, enggak alot, tetapi masaknya paling susah,” ujar Rachmad sambil tersenyum.
Saya seleksi menu dari Sabang sampai Merauke selama hampir tiga tahun dengan mendatangi sumber-sumbernya langsung.
Masakan dari Gorontalo itu didampingi sajian serumpunnya, sambal dabu-dabu dan roa. Ia tak melupakan komplementer pedas lain seperti sambal bajak, tuktuk, lado mudo, dan jambal roti. Serba-serbi hidangan Tanah Air tak ayal menerbitkan impresi petualangan rasa yang berlangsung selama lebih kurang 2,5 jam.
Sensasi asam manis lempah kuning bertabur kakap putih asal Pulau Bangka atau pecak gurami pedas yang kaya akan kunyit dari Jawa Barat, semua sama enaknya. Demikian pula nasi goreng kemuning ayam suwir yang diramu Rachmad bersandarkan pada kenangannya semasa bermukim di Kaliurang, Yogyakarta.
Inden petis
”Kadang, ada nasi kuning sisa hajatan. Saya tinggal di asrama, dibikin nasi goreng saja. Ada juga mi banjur yang digodok terus ditambah sayuran, ayam, dan jahe,” ujar Rachmad. Demi keotentikan, ia pun bersikeras untuk mendapatkan petis dari Pulau Mengare, Gresik, Jawa Timur.
”Salah satu petis dengan kualitas terbaik yang dikerjakan ibu-ibu nelayan. Kalau tangkapan enggak terjual, tetapi masih segar, jadinya dibikin petis,” katanya. Ia saja harus inden saat membeli petis. Para nelayan memang tak berani lama-lama menyetok petis, tetapi membuatnya bila pesanan sudah pasti.
”Di Madura, ada petis hitam dan merah. Kalau petis Mangare, cenderung hitam. Gurih, manis, dan asinnya dapat. Petis merah biasanya buat cocolan rujak buah,” katanya. Visi kuliner Rachmad juga tak lepas dari masa kecilnya di Surabaya, Jatim.
Parade santapan ditutup dengan manis berwadahkan sepasang kudapan. Wingko babat wijen ditemani es krim vanila dan saus kopi jahe. Di piring yang sama, tertata mangkuk kecil berisi puding putren dengan aroma jagung yang kuat berpadu saus karamel, serai, dan biji selasih.
Kaum yang dikelola Potato Head Family beroperasi pada pukul 11.00-22.00. Setiap akhir pekan, restoran berkapasitas sekitar 90 pengunjung tersebut buka hingga pukul 01.00. Setiap Jumat, tamu disuguhi penampilan grup musik. Sementara, Sabtu merupakan ajang untuk pengunjung berkaraoke.
Baca juga: Kuliner Nusantara Berdialog dengan Zaman
”Kaum mengeksplorasi permata tersembunyi Indonesia,” ujar Marketing Executive of Potato Head Family Jakarta Arya Yumna Quarthamitha. Harga seporsi kambing bakar belanga, misalnya, Rp 435.000, nasi goreng kemuning ayam suwir Rp 150.000, tahu tek-tek Rp 90.000, dan wingko babat wijen Rp 55.000.
Rachmad menuangkan kecintaan terhadap makanan-makanan rakyat untuk mengemukakan kreasinya sekaligus merayakan kebinekaan masakan Zamrud Khatulistiwa. ”Setiap makanan merupakan tribute (penghormatan) atas daerah-daerah yang dijelajahi,” kata Yumna.