Ramah kepada Alam, Ramah di Pendengaran
Lokasi yang ada di tujuan wisata memberi peluang pengunjung berjalan-jalan dan menyelami praktik hidup berkelanjutan.
Rainforest World Music Festival 2024 yang digelar di Kuching, Sarawak, Malaysia, bukan hanya rangkaian konser. Lokasi pergelaran yang berada di tujuan wisata membuka pintu untuk pengunjung berjalan-jalan sambil menyelami praktik hidup berkelanjutan alias ramah lingkungan.
Selepas memasuki gapura bertuliskan Rainforest World Music Festival 2024, setiap pengunjung diperiksa gelang yang menjadi tiket masuknya. Ada ketentuan yang tak lazim sebelum menikmati festival. Jika membawa tas, semua penonton harus membukanya.
Petugas satuan pengaman lantas memeriksa bawaan pengunjung. Di samping mereka terlihat meja dengan deretan botol-botol plastik. Ternyata, penonton memang dilarang membawa botol plastik sekali pakai. Tak tampak sama sekali tamu yang menggerutu atau mengomel.
Baca juga: Festival Jazz atau Bukan
Bahkan, seorang pengunjung langsung menyerahkan minuman kardus yang berisi susu. Sejumlah makanan ringan dengan kemasan plastik juga bertumpuk. Siapa pun bisa mengambil lagi minuman dan makanannya jika dikehendaki saat pulang. Itu baru sekelumit ikhtiar untuk menggelar festival yang berkelanjutan.
Di Tanah Air, upaya seperti itu juga sudah 10 tahun terakhir dilakukan oleh banyak festival musik seiring meningkatnya gerakan dan kesadaran terhadap pelestarian alam.
Sekitar 10 menit menjelang usainya Rainforest World Music Festival 2024, Minggu (30/6/2024), beberapa pekerja sudah berkeliling pelataran penonton untuk memungut sampah. Hanya tersisa beberapa kaleng minuman, kipas kertas, atau sisa makanan yang langsung dibersihkan.
Setiap anggota staf menggenggam stik dilengkapi pencapit didampingi rekannya yang menjinjing keranjang sampah. Begitu pertunjukan tuntas saat lewat tengah malam di sela gerimis, padang rumput itu sudah bersih. Penonton pun bisa menemukan tempat sampah dengan sangat mudah.
Sulit berjalan
Malam itu, Havana Social Club melantunkan musik ala Kuba dan Latin menutup Rainforest World Music Festival 2024. Sehari sebelumnya, penyanyi asal Malaysia, Zainal Abidin, menjadi penampil yang diandalkan. Musisi yang paling dinanti-nanti siapa lagi kalau bukan instrumentalis dunia berdarah Jepang, Kitaro, yang mendendangkan nomor-nomor hitnya, seperti ”Matsuri”, ”Caravansary”, dan ”Silk Road”, pada hari pertama.
Histeria penonton mengiringi kelihaian Kitaro meramu permainan gitar, perkusi, biola, dan kibor dengan instrumen-instrumen khas Jepang yang diiringi tarian tradisional butoh. Penonton berjubel hingga untuk sekadar berjalan saja sulit, tetapi mereka sama sekali tak terpantik kericuhan.
Baca juga: Festival Joyland dan Musik Sepoi-sepoi Pantai
Demikian tertibnya Rainforest World Music Festival 2024 yang berujung dengan kenyamanan penonton. Tak sekadar menikmati pertunjukan, menghadiri festival tersebut juga serasa berwisata saja. Maklum, rangkaian konser yang berlangsung sejak Jumat (28/6/2024) itu digelar di Kampung Budaya Sarawak.
Penonton, misalnya, bisa bertandang ke Rumah Panjang Iban. Pengunjung yang hendak memasuki bangunan khas Dayak tersebut harus meniti batang pohon berundak-undak yang cukup sempit dengan berpagarkan bilah-bilah kayu saja di kedua sisinya.
Lumayan repot buat yang tak terbiasa, tetapi pengalamannya persis seperti mendatangi kediaman sungguhan suku di Kalimantan itu. Di dalam, musisi lincah asal Taiwan, Nini, unjuk kebolehan lewat lokakarya atau workshop selama 45 menit.
Di sela kepiawaiannya mencabik instrumen-instrumen petik tradisional yang memukau, pengunjung bisa mengamati interior eksotis. Ditingkahi alunan sanxian, ruan, dan liuqin asal China yang dipadukan dengan efek elektrik, kipas angin berputar untuk sekadar mengusir gerah.
Sekat-sekat kayu dengan ukiran, beberapa helai kain penghias tiang, keranjang anyaman bambu, dan lampu minyak kuno menjadi daya tarik yang mengasyikkan untuk diamat-amati. Nini meracik folk klasik dengan rock hingga heavy metal yang dipungkasi dengan meriahnya tepuk tangan penonton.
Asyik beryoga
Serupa tetapi tak sama, Rumah Melanau pun bisa disinggahi. Di rumah panggung tersebut, beberapa penyair membaca puisi di terasnya yang tinggi. Setiap pejalan yang melintas spontan menoleh hingga berhenti untuk memantau aksi para seniman. Di bawah bangunan itu, pengunjung bisa membeli baju-baju dengan nuansa etnik yang kental.
Tak jauh dari Rumah Melanau, delapan wisatawan mancanegara yang dipandu instruktur asyik beryoga dengan alas matras. Siapa saja boleh ikut dengan membayar ala kadarnya untuk instruktur. Di seberang mereka, beberapa wisatawan rebahan di rerumputan dengan santainya.
Pengenalan alat musik asal Kalimantan, sape, juga sangat sayang untuk dilewatkan. Di tepi telaga, sejumlah pengunjung asyik coba memainkan sape selain menyimak tentang pembuatannya. Di sisi lain, mereka yang berminat juga dapat membuat keranjang dari anyaman rotan.
Sungguh banyak pilihan yang tersedia. Pengunjung pun bisa melihat pembuatan sumpit dan demonstrasi untuk meniupnya. Bazar kerajinan tangan sebagai cendera mata yang unik tak kalah menggoda untuk didatangi. Rainforest World Music Festival 2024 sudah dibuka setidaknya sejak pukul 14.00.
Ketimbang dibuang, ubah saja jadi pupuk. Kalau pakai mikroba, lebih singkat atau hanya 21 hari dibandingkan normalnya, tiga sampai empat bulan.
Sesuai temanya, ”Celebrates A Year of Evolution”, festival kali ini menekankan pentingnya praktik berkelanjutan. Tak heran, stan-stan konservasi juga bertebaran di antara panggung-panggung. Organisasi nonprofit Sarawak Skills, umpamanya, mengedukasi pengunjung untuk mengolah limbah rumah tangga.
Pegawai Sarawak Skills, Frank Zane Anak Awang, dengan ramah menjelaskan pembuatan kompos dari dedaunan, rumput, sisa makanan, hingga kertas. ”Ketimbang dibuang, ubah saja jadi pupuk. Kalau pakai mikroba, lebih singkat atau hanya 21 hari dibandingkan normalnya, tiga sampai empat bulan,” katanya.
Di hadapan Frank, dipajang penampang yang memudahkan pengunjung untuk memahami lapisan-lapisan, mulai dari sampah organik yang masih hijau sampai menjadi kompos. Di meja sebelah, akuarium dengan wadah selada yang segar menjadi perangkat untuk penerapan akuaponik.
Pegawai Sarawak Skills, Ritchie Spencer Anak Sampurai, dengan gesit melayani mereka yang bertanya. Ia memaparkan efisiensi air untuk budidaya sayuran tersebut. ”Air untuk menyuburkan selada hemat karena diputar dan disaring dengan biofilter. Kotoran ikan jadi semacam pupuknya,” tuturnya.
Baca juga: Coldplay Sumbang ”Neon Moon II” untuk Bersihkan Cisadane
Chief Executive Officer Dewan Pariwisata Sarawak Salleh Askor menguraikan larangan membawa botol plastik sekali pakai yang berlangsung sejak tahun 2019. ”Semuanya demi festival yang berkelanjutan. Mungkin langkah yang kecil, tetapi penting,” ujarnya.
Kebiasaan menggunakan botol yang rawan memicu limbah tentu sulit diubah jika tak didukung fasilitas pendukung. Sekitar 30 pos pengisian air pun disediakan selama festival tersebut berlangsung. Lokasi-lokasi itu diinformasikan hingga di media sosial. ”Kami selalu menekankan festival yang berkelanjutan. Makanya, sesudah semuanya selesai, tidak ada sampah sama sekali,” ujarnya.