Pesona Instrumen Nusantara di Pentas Dunia
Krakatau Ethno diminta untuk menghelat lokakarya tak lebih dari 30 menit. Nyatanya, animo pengunjung tak bisa dibendung.
Introduksi alat musik tradisional Nusantara dan pertunjukannya kerap memukau penikmat musik di mancanegara. Festival-festival dengan lokakaryanya yang mengetengahkan khazanah budaya Indonesia diserbu pengunjung. Fenomena itu mencuatkan tanya, bagaimana sambutannya di negeri sendiri?
Penonton berlomba-lomba mengacungkan tangan ketika Dwiki Dharmawan menawarkan untuk memainkan gamelan dan kendang. Pentolan grup musik Krakatau Ethno yang kerap mengangkat warisan kultur Indonesia itu matanya berbinar-binar dan tersenyum semringah.
Ia tengah mengisi lokakarya atau workshop pada hari kedua Rainforest World Music Festival di Kuching, Sarawak, Malaysia, Sabtu (29/6/2024). Di hadapan Dwiki, sekitar 300 orang berdesak-desakan di rumah panjang bernama Dewan Lagenda. Ia sungguh gembira mendapati begitu banyaknya pengunjung yang penasaran untuk mengeksplorasi pesona budaya Indonesia.
Pemain kibor tersebut dengan sangat terpaksa hanya memperbolehkan empat partisipan naik ke pentas. Mereka tergagap-gagap menjajal instrumen yang bukan budaya ibunya, tetapi tak kurang pula para musisi dadakan itu cengar-cengir. Lebih-lebih, peniup tarompet Yoyon Darsono mengiringi dengan nada-nada kocak yang bikin pengunjung tertawa.
Segera, ajang itu menjadi lantai dansa yang riuh. Penonton yang semula bersila tak tahan untuk bergoyang lantas merangsek menuju panggung. Tak terhitung banyaknya pengunjung yang mengabadikan momen tersebut dengan kamera ponsel. Dwiki memang berasal dari Bandung, Jawa Barat, dengan Krakatau Ethno yang berbasis karawitan, tetapi ia menghamparkan kemajemukannya.
Maka, mengalunlah ”Tareek Pukat”, tembang dinamis dari Aceh yang disuarakan Nyak Ina Raseuki alias Ubiet. Ade Rudiana yang memainkan kendang, Pra B Dharma pada slendro fretless bas, Tiana Sutiana menabuh bonang, dan drumer Budhy Haryono semakin menambah keindonesiaan iramanya.
Panitia sedianya sudah mewanti-wanti Krakatau Ethno untuk menghelat lokakaryatak lebih dari 30 menit. Dwiki saja hanya memaparkan teknik-teknik yang simpel, seperti pelog, slendro, ritme, skala nada, madenda, dan mataraman. Nyatanya, ia tak bisa membendung animo penonton yang meluap hingga pergelarannya berlangsung 45 menit.
”Sebenarnya, cuma buat bikin penasaran sebelum konser, tetapi kami enggak tega soalnya antusias penonton besar banget,” ujar Dwiki sambil terbahak. Itu baru pendahuluannya. Riilnya, tentu saja ketika Krakatau Ethno beraksi di Jungle Stage dengan gita-gita macam ”Genjring Party”, ”Barala Duit”, ”Egrank Funk”, ”Bunga Tembaga”, dan ”Rhythm of Reformation”.
Krakatau Ethno kebagian menghibur penonton pada hari terakhir Rainforest World Music Festival, Minggu (30/6/2024). Pengunjung berasak-asak di depan panggung yang senantiasa menyambut pekikan Dwiki. Audiens, misalnya, mengikuti alunan nada-nada kibor yang kian rancak dengan tepuk tangan gencar.
Tamu menyerbu
Demikian pula dengan lokakarya Rhythm Rebels bersama Selonding Bali Aga yang mengetengahkan kecak dan genjek di Gazebo. Sekitar 200 penonton berjubel dengan duduk, bahkan rela berdiri. Pemaparan sungguh gayeng seturut Pande Widiana yang menjelaskan soal selonding diiringi senda gurau.
”Ayo, kita barengi dengan berteriak cak-cak-cak,” ujar pemain alat musik pukul peneman dan petuduh itu dengan durasi yang sangat lama. Mereka yang meniru terlihat gelagapan lantaran baru sebentar saja sudah kehabisan napas lalu terpingkal-pingkal.
Pertanyaan penonton selanjutnya ternyata bertubi-tubi. Seusai penuturan sekitar 45 menit, tamu-tamu langsung menyerbu peneman, petuduh, nyongnyong alit, dan nyongnyong ageng untuk memainkannya atau sekadar berfoto. Pande sungguh tak menyangka.
”Terharu, ya. Bangga juga. Orang-orang luar, kok, tertarik sekali pengin tahu. Saya sangat senang dan jadi antusias juga,” tutur Pande. Magnet utamanya tak lain historisitas selonding yang sudah ditemukan paling tidak sejak abad ke-9.
Baca juga: Sastra dan kelembutan orang Madura
Gamelan tersebut sempat nyaris punah, tetapi bisa dibangkitkan lagi mulai dasawarsa 2000-an. Tak percuma ia datang jauh-jauh dari pegunungan di Desa Bebandem, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali, bersama I Gede Suparmadi, Pande Made Widnyana, dan I Gede Ardi Merdangga.
Rizal Hadi pun mendapati animo serupa. Personel Rizal Hadi & Folk itu juga seorang pembuat aneka instrumen dari bambu yang mengisi lokakarya di Gazebo. Rasendriya, bamboo upright bass, dan karinding tampak terhampar. Ia sungguh terkejut.
”Wah, saya enggak menyangka. Di festivalnya, workshop di mana-mana, tetapi pengunjung yang mendatangi lokasi saya sebanyak itu,” katanya. Keunikan instrumen Rizal jadi daya tarik utama. Di tangannya, ia menyulap gitar, awi goong, dan celempung menjadi rasendriya.
”Orang mungkin sudah kenal dengan didgeridoo, alat musik tiup asal Australia. Nah, kalau instrumen Sunda, ada namanya awi goong yang sama-sama ditiup,” ujarnya. Sementara, bamboo upright bass mirip kontrabas. Penonton semakin terpikat dengan kekuatan filosofi Rizal yang berkelanjutan. Ia memanfaatkan bambu mengingat pertumbuhannya yang cepat sehingga tak perlu menebang pohon.
Lokakarya digencarkan
Demikian semaraknya sambutan audiens di negeri orang tak pelak menyeruakkan tanya jika sosialisasi serupa dilakukan di Tanah Air. ”Di Indonesia memang harus lebih banyak festival yang dibarengi lokakarya supaya penonton tak hanya menikmati pertunjukan, tetapi juga menambah pengetahuan,” ujar Dwiki.
Di dalam negeri, festival-festival umumnya, terutama yang dianggap arus utama, masih sekadar menggelar hiburan. Dwiki pernah mengikuti lokakarya mengenai sitar dari India, oud atau semacam gitar asal Timur Tengah, dan perkusi khas Iran yang memberikannya pengetahuan-pengetahuan hebat.
Pande juga pernah dilibatkan dalam festival-festival di Bali sekaligus mengisi lokakaryanya seperti di Karangasem, Denpasar, dan Ubud. ”Tak seperti di Sarawak dengan peminat yang sangat membeludak. Kesenian bersejarah Bali diapresiasi, tetapi di daerah asalnya kurang diperhatikan,” tuturnya.
Pande berharap lokakarya bisa digencarkan agar generasi muda, khususnya di Bali, semakin mencintai dan memajukan kesenian daerahnya. ”Tentu bisa jadi peluang untuk memperkenalkan budaya kita yang punya daya tarik bagi dunia,” katanya.
Rizal saat ditanya kemungkinan lokakaryanya bakal dikunjungi pengunjung yang berduyun-duyun jika diselenggarakan di Tanah Air hanya mengangkat bahu. ”Wah, aku enggak tahu, nih. Mudah-mudahan, sih, ramai,” jawabnya singkat sembari tertawa.
Ketua Sora, grup musik yang mengangkat kesenian khas Jabar, Yadi Mulyadi, sering disambut hangat sewaktu mengisi festival dan lokakarya di luar negeri. Saat singgah di Kanazawa, Jepang, umpamanya, ia menyampaikan presentasi soal angklung di ruangan yang dipadati sekitar 500 pengunjung.
Audiens pun merespons tawaran untuk memainkan angklung dengan hasrat yang besar. Yadi sudah melanglang buana, mulai Australia, Eropa, hingga Afrika. ”Meski sudah berkali-kali juara juga di luar negeri, tanggapan di dalam negeri masih sepi. Kayak dianggap sebelah mata,” ujarnya sambil tersenyum.
Baca juga: Sastra di Pulau Madura dari Pesantren hingga Pelosok Desa
Pemain sape, Uyau Moris, mengenyam lokakaryanya yang paling meriah dengan ribuan pengunjung di Martigues, Perancis, tahun 2015. Ia dan beberapa rekannya mengemukakan tentang instrumen asal Kalimantan dan vokal khas Dayak. Durasi sampai dua jam harus diperpanjang.
Audiens yang masih tergelitik dengan ketertarikan besar mengajukan banyak pertanyaan. Moris juga pernah mengisi lokakarya di Denpasar, Balikpapan, dan Jakarta. ”Biasanya, yang tertarik malah bule-bule atau murid sekolah internasional,” ujarnya.
Menurut Menteri Pariwisata, Industri Kreatif, dan Seni Persembahan Sarawak Abdul Karim Rahman Hamzah, Rainforest World Music Festival 2024 bukan sekadar konser. ”Festivalnya juga merupakan ajang pertukaran budaya yang melebur dalam harmoni,” katanya.