Gen Z dan Gen Alfa, Ujung Tombak Pelestari Budaya
Tradisi dan budaya daerah di Indonesia terancam punah. Lalu, siapa yang bisa terus menghidupkannya? Bagaimana caranya?
Kegelisahan mengenai kandasnya tradisi, budaya, hingga bahasa daerah di Indonesia makin mengemuka. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasinya. Salah satunya dengan upaya meningkatkan literasi yang rutin dilakukan berbagai komunitas dan penerbit. Lingkarantarnusa yang berpusat di Yogyakarta merupakan satu dari beberapa yang cukup aktif.
Kacang-kacang goreng diserok osreng-osreng/ wolak-walik/ grembyang//
Tembang dolanan atau lagu permainan ini terdengar dari dalam Kedai Patjar Merah di Pos Bloc, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Suhu dingin karena penyejuk ruangan dipadu hujan deras di luar gedung mendadak hangat. Belasan anak dan sejumlah orangtua yang mendampingi saling berpasangan, bertepuk tangan satu sama lain, bernyanyi, melompat, dan berganti pasangan ketika kata grembyang diucapkan.
Baca juga: Patjarmerah Kecil Hadirkan Dunia Literasi untuk Anak
Dari awal tak saling kenal, anak-anak ini sekaligus berkenalan sembari tertawa saat berganti rekan bertepuk tangan. Sekitar 10 menit, mereka tak bosan mengulang permainan berbahasa Jawa ini meski sebagian besar tidak tumbuh dengan bahasa Jawa.
”Siapa di sini yang di rumah berbahasa Jawa?” tanya Margarita Riana, redaktur di Lingkarantarnusa sekaligus mengampu Komunitas Belajar dan Rumah Baca Green Meadow, kepada anak-anak di hadapannya saat kegiatan bertajuk ”Menjelajah Bahasa Nusantara”. Hanya satu anak yang mengangkat tangan. Sisanya menggelengkan kepala perlahan.
Hanya dalam waktu singkat, anak-anak mudah memahami mana bentuk Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua.
Selanjutnya, Margarita bersama Yulia Loekito dan Nurul Hikmah yang juga membesarkan Lingkarantarnusa memandu anak-anak berkenalan dengan bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah lainnya, seperti bahasa Bali, bahasa Sunda, bahasa Mandar, bahasa Ende, bahasa Madura, hingga bahasa Batak Simalungun.
Di sini, anak-anak diajak bermain tebak-tebakan berdasarkan potongan peta Indonesia. Mereka diminta mengidentifikasi tiap potongan. Hanya dalam waktu singkat, anak-anak mudah memahami mana bentuk Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua. Setelah itu, mereka antusias berebut menunjuk potongan pulau untuk menjawab tebakan bahasa daerah yang diberikan.
”Oalaaah, bahasa Madura. Abiku padahal orang Madura,” ucap seorang anak perempuan sembari tersenyum dan menggaruk kepalanya ketika gagal menebak secuplik percakapan yang diperdengarkan.
Suara ”Oooo” panjang juga serentak keluar dari mulut para bocah sambil saling berpandangan berusaha mencerna informasi baru ini saat mendengar penjelasan Margarita bahwa bahasa Madura untuk hijau adalah biru. Kegiatan hari itu pun ditutup dengan kembali bermain lewat tembang dolanan. Kali ini, anak-anak diajak bermain Jamuran yang membuat mereka terkekeh girang dan ketagihan memainkannya. Sayang, waktunya telah usai.
Rasanya masih sukar dipercaya, anak-anak yang sebagian lahir dan besar di Jakarta yang kadang cara berbicaranya campur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris langsung mudah terpaut dengan berbagai bahasa Nusantara dan permainannya. Pemandangan singkat di program ”Menjelajah Bahasa Nusantara” dalam rangkaian acara Patjar Merah Kecil ini merupakan sinyal positif.
Bayangkan, jika para orangtua yang berasal dari generasi milenial atau para kakek-nenek bersedia menularkan bahasa daerah, permainan tradisi, atau sesederhana bercerita tentang budaya yang pernah dilakoni, yakin anak-anak ini akan menyimpannya dalam memori dan pelan-pelan menggali untuk menghidupinya.
”Bahasa dan budaya itu selalu bergandengan. Punahnya bahasa pasti bersamaan dengan punahnya budaya. Mari bayangkan, jika anak-anak ini akan tumbuh dan ke dunia luar menjadi diplomat, misalnya. Apa yang akan dia ceritakan jika tak pernah mengenal bahasa dan budayanya sendiri?” tutur Yulia.
Namun, jelas ini bukan salah anak-anak, baik generasi Z maupun generasi alfa. Orangtua yang merupakan generasi milenial atau kakek-neneklah yang semestinya berperan memperkenalkan hal ini. ”Tapi, kadang ada anggapan kan, pakai bahasa daerah itu enggak keren, makanya tidak diajarkan. Atau justru si orangtua juga sudah tidak menggunakan bahasa daerahnya sehingga tak bisa melanjutkan ke anaknya,” ujar Margarita.
Mengacu pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), ada 11 bahasa daerah di Indonesia mengalami kepunahan. Sejumlah bahasa ini berasal dari Indonesia timur, yakni dari Papua dan Maluku. Persoalannya ada di jumlah penutur. Indonesia timur memiliki ragam bahasa daerah, tetapi penduduknya sedikit menurut Kemendikbudristek. Berbeda dengan Indonesia barat yang penduduknya banyak sehingga diharapkan sebanding dengan jumlah penutur bahasa daerahnya.
Upaya seperti yang diambil Lingkarantarnusa ini cukup signifikan. Selain kegiatan komunitas, sebagai penerbit, Lingkarantarnusa juga memproduksi buku bacaan anak berbahasa Jawa lengkap dengan aksara Jawa, berbahasa Mandar dengan aksara Lontara, bahasa Madura, dan bahasa Jawa dengan logat Banyumasan.
Asa dan akses
Layaknya Lingkarantarnusa, penerbit Little Quokka juga punya semangat serupa, yakni menghidupkan budaya Tanah Air ini melalui buku bacaan anak. Hari sebelumnya, Selasa (2/7/2024), Hamzah Reevi dari Little Quokka juga menjadi bagian dari rangkaian acara di Patjar Merah Kecil.
Kegiatan bertajuk ”Meracik dan Memijat” ala Mbok Nyunyu (Prarilis buku: Cemani yang Letih) memantik minat anak-anak terhadap ayam cemani yang banyak ditemukan di Kedu, Jawa Tengah. ”Kok, ayamnya bisa hitam semua? Kenapa bisa begitu?” tanya seorang anak perempuan kepada Hamzah.
Baca juga: Langkah Kecil Gen Z untuk Planet Tercinta
Mengangkat ayam cemani memang bukan hal biasa. Namun, bagi Hamzah, ini perlu dilakukan. ”Tidak semua anak tahu ada ayam cemani di Indonesia. Lewat buku ini jadi tahu, tapi ceritanya disandingkan juga dengan keseharian agar anak-anak bisa turut merasakan dan merefleksikan pada dirinya setelah membaca,” ucap Hamzah.
Budaya ini harus terjaga dengan cara terdokumentasikan dengan baik. Saat ini, membuat buku yang kami bisa, paling tidak jadi punya media edukatif yang menarik.
Sebelumnya, Hamzah dan istrinya melalui Little Quokka telah merilis berbagai buku yang berkaitan dengan budaya Indonesia berupa kuliner Indonesia dan kekayaan rempah Indonesia. ”Budaya ini harus terjaga dengan cara terdokumentasikan dengan baik. Saat ini, membuat buku yang kami bisa, paling tidak jadi punya media edukatif yang menarik,” ujar Hamzah.
Akan tetapi, ikhtiar Lingkarantarnusa, Little Quokka, dan penerbit lain yang bergerak di arus pelestarian budaya melalui bacaan anak ini patut didukung untuk menyebarluaskannya dan membiarkannya bisa diakses dengan mudah bagi anak mana pun. Selama ini, kendalanya dengan bacaan anak berkualitas semacam ini adalah akses.
”Isu besar di Indonesia itu bukan di minat, tetapi akses. Anak-anak sering dituduh tidak punya minat, literasi rendah, padahal kita-kita ini yang dewasa sudahkah memikirkan aksesnya?” ungkap Founder Patjar Merah Windy Ariestanty.
Produksi buku bacaan anak yang makin berwarna, beragam, dan berkualitas tentang pelestarian budaya dan bahasa daerah semestinya juga ditopang oleh aksesibilitas sehingga semua anak di pelosok negeri ini dapat menikmatinya sehingga tanpa sadar anak-anak ini turut menjaga agar tak punah.