Konser di Sini Bisa Kami Bantu
Pertunjukan musik di luar negeri bisa terselenggara pula berkat campur tangan sesama warga Indonesia. Koneksi terbangun.
Menjalani tur bermusik ke luar negeri bisa jadi bikin gentar bagi yang belum pernah melakukannya. Fasilitas yang ada di negara sendiri belum tentu mudah didapat di negeri seberang. Sebagian diaspora Indonesia membuka pintu rumahnya, juga memberi jalan bagi kelancaran pentas. Lebih jauh, ”hubungan diplomasi” lewat musik terbangun.
Monica Hapsari gundah luar biasa begitu mendarat di Bandara Austin-Bergstorm, Texas, AS, pada awal Maret 2024 silam. Bersama grupnya, Lair, Monica diundang tampil di festival South by Southwest (SXSW). Ini kesempatan bagus mengenalkan musik bernuansa tradisi Majalengka, Jabar, tempat grup ini berasal.
Rupanya, kesempatan bagus belum tentu jalannya mulus. Rombongan berjumlah delapan orang itu celingukan di bandara. Mereka belum pernah ke AS. Penyelenggara tak menyediakan jemputan. Mereka belum tahu mau menginap di mana atau sekadar merebahkan badan sejenak setelah hampir 20 jam terbang dari Tanah Air.
Baca juga: Dunia Sudah Rumit, Kita Jangan!
Di bandara itu pula mereka mencoba berbagai kemungkinan, termasuk menghubungi warga Indonesia yang tinggal di sana. ”Kami akhirnya tersambung dengan ibu-ibu dari Rumah Budaya Indonesia (RBI) di Austin. Mereka menjemput kami di bandara, pakai tiga mobil, ibu-ibu semua. Mbak Astrid (salah satu dari penjemput itu) menawarkan tinggal di rumahnya. Terharu sekali, rasanya mau menangis,” tutur Monica, beberapa waktu lalu.
Masalah tempat bernaung dan makanan terselesaikan. Jika kebutuhan primer itu teratasi, penghalang lain tak terlalu membebani. Lair menyerukan antigenosida Palestina di panggung SXSW saat tampil. Di luar festival itu, mereka juga dapat jadwal main di salah satu bar dan menjalani rekaman video di Radio KEXP di Seattle beberapa hari kemudian.
Rumah Budaya Indonesia di Austin adalah salah satu kantong budaya yang diresmikan Konsulat Jenderal Republik Indonesia Houston. Mereka adalah wakil kebudayaan Indonesia di Negara Bagian Texas. Uluran tangan yang diterima Monica dan Lair bisa jadi bagian dari visi itu.
RBI di Austin merupakan lembaga nonprofit. Di luar lembaga ini, beberapa individu yang tinggal di mancanegara mendedikasikan waktunya mengatur pertunjukan musik yang dijalankan seniman Indonesia. Endah Redjeki adalah satu di antaranya.
Endah tinggal di Los Angeles, AS, selama bertahun-tahun. Ia mendirikan Dapoer Kita Productions sebagai jembatan bagi mimpi para musisi yang ingin mencicip panggung di Negeri Paman Sam itu. Sejumlah nama pernah dibantunya. Ada Afgan, Tulus, hingga kelompok musik Noah.
Aku selalu bilang, kalau mau ke sini, jangan berharap di sini yang nyariin sponsor. Karena susah banget. Kalau dapat pun biasanya barang.
Masing-masing dibantunya sesuai kebutuhan dan permintaan yang bersangkutan. Misal untuk Noah, Endah turut terlibat mencari venue, transportasi, akomodasi, hingga menyusun daftar rencana kegiatan. Saat itu, label rekaman Noah, Musica, yang menghubungi Endah untuk membantu pertunjukan di Los Angeles.
Untuk Afgan, Endah memperkenalkan pengacara dalam mengurus visa dan menyebar promosi. Begitu pula dengan Tulus yang saat itu diundang oleh Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias). Selain itu, Endah juga menjadi tempat konsultasi tentang cara mengadakan pertunjukan di sana.
”Aku selalu bilang, kalau mau ke sini, jangan berharap di sini yang nyariin sponsor. Karena susah banget. Kalau dapat pun biasanya barang. Untuk tunai, enggak bisa dapat di atas 1.000 dollar AS. Jadi, sebaiknya cari sponsor dari Indonesia. Mengandalkan penjualan tiket di sini enggak mungkin. Tiket itu 25 dollar AS, di atas itu kemahalan, enggak bisa,” tutur Endah.
Selanjutnya, ia menekankan mengenai legalitas, salah satunya izin kerja. Endah menjelaskan, hal pertama yang ditanyakan promotor atau pemilik venue dengan kapasitas di atas 200 penonton adalah izin kerja penampil jika bukan warga negara AS.
Dia mengingatkan para musisi untuk taat pada urusan yang satu ini.
Endah, misalnya, mendorong Afgan untuk membereskan masalah legalitas ini sebelum tampil demi kelancaran pertunjukan. Endah tak menampik, tak sedikit musisi Tanah Air yang menguji peruntungan dengan tampil pakai visa turis, tetapi mengincar venue terkenal.
Baca juga: Usai Bergelut dengan Hidup, Kulari ke Ubud
”Ada aja yang begitu. Ya, enggak apa, tetap aku bantu tanyain walau sudah aku bilang kemungkinannya. Toh, aku cuma tinggal telepon aja, kok. Namanya mimpi, cita-cita, kan. Kita juga senang kalau mereka bisa meraih mimpinya,” ujarnya.
Pemetaan penonton
Dari pengalaman menangani musisi Indonesia yang ke Amerika Serikat ini, Endah belajar pemetaan. Konser Afgan di Los Angeles itu, katanya, dijadwalkan oleh manajemen hanya berlangsung satu hari di arena berkapasitas 300 orang. Endah mengingatkan, basis penggemar Afgan cukup besar di Los Angeles.
”Tetapi, manajemennya waktu itu enggak mau ambil risiko. Eh, beneran, tiga hari aku promo sekali di Facebook langsung sold out. Ada ibu-ibu beli 50 tiket sekaligus. Itu jualan November, tampilnya Februari. Kena komplainlah aku dari anak-anak mahasiswa,” tutur Endah yang kerap menggandeng mahasiswa Indonesia untuk membantunya.
Akhirnya manajemen bersedia menambah satu hari lagi. Dia menceritakan, pertunjukan hari pertama didominasi orang Indonesia. Namun, di hari kedua, demografi penontonnya meluas, tak cuma mereka yang berbahasa Indonesia.
Endah juga menonton saat band asal Jakarta, Reality Club, main di Los Angeles pada Maret lalu. ”Salut, sih, aku. Itu pas aku datang, yang nonton banyak orang non-Indonesia. Orang Indonesia-nya malah enggak banyak. Upaya mereka itu patut jadi contoh,” kata Endah.
Manajer Reality Club, Andreas Pratama, menuturkan, dari catatan yang dilakukan timnya, tur di Amerika Utara pada Maret lalu memang dibanjiri penggemar dari Filipina, Korea Selatan, China, dan sebagian lokal AS. Orang Indonesia tidak sampai 20 persen yang datang. ”Dari 200 penonton, di salah satu titik, penonton Indonesia hanya 10 sampai 12 oranglah,” kata Andre.
Di Taiwan, urang (saya) memetakan kelompok konsumen musik. Di sini, orang Indonesia terbanyak adalah kelompok pekerja migran, lalu ada mahasiswa Indonesia. Kelompok yang lebih kecil adalah mahasiswa Indonesia keturunan China. Di luar itu adalah warga Taiwan.
Di sisi bumi yang lain, Irfan Muhammad juga mempelajari kelompok penonton musik di Taiwan, negara yang ia tinggali sekarang sebagai mahasiswa. Irfan tinggal di Taiwan sejak 2022. Di sela-sela jadwal kuliahnya di National Yang Ming Chiao Tung University, dia mendatangi acara-acara musik di sekitaran Taipei, seperti tempat tinggalnya, Hsinchu, juga Taichung. Ia berkenalan dengan band setempat, promotor, juga pemilik ruang pertunjukan (venue).
Irfan memang menyukai musik. Sebelum bertolak ke Taiwan, dia adalah wartawan yang pernah membukukan reportase perihal kancah musik pop Bandung. Jadi, ketika pindah ke tempat baru, musik adalah keingintahuan terbesarnya.
”Di Taiwan, urang (saya) memetakan kelompok konsumen musik. Di sini, orang Indonesia terbanyak adalah kelompok pekerja migran, lalu ada mahasiswa Indonesia. Kelompok yang lebih kecil adalah mahasiswa Indonesia keturunan China. Di luar itu adalah warga Taiwan. Urang kudu hitung, band apa yang cocok di kelompok-kelompok itu,” kata Irfan.
Salah satu relasinya di kancah musik Taiwan adalah penyelenggara festival musik bernama Taiwan Pasiwali Festival. Pada 2022, dia turut mengantar Voice of Baceprot pentas di festival itu.
”Tahun berikutnya, mereka mulai minta rekomendasi band Indonesia ke saya. Mintanya band yang danceable. Kebetulan, ada teman saya yang kerja untuk Shaggydog, dan mereka berencana tur ke Jepang. Jadi, sekalian saja ajak mereka main dulu di Pasiwali,” katanya.
Band ska/reggae asal Yogyakarta itu tak hanya main di festival tahunan tersebut. Irfan membuatkan acara khusus di Taipei. Dari hasil pemetaannya, Irfan sadar pendengar Shaggydog di Taiwan, khususnya Taipei, sangat besar, didominasi kelompok pekerja migran. Sementara dia tidak sanggup-sanggup amat menangani acara dengan jumlah penonton besar.
”Acaranya adalah secret gig (kalangan terbatas) dengan penonton maksimal 200 orang. Saya sampai nolak-nolakin penonton yang mau datang dari luar kota. Padahal, acara itu udah dibikin di hari kerja dengan harga tiket masuk di atas rata-rata konser di sini. Masih aja penonton ramai pisan,” ujarnya.
Shaggydog adalah band terpopuler yang pernah diurusi Irfan. Sebelumnya, dia pernah membantu duo Kuntari menjalani tur empat kota di Taiwan pada 2022. Bulan Mei ini mestinya dia mendampingi band punk yang sedang naik daun di dalam negeri, The Jansen. Namun, band asal Bogor itu urung datang karena Taiwan masih dalam pemulihan pascagempa.
Kerja di bidang musik itu dikerjakan Irfan di bawah bendera ID-TW Pop Bureau, nama yang ia rancang sendiri setelah menyelami kancah musik setempat. Jika sedang tidak mendampingi musisi Indonesia, dia menulis profil band untuk disiarkan media setempat. Irfan juga bekerja sebagai penyiar di program berbahasa Indonesia di Taiwan International Radio.
Sebaliknya, koneksi dengan penyelenggara festival di Indonesia memberinya peluang mengenalkan band-band asal Taiwan. Salah satu band Taiwan yang pernah disodorkan Irfan adalah duo Mong Tong yang tampil di Joyland Bali, Maret silam. Juni mendatang, ada juga band Taiwan yang mau main di Jakarta, yakni Elephant Gym.
Menurut Irfan, Taiwan adalah destinasi musik penting di wilayah Asia. Negara ini jadi pintu gerbang bagi musisi yang hendak main di Jepang atau Korea Selatan. Sebaliknya, musisi dari Asia Timur banyak yang mencicipi Taiwan jika hendak konser ke wilayah Asia Tenggara.
Koneksi semacam ini yang terasa mewah. Musisi dari berbagai wilayah tak hanya bisa berjumpa, tetapi juga berjejaring dengan pelaku musik. Bukan tidak mungkin, makin banyak band Indonesia yang tampil di Taiwan atau albumnya diedarkan dari negara ini. ”Biro musik” semacam ini semestinya tersebar di berbagai kawasan lain.