Siasati Hantu “Post-Holiday Blues” Setelah Libur Lebaran Usai
"Post-holiday blues" kerap menjalari pikiran orang saat memulai kerja setelah libur panjang. Bagaimana mengatasinya?
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
Waktu luang, berkumpul dengan keluarga, reuni dengan sejawat, atau menikmati tenangnya bangun tidur siang adalah hal-hal yang berlalu setelah libur Lebaran usai. Kondisi itu, bagi sejumlah orang, bisa memicu rasa hampa, sedih, atau tak bergairah saat kembali bekerja.
Hal itu bisa dikategorikan sebagai post-holiday blues, yaitu perasaan atau suasana hati tidak mengenakkan setelah liburan. Hal itu bisa berupa rasa sedih, hampa, kesal, atau merasa liburan terlalu singkat.
Dinda Annisa Anggraini (31), misalnya. Karyawan perusahaan trading asal Jepang di Jakarta itu merasa lesu saat harus kembali bekerja mulai Selasa (16/4/2024). Waktu luang berkumpul dengan keluarga akhirnya usai juga setelah 10 hari libur Lebaran.
“Karena harus pulang malam lagi. Ketika bulan puasa, pulangnya cepet. Pas libur, enggak mikirin kerjaan,” kata Dinda.
Namun, suasana hatinya sedikit terobati dalam perjalanan menuju kantor hari itu. Dalam perjalanan ke kantor, ia menikmati cuaca pagi yang sejuk dan cerah. Apalagi, lanjut Dinda, kawan-kawan di kantornya sangat menyenangkan di hari pertama kerja.
Di saat itu pula Dinda jadi berpikir caranya menyiasati waktu kerja dan waktu senggang. Ia berencana memaksimalkan waktu kerja untuk menyelesaikan berbagai tugas. Dengan begitu, pikir Dinda, ia tak perlu lembur yang berakibat bekerja lebih lama di kantor.
Jika itu terlaksana, Dinda ingin membagi waktu luangnya untuk rekreasi bersama keluarga dan mengembangkan potensi diri. “Inginnya, value bahasa Jepang yang aku punya bisa berkembang lebih baik lagi,” tutur lulusan Sastra Jepang Universitas Jenderal Soedirman itu.
Hal berbeda dialami Ardi Wirawan (32), pekerja lepas di bidang penjualan mobil di Kota Bekasi, Jawa Barat. Ia cenderung tak punya masalah dengan waktu luang di kehidupan kerjaan. Sebab, sebagai pekerja lepas, ia relatif tak terikat dengan waktu kerja.
Fenomena post-holiday blues itu wajar adanya dan bukan suatu gangguan klinis
Namun, di masa libur Lebaran berakhir ini, Ardi sedikit kehilangan waktu berkualitas bersama istri dan dua anaknya. Sebab, istrinya seorang guru yang punya waktu kerja Senin-Jumat.
“Menyayangkan saja waktu dengan istri terpatok,” kata Ardi.
Di samping itu, Ardi pun melihat gestur istrinya yang tak bergairah memasuki masa kerja pascaliburan. Dari pengalamannya, ia yang mesti menyesuaikan diri dengan kondisi istri agar suasana hati istrinya tetap baik.
Misalnya, setelah menjemput istrinya dari sekolah, ia kerap mengajak jalan-jalan keluarganya. Ia juga sadar istrinya punya hobi mengombinasikan pakaian buah hati mereka. Salah satunya, istrinya mendesain gamis untuk anaknya dengan bahan beragam warna dan topi baret.
“Jadi, saya fasilitasi dia untuk punya waktu mengembangkan hobinya itu,” ujarnya.
Menata pikiran
Fenomena post-holiday blues itu wajar adanya dan bukan suatu gangguan klinis. Hal itu disampaikan oleh psikolog klinis Rio Dwi Setiawan.
Menurutnya, fenomena itu bisa diatasi dengan pikiran yang tertata. Sebagai contoh, seseorang bisa kembali menata jadwal kerja dan aktivitas lain setelah libur Lebaran. Hal itu bisa membantu seseorang untuk memulai kembali rutinitas setelah merasakan waktu luang liburan.
Hal yang dilakukan Ardi terhadap istrinya, kata Rio, sangat mendukung seseorang untuk menjalani rutinitas kerja dengan suasana hati dan pikiran prima. Suasana pikiran yang tenang dan senang, kata Rio, akan mendukung produktivitas dan kesehatan juga.
Lingkungan kerja yang mendukung, seperti yang dialami Dinda, pun turut mendukung supaya “hantu” post-holiday blues tidak menjalar di masa awal kerja setelah libur panjang. Teman kantor yang mendukung satu sama lain juga bikin suasana hati seseorang nyaman menjalani rutinitas.
Agar rutinitas pekerjaan tak membuat jenuh, Rio pun menyarankan pekerja melakukan hal baru. Jika hal tersebut relevan dengan pekerjaan, itu berpotensi menambah semangat kerja dan pengembangan diri, bahkan karier.
Itu bisa mempengaruhi kesehatan mental sekaligus produktif dalam menjalani kehidupan sebagai pekerja. Kendati demikian, ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan liburan.
“Keduanya dijalankan dengan penuh kesadaran dan kesungguhan,” ujar psikolog asal Balikpapan, Kalimantan Timur itu.
Dukungan tempat kerja
Rio mengatakan, perusahaan atau pemberi kerja juga harus bisa menjaga produktivitas pekerjanya. Di masa awal kerja setelah libur Lebaran, perusahaan sangat dianjurkan tidak langsung memberi beban kerja banyak.
Apalagi, memberi banyak tugas pada karyawan di satu waktu. Perusahaan, lanjut Rio, perlu memahami bahwa setiap orang perlu waktu untuk kembali beradaptasi.
“Sebaiknya juga berikan waktu pengantar untuk karyawan kembali bekerja. Misalnya, di konteks setelah libur Idul Fitri ini, bisa memulai dengan halal bi halal terlebih dahulu,” katanya.
Dengan penjabaran tersebut, sejatinya produktivitas kerja setelah libur Lebaran ditunjang banyak faktor. Selain mengelola pikiran dan diri sendiri, lingkungan kerja dan tempat kerja turut mendukung suasana hati dan kenyamanan bekerja setelah libur panjang. Selamat bekerja dan liburan dengan seimbang!