Manis Legit Kue Warisan Nenek
Sejumlah produsen kue tradisional terus berinovasi agar bisa terus merebut lidah dan hati warga urban.
Berbekal resep dari nenek, sejumlah produsen kue tradisional terus berinovasi agar bisa merebut lidah dan hati warga urban yang akrab dengan roti dan aneka pastri. Mereka mempertahankan rasa dan memoles citra ke level premium. Dengan cara itu, gerai kue tradisional eksis di mal, bandara, hingga istana.
Langit pagi di atas kompleks ruko Villa Melati Mas, Serpong, Tangerang Selatan, Rabu (21/2/2024), semakin benderang. Sejumlah pekerja produsen dan toko kue tradisional Iki Koue Citarasa Nusantara bersiap mengirim pesanan hari itu ke salah satu pelanggan penting mereka.
Sejumlah kontainer plastik dan kemasan kardus berisi aneka kue tradisional berpenampilan cantik dan menggugah selera dimasukkan satu per satu ke dalam mobil boks. Sebelum pukul 05.30 mobil boks sudah harus berangkat.
Kue-kue tersebut adalah pesanan istimewa, kudapan di acara pelantikan menteri baru di Istana Negara pagi itu. Aneka ragam kue, baik dalam kotak kardus maupun yang nanti akan disusun menjadi gunungan di atas nampan-nampan bambu, sudah mulai dibuat sejak tengah malam sebelumnya.
Satu sif pekerja menyiapkan aneka bahan baku, mengolah, dan memasaknya sejak tujuh-delapan jam sebelumnya. Setiap hari, dapur Iki Koue menerima pesanan paling lambat pukul 17.00 untuk diantarkan keesokan harinya.
Hal itu disampaikan Laura Wiramihardja, salah satu pendiri sekaligus pemilik usaha ini. Menurut dia, dapur Iki Koue kini sudah bisa membuat hingga 46 macam kue tradisional. Dari segi rasa kue-kue itu terbagi menjadi jenis manis dan asin, sementara dari segi cara pembuatan mereka terbagi menjadi jenis kue yang dikukus, digoreng, atau dibuat bolu.
Ada juga aneka bubur tradisional ala jajanan pasar, yang bisa dikemas dalam mangkuk plastik atau dalam paket besar di beberapa bejana tanah liat. Semua kue dan bubur dibuat dengan resep dan cita rasa orisinal warisan keluarga. Rentang harganya mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 15.000 per potong atau sajian.
Segmen pasar Iki Koue berkategori premium sehingga harga menyesuaikan. Upaya Laura mempertahankan orisinalitas rasa dan resep harus dilakukan mengingat kuliner satu ini punya tempat tersendiri di banyak hati dan lidah orang Indonesia.
Baca juga: Seksinya bisnis untuk pemakan tumbuhan
Tak hanya menerima pesanan, Iki Koue juga membuka gerai di salah satu mal eksklusif di kawasan Senopati, Jakarta. Di sana pengunjung dapat menikmati salah satu menu inovatif, aneka bubur jajanan pasar, yang ditempatkan dalam wadah eksotik dari tanah liat tadi.
Para tamu juga dapat memilih sendiri topping tambahan meniru cara penyajian satu produk yoghurt merek kekinian. Selain itu, penataan gerai yang cantik juga memungkinkan para pembeli jika ingin berfoto dan mengunggahnya di akun media sosial mereka.
Pendekatan-pendekatan itu dilakukan terutama untuk menarik para pembeli muda yang dinilai sudah mulai kurang akrab dengan jajanan tradisional.
Inovasi dan otentisitas
Monami Bakery juga tetap eksis di pasar kue tradisional kelas premium. Usaha ini didirikan oleh Paring Hadinata pada 1976. Seiring waktu ketika gaya hidup ngemal menjangkiti warga urban, Monami juga masuk ke mal. Gerai pertamanya di mal dibuka di Senayan City sepuluh tahun lalu dan eksis hingga saat ini. Kini Monami memiliki 38 gerai yang tersebar di mal, toko, dan bandara.
”Dulu kami ragu mau masuk mal. Khawatir penjualan kurang bagus. Tapi, saudara memberikan masukan, kalau tak bisa nutup kan bisa ditutup dari toko lain di luar mal,” ujar Sandi menceriterakan pihaknya membuka gerai di mal. Ternyata bisnisnya berjalan baik. Monami lantas membuka gerai baru di mal lain di Jakarta,” cerita pemilik Monami Bakery, Sandi Gunawan, dan istrinya, Florean Hadinata.
Mereka bilang kunci keberhasilan usaha mereka bertahan selama ini adalah selalu berusaha mempertahankan rasa otentik sesuai warisan nenek dan membuat produk yang inovatif. Salah satunya menggunakan santan segar dari kelapa tua utuh. Per hari Monami bisa menghabiskan hingga 1.000 butir. Santan kelapa tua segar memberi rasa jauh lebih enak dan menjadikan kue bertahan lebih lama daripada yang memakai santan instan.
Baca juga: Rawon dan kebrutalan yang nikmat
”Bahkan, untuk membuat kue lumpur kami masih menggunakan arang untuk memanaskan bagian atas kue seperti cara nenek dulu. Kami akan terus pertahankan agar rasa kue dan kelumerannya tetap sama seperti buatan beliau,” ucap Florean.
Terkait inovasi, Monami menerapkan kemasan jajanan pasar dari plastik, yang langsung mengunci tanpa perlu menggunakan selotip atau staples. Walau harganya lebih mahal, kemasan berbentuk mangkuk mungil seperti itu memudahkan dan membuat praktis untuk konsumen.
”Pembeli tak perlu cari mangkuk atau piring untuk makan serabi atau kue. Tinggal buka kemasan, tuang kuah serabi, langsung bisa dimakan dari situ. Praktis kan?” ujar Florean.
Inovasi lainnya berupa ukuran kue dan kemasannya yang lebih mini dibandingkan dengan kue tradisional yang dijual di tempat lain. ”Orang sudah cukup kenyang makan bubur sumsum empat-lima sendok sehingga tak butuh ukuran yang lebih besar,” ujar Sandi.
Praktis memang. Ukuran kue pas untuk sekali caplok. Ukuran kue yang mini juga membuat warga urban yang takut surplus kalori dan kegemukan tidak merasa ”bersalah” ketika mengonsumsinya.
Inovasi lain dalam bentuk modernisasi resep kudapan juga ditempuh Faza Zharfan, pengusaha Seroja Bake dari Bandung, Jawa Barat. Lewat telepon, Faza menceritakan beberapa resep progresif dan unik hasil pengembangannya. Beberapa seperti brownies tahu sumedang, risol seroja berisi irisan jantung pisang, dan prol tape (peuyeum) pisang.
Untuk brownies adonannya dicampur tahu sumedang yang masih belum digoreng. Sementara untuk prol tape menggunakan bahan baku pisang matang yang difermentasi menggantikan singkong. Untuk risol, Faza mencampur irisan jantung pisang bersama bahan isian lain, seperti sayuran dan jamur.
Namun disayangkan, ujar Faza, hingga sekarang kebanyakan konsumen masih menganggap kudapan atau jajan pasar bercitra jajanan berharga murah. Padahal, tak seperti bakeriatau pastri (Eropa), yang bahan bakunya beragam dan ada banyak pilihan, di kudapan tradisional bahan baku macam tepung saja masih terbatas.
”Misalnya untuk tepung beras atau tapioka, yang ada merek dan jenisnya itu-itu saja. Jadi relatif lebih sulit untuk mendiversifikasinya. Tidak seperti croissant, misalnya, orang bisa lebih gampang mengkreasikan dan kalaupun dijual harga mahal ada banyak orang bersedia membeli,” ujar Faza.
Dengan begitu upaya mendiversifikasi, baik dalam bentuk resep, produk jadi, maupun harga untuk produk jajanan pasar dan kudapan tradisional Indonesia belum bisa dilakukan. Apalagi sampai sevariatif produk bakeri atau pastri ala luar negeri. Kondisi itu masih diperparah pengetahuan dan pemahaman generasi sekarang, terutama di kalangan generasi Z, akan jenis-jenis kue tradisional yang terbilang minim.
”Dari pengalaman, kalau bertanya ke anak-anak gen Z apa mereka sudah pernah coba kue nagasari. Yang jawab pernah dan tahu paling hanya 30-40 persen saja. Mereka kebanyakan enggak ngerti dan balik tanya nagasari itu apa sih? Ha-ha-ha,” ujar Faza.
Tak hanya di kalangan konsumen, Laura Wiramihardja dari Iki Koue juga mengeluhkan hal sama. Dia bahkan mengaku kesulitan merekrut karyawan baru lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan tata boga. Terutama mereka yang bisa dan tahu membuat kue-kue tradisional.
Akhirnya Laura harus melatih lagi dari awal jika merekrut pegawai baru bagian dapur. Anak-anak lulusan SMK tersebut, tambahnya, hanya pandai membuat roti, pastri, dan olahan cokelat. Saat diminta membuat kue tradisional, mereka banyak yang tak bisa.
Kegelisahan itu juga ditangkap pakar kuliner Tanah Air, William Wongso, saat dihubungi per telepon di Singapura. William menyebut orang yang berminat belajar membuat kue-kue tradisional terbilang langka. ”Kalaupun mau belajar, sama siapa? Enggak ada yang bisa ngajarin (di sekolah),” ujar William.
William mengkritik Kemendikbudristek, terutama yang membawahi SMK, lantaran hingga kini mereka tak pernah punya program signifikan terkait kuliner lokal. Jika kondisi seperti sekarang terus dipertahankan, William khawatir makin lama para pelaku industri kuliner yang paham makanan tradisional akan semakin habis.
”Kalau membuat kue-kue Barat dengan aneka hiasan banyak yang bisa. Tapi, kalau disuruh bikin kue lapis enggak minat. Pendidikan di kita terkait kuliner ini kan selalu masih terbelakang. Selain minatnya juga rendah, mau belajar pun ribet. Sama siapa juga belajarnya enggak ada. Lha kayak begitu salah siapa coba?” ujar William.
Terkait persepsi tentang harga jajanan pasar dan kue tradisional, William juga mengkritik hingga sekarang orang masih memandang sebelah mata. Mereka menganggap harga kue-kue tradisional harus murah, sementara secara keahlian proses pembuatan kue tradisional dan jajan pasar macam itu tidak kalah rumit dibandingkan dengan bakeri atau pastri.
”Sekarang orang yang namanya jajan dipaksakan harus (identik) murah. Sama saja misal, beli mi (bakso) Rp 50.000 bilangnya mahal tapi kalau beli pasta Rp 100.000 biasa saja. Persepsinya masih begitu. Karena dianggap jajanan dan makanan warung jadi enggak boleh mahal,” ujar William.
Jika mau meniru standar negara lain, seperti Jepang, kualitas kue-kue tradisional di sana tetap sesuai dengan standar tradisional, tetapi berskala industri. Untuk memperbanyak produksi pihak Jepang membuat alat dan mesin yang dapat membuat kue-kue tradisional berskala besar dengan kualitas sesuai dengan standar yang ditetapkan.
”Saya cuma mau tanya di bidang ini siapa harus memperhatikan. Kalau mau bicara bidang pendidikan, soal kuliner kan sangat luas ruang lingkupnya. Apalagi setiap daerah punya kekhasan,” ujar William.
Dia menambahkan, dalam menetapkan benchmark jangan sampai meremehkan tradisi karena itu terkait citra bangsa. ”Bayangkan lima tahun lagi di pasar hanya ada 5 persen jualan kue tradisional dan selebihnya croissant,” papar William mewanti-wanti.