Asam Garam, Kisah Para Perantau di London
Hidup di negara perantauan memang tidak mudah. Bagi banyak orang, merantau merupakan sebuah proses, pencarian, juga perjalanan untuk suatu hari menemukan jalan kembali.
Hidup para perantau di negara asing penuh dengan suka, duka, perjuangan, dan air mata. Berbagai pengalaman pahit pernah dirasakan, mulai dari menjadi korban rasisme, ketipu, puluhan juta, depresi, dan menahan kedinginan. Inilah kisah perjuangan para perantau di London, Inggris, yang bertahan demi asa hidup yang lebih baik.
Menjelang jam makan siang, Rabu (11/10/2023), Zukni Legowo (55), pemilik warung makan Triple Hot Spicy (THS), terlihat sibuk. Di warung makan yang berada di daerah Queensway, London, Zukni menyapa pelanggan, mencatat order, dan menyajikan pesanan.
Setelah pelanggan selesai menyantap makanan, Zukni membereskan piring kotor. Selanjutnya, ia ke dapur dan mencuci piring. Meski sibuk, Zukni tak terlihat lelah. Ia melayani pelanggan dengan ramah. ”Saya senang karena passion ada di makanan,” ujar pria asal Semarang, Jawa Tengah, yang sudah 25 tahun hidup merantau di luar negeri.
Zukni merupakan satu di antara 9.241 warga negara Indonesia (WNI) yang tercatat tinggal di Inggris berdasarkan data Kementerian Luar Negeri pada 2021. Di antara jumlah itu, 1.437 WNI merupakan pelajar dan mahasiswa.
Pengalaman Zukni merantau berawal pengalaman hidupnya lebih dari dua dekade lalu. Di tengah krisis moneter yang dirasakan banyak masyarakat Indonesia, Lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata NHI, Bandung, itu mencari nafkah dengan bekerja di kapal pesiar.
Sepanjang 1987-1998, Zukni berlayar dari Perancis hingga Australia. Setelah bertahun-tahun menjadi pekerja di kapal pesiar, Zukni terdampar di Inggris. ”Dulu saya melihat di Indonesia susah cari kerja. Jadi penginnya sekolah yang cepat kerja dan kalau bisa ke luar negeri. Eh, sampai sekarang enggak pulang-pulang,” ujarnya.
Di Inggris, Zukni mengerjakan beragam profesi, umumnya di industri hospitality, seperti menjadi pelayan dan juru masak restoran. Adakalanya, ia bekerja di hotel berbintang lima.
Beberapa tahun lalu, Zukni terpaksa kehilangan pekerjaan sebagai sopir dan pemandu wisata karena pandemi Covid-19. Seperti kebanyakan orang, ia merasa bingung dengan kondisi tak menentu akibat pandemi. Di tengah ketidakpastian, Zukni menemukan kesempatan baru. Demi bertahan hidup, ia membuka warung makanan Indonesia.
Dibantu oleh istrinya, Hosnadah, ia meracik sendiri bumbu untuk membuat rendang, bakso, dan soto. Makanan itu kemudian dijual di daerah multikultur Queensway. Lokasinya dekat dengan taman terbesar di pusat London, Hyde Park, dan bekas tempat tinggal Lady Diana, Kensington Palace.
Membuka rumah makan di tengah situasi pandemi bukanlah hal mudah. Beberapa kali ada aturan lockdown sehingga Zukni harus menutup warungnya. Ia tidak kehabisan akal. Zukni memasarkan makanan secara online ke sejumlah kota di Inggris, Wales, Skotlandia, hingga Irlandia Utara. Seiring pandemi yang berakhir, warungnya pun berkembang dan selalu menjadi inceran warga diaspora Indonesia yang kangen dengan masakan Indonesia.
Bisnis kuliner semakin memantapkan niat Zukni untuk berlama-lama tinggal di luar negeri. ”Kalau saya pulang ke Indonesia mungkin malah mendapatkan masalah karena anak-anak harus beradaptasi dengan lingkungan baru,” kata ayah dengan lima anak itu.
Bagi Zukni, hidup di luar negeri memberikan banyak keuntungan. Selain bisa mengembangkan bisnis, Zukni dan keluarga mendapatkan jaminan asuransi kesehatan dan pendidikan berkualitas untuk anak-anak. Lebih dari itu, budaya asli Inggris mengajarkan etos kerja, disiplin, dan sopan santun. ”Kalau ke desa-desa, warga lokal menyambut dengan ramah. Mereka sangat terbuka dan menghargai orang lain,” tuturnya.
Banyak tantangan
Meski terlihat serba wah dan menyenangkan, hidup merantau memberikan banyak tantangan. Pada awal-awal hidup di luar negeri, Zukni sering merasakan menjadi warga kelas dua karena keterbatasan bahasa Inggris. Ia juga sering diperlakukan tidak adil dan diremehkan.
Dulu saya melihat di Indonesia susah cari kerja. Jadi penginnya sekolah yang cepat kerja dan kalau bisa ke luar negeri. Eh, sampai sekarang enggak pulang-pulang.
Puncaknya, Zukni menjadi korban islamofobia. Di Inggris, kasus islamofobia meningkat dua kali lipat sejak sepuluh tahun terakhir. islamofobia dipicu oleh beberapa peristiwa, seperti serangan terorisme di Inggris, Perancis, dan Selandia Baru. ”Itu titik terberat bagi saya. Namun, saya berusaha tidak terpancing,” jelasnya.
Lama-kelamaan, Zukni bisa membaur dengan masyarakat. Apalagi, teknologi sudah berkembang sehingga ia tidak merasakan kesulitan untuk berkomunikasi dengan sanak saudara yang berada di Indonesia. ”Ungkapan ’hujan batu di negara sendiri lebih baik daripada hujan emas di negara orang’ tidak berlaku karena sekarang sudah mudah untuk berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia,” katanya.
Pengalaman hidup merantu lebih dari satu dekade juga dialami Pino Sinaga (40), pemilik bisnis kuliner Pino’s Warung dan restoran Toba. Pertama kali merantau di Inggris pada 2007, Pino mengawali karier di industri hospitality sebelum akhirnya membuka bisnis restoran sendiri.
Sama seperti Zukni, Pino juga menghadapi tantangan. Misalnya, ia pernah kehabisan uang setelah membuka warung makan di Camden Market. Namun, dengan keuletan dan kerja keras, bisnisnya terus berkembang. Ia bahkan berani mengembangkan bisnis dengan membuka rumah makan mewah di pusat kota London, bernama Toba.
”Saya ingat mama pernah bilang, kalau ada rezeki makanan tidak boleh pelit dengan orang lain. Itu yang selalu saya terapkan sehingga saya juga tidak pernah kekurangan,” ujar Pino, mengenang pesan yang disampaikan almarhum ibundanya, beberapa tahun lalu.
Magnet pelajar
Negara Inggris menjadi magnet bukan hanya untuk para pekerja dan pengembang bisnis, tetapi juga pelajar dan mahasiswa. Berdasarkan data dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada Agustus lalu, dalam kurun waktu dari tahun 2013 hingga 2022, sebanyak 1.605 pelajar Indonesia memilih untuk mengejar pendidikan tinggi di Inggris.
Pendidikan berkualitas, peluang magang, dan juga adanya sarana-prasarana menunjang membuat banyak pelajar berbondong-bondong ke Inggris. Ada yang memakai dana pribadi, banyak juga yang mengandalkan beasiswa untuk kuliah.
Harapan menempuh pendidikan berkualitas juga menggerakkan pasangan suami istri Aliansyah (34) dan Raisa Kamila (33) untuk merantau ke Inggris. Pada 2021, Raisa mendapatkan beasiswa kuliah S-3 di SOAS, University of London. Raisa bersama suami dan anaknya pun berangkat ke Inggris ketika Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19.
Alin mengatakan, ketika mengetahui istrinya mendapatkan beasiswa ia senang sekali. ”Ada perasaan senang meninggalkan pandemi. Begitu sampai di Inggris, ternyata, susah, ih. Uang terbatas,” kata Aliansyah, yang berprofesi sebagai seniman.
Begitu tiba di Inggris, Aliansyah dan Raisa harus menjalani kewajiban karantina Covid-19 di hotel berbintang. Sebagai penerima beasiswa, Raisa mendapatkan dukungan dana untuk karantina. Sementara suami dan anaknya harus karantina dengan merogoh kocek pribadi.
Selesai karantina, keluarga ini harus pontang-panting mencari tempat tinggal. Dengan uang yang terbatas, tidak mudah mencari kontrakan di London. Apalagi, pada 2021 Inggris menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 300 tahun yang membuat harga energi dan bahan kebutuhan pokok naik gila-gilaan. Demikian juga harga kontrakan yang ikut meroket tajam.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sekalinya sudah mendapatkan kontrakan, pasangan ini harus kena tipu. Tempat tinggal yang sudah disewa ternyata bodong. Padahal, uang kontrakan yang besarnya 1.400 pound sterling (sekitar Rp 28.000.000) sudah dibayar.
Akhirnya, Aliansyah dan Raisa harus melapor ke KBRI London dan mendapatkan bantuan tempat tinggal sementara. Mereka juga harus meminjam uang ke sesama pelajar Indonesia untuk menyewa tempat tinggal baru. Demi menghemat pengeluaran, pasangan ini harus hidup irit. Mereka harus mengurangi penggunaan pemanas ruangan selama musim dingin. Ke mana-mana Alin juga bersepeda untuk mengurangi pengeluaran transportasi.
”Raisa bilang jangan posting (foto) senang-senangnya saja dong. Biar orang-orang tahu juga (hidup sulit), tetapi menurut saya, sudahlah,” kata Alin.
Lama-kelamaan, kehidupan mulai membaik. Situasi membaik setelah Alin bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan bekerja serabutan seperti menjadi karyawan di kafe dan toko roti. Pada tahun kedua, ia juga mendapatkan beasiswa kuliah S-2. Selain itu, sejumlah tawaran untuk menggelar pameran seni mulai berdatangan.
Tidak seperti kebanyakan orang lainnya, Alin tidak pernah bercita-cita hidup merantau. Hidup jauh dari tanah kelahiran, menurut dia, membuat sebagian orang harus kehilanggan akar budaya dan bahasa. Namun, ia tetap menjalani kesempatan ini dengan sebaik-baiknya demi mendukung istri kuliah dan mendapatkan pengalaman baru untuk putranya.
Agar betah hidup di negara perantauan, Alin dan banyak warga perantau lainnya rajin berkumpul dengan komunitas orang Indonesia. Pertemuan dengan sesama orang Indonesia harus diupayakan agar para perantau tidak merasa kesepian. Selain itu, berkat kuliah di luar negeri, mahasiswa Indonesia jadi sering mengulik bumbu-bumbu di dapur. Aneka makanan dibuat untuk mengobati rindu pada makanan Indonesia.
Untuk menjaga komunikasi dengan keluarga dan teman di Tanah Air, para perantau memanfaatkan teknologi, seperti telepon dan video call. Keberadaan internet telah membantu mereka untuk terkoneksi dengan kampung halaman.
Hidup di negara perantauan memang tidak mudah. Bagi banyak orang, merantau merupakan sebuah proses, pencarian, juga perjalanan untuk suatu hari menemukan jalan kembali....