Telepon Kantor dan Perempuan di Ruang Siber
Perempuan-perempuan itu memegang jabatan penting di bidang keamanan siber. Mungkin ada yang tidak mengira, salah satu dari mereka masuk ke bidang ini karena terinspirasi telepon meja kantor.
Telepon di meja kantor kian kurang relevan di era siber yang serba ”HP” saat ini. Namun, bagi Poornima DeBolle, telepon kantor adalah salah satu ”suporter” utamanya untuk bisa setara dengan para pria di dunia kerja. Perangkat itu telah menginspirasinya menekuni bidang keamanan siber hingga saat ini.
Suatu hari, Poornima DeBolle bermain ke kantor bibinya di National Aeronautical Laboratory (NAL, sekarang National Aerospace Laboratories), di India. Ia terpana melihat telepon di meja kerja bibinya, satu dari hanya dua perempuan di lembaga tersebut.
DeBolle pun teringat dengan telepon di meja kerja ayahnya, pegawai Departemen Energi Atom India. Bagi dia, bibinya yang seorang fisikawan punya posisi sepenting ayah DeBolle, sampai-sampai NAL menyediakan telepon khusus bagi sang bibi.
”Saya yang waktu itu berusia 10 tahun betul-betul terkesima dan berkata pada diri saya: Saya juga harus punya telepon semacam itu,” ucap DeBolle yang kini berusia 54 tahun saat berbicara di acara Singapore International Cyber Week (SICW), Selasa (17/10/2023), di Singapura.
Momen telepon kantor tersebut membuat DeBolle yakin untuk mengejar masa depan di ranah teknologi. Ia mendapat gelar sarjana teknik komputer dari Universitas Bangalore, India, serta magister untuk ilmu komputer dari Arizona State University, Amerika Serikat.
Setelah berkarier di sejumlah perusahaan teknologi sejak 1990-an, DeBolle pada 2013 turut mendirikan perusahaan keamanan awan dan jaringan terkemuka, Menlo Security, dan menjabat sebagai chief product officer (kepala produk).
Baca juga : Mendamba Damai di Dunia Nyata, Memulainya di Dunia Maya
Bersama sembilan panelis lain—semua perempuan kecuali Steven Ng, Chief Information Officer Ensign InfoSecurity—DeBolle berbagi kisah hidup dan perjalanan profesinya dalam diskusi bertajuk ”Perempuan dalam Siber”. Tujuan adanya sesi itu adalah menggugah keterlibatan makin banyak perempuan untuk menggeluti profesi bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), khususnya keamanan digital.
Perempuan pemimpin
Para perempuan panelis dalam diskusi SICW tersebut tidak hanya berkarier, tetapi juga memegang jabatan strategis di lembaga bidang siber masing-masing. Selain DeBolle, ada Direktur Cybersecurity and Infrastructure Security Agency AS Jen Easterly, CEO ISC2 Clar Rosso, Direktur Ancaman Siber dan Negara pada Kantor Kabinet Inggris Gemma Ungoed-Thomas, dan Asisten Direktur Jenderal Ancaman Teknis dan Visibilitas Australian Cyber Security Centre (ACSC) Jacqueline Barr.
Lalu, ada Direktur Critical Information Infrastructure Protection (CIIP) pada Cyber Security National Division Kementerian Transportasi dan Komunikasi Qatar Nora Al-Abdulla; CEO ISTARI Rashmy Chatterjee; Global Head, Cyber Partnerships and Government Engagement Standard Chartered Bank Nina Paine; serta Head of the Taskforce International Cyber Policy Kementerian Luar Negeri Belanda Maartje Peters.
Cyber Security Agency (CSA) Singapura, penyelenggara SICW, tidak hanya mengejar keterwakilan perempuan dalam diskusi ”Perempuan dalam Siber”. Sebab, perempuan pembicara tersebar pula di sesi-sesi lain dalam forum keamanan siber tahunan yang dihelat kedelapan kalinya ini, sepanjang 17-19 Oktober 2023.
Selain sembilan nama di atas, terdapat total 21 perempuan pembicara serta 10 perempuan moderator berdasarkan penghitungan pada daftar nama di laman SICW.
Pembicara kunci untuk diskusi ”Perempuan dalam Siber” pun semuanya perempuan. Mereka ialah Wakil Sekretaris Jenderal dan Perwakilan Tinggi Urusan Perlucutan Senjata Izumi Nakamitsu serta Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura Josephine Teo.
Baca juga : Rezim Digital: Antara Sistem Konstruktif dan ”Tukang Jagal”
Teo mengapresiasi audiens diskusi karena kursi yang tersedia hampir penuh dan banyak di antaranya laki-laki. ”Bagi Anda yang memutuskan berada di ruangan ini sekarang, Anda membuat keputusan terbaik dalam SICW. Anda tidak akan menyesalinya,” ujarnya. Nakamitsu sependapat dengan Teo. ”Ini mungkin panel paling penting (dalam SICW 2023),” ujarnya.
Akses timpang
Nakamitsu menyitir sejumlah statistik untuk memperkuat argumen dia dan Teo. Berdasarkan estimasi global, perempuan yang punya ponsel pintar dan bisa mengakses internet lewat ponsel berjumlah 300 juta jiwa lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Mobile Gender Gap Report tahun 2023 menyimpulkan, kemungkinan perempuan untuk menggunakan internet seluler 19 persen lebih kecil daripada laki-laki. Di negara berpendapatan kecil dan menengah, 900 juta perempuan sepenuhnya belum terhubung dengan internet.
”Selain akses internet, perempuan masih kurang terepresentasi dalam pekerjaan, manajemen puncak, dan karier akademis bidang informasi dan komunikasi,” ujar Nakamitsu. Sebagai gambaran, studi tahun 2018 oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan, laki-laki empat kali lebih mungkin menjadi spesialis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dibandingkan perempuan.
Pada usia 15 tahun, rata-rata hanya 0,5 persen anak perempuan yang berminat dengan profesi bidang TIK, sedangkan pada anak laki-laki angkanya 5 persen.
Nakamitsu mendorong adanya transformasi agar perempuan tergerak mempertimbangkan karier di sektor STEM, termasuk keamanan siber. ”Karena pada 2050, menurut Forum Ekonomi Dunia, 75 persen dari semua pekerjaan akan terkait dengan STEM,” katanya.
Selain untuk kesetaraan akses, peningkatan partisipasi perempuan juga krusial untuk menekan bias jender di dunia maya. Nakamitsu mencontohkan, ada algoritma yang memperlakukan laki-laki sebagai ”standar”, sedangkan perempuan sebagai ”perkecualian.” Data bias semacam itu berpeluang mengarahkan kecerdasan buatan (AI) menghasilkan keputusan yang bias pula.
Karena pada 2050, menurut Forum Ekonomi Dunia, 75 persen dari semua pekerjaan akan terkait dengan STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika).
Namun, lanjutnya, faktor manusia juga dominan menghasilkan situasi ini. ”Untuk gambaran, firma AI baru Elon Musk, xAI, dibentuk Juli lalu, tidak menyertakan seorang perempuan pun di dewan direksi,” ucapnya.
Menteri Teo menyebut, di Singapura, minat perempuan termasuk sejak usia anak-anak untuk berkarier di dunia teknologi terus tumbuh. ”Salah satu alasannya ialah karena sudah ada lebih banyak panutan sekarang,” katanya.
Teo mencontohkan, setelah ”eksis” sekitar 40 tahun, ISACA Chapter Singapura untuk pertama kali memiliki perempuan presiden, yaitu Jenny Tan. ISACA merupakan komunitas global terkemuka untuk profesional bidang teknologi informasi/sistem informasi.
Baca juga : Singapura Kucurkan Miliaran Rupiah Atasi Ancaman Siber
Teladan lainnya adalah Sherin Lee. Dia mendirikan Ladies in Cyber Charter pada Association of Information Security Professionals (AISP). Para sukarelawan organisasi itu sudah berinteraksi dengan lebih dari 4.000 perempuan muda ataupun dewasa agar tertarik berkarier di bidang siber.
Diskusi panel SICW ”Perempuan dalam Siber” juga dalam rangka memelihara kesehatan pertumbuhan minat tersebut. Sebab, menurut Teo, para perempuan panelis pada acara itu sudah punya reputasi yang diakui. Harapannya, makin banyak perempuan yang mendapat momen ”telepon kantor”-nya sehingga kesetaraan jender tercapai di ruang siber.