Festival Memperpanjang Usia Perfilman
Posisi Indonesia dalam kanca perfilman global masih dianggap sebagai titik buta (blank spot). Program Renaissance memberi optimisme terhadap pertumbuhan film Indonesia.
Festival film dapat memperpanjang usia perfilman Tanah Air. Oleh karena itu, para sineas selalu mencari peluang untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai festival internasional. Semangat dari festival itu kemudian mereka tularkan ke dalam negeri dalam bentuk berbagai festival atau ruang-ruang lain yang memungkinkan memperkuat ekosistem perfilman.
Lima sutradara muda duduk berderet seusai permuataran lima film pendek dari Indonesia di sebuah studio yang menjadi bagian dari Busan International Film Festival, Minggu (8/10/2023). Mereka antara lain Khozy Rizal, Bayu Prihantoro Filemon, dan Niratha Bas Diwangkara. Film pendek mereka yang diputar berurutan itu ditonton tak kurang dari 140 pasang mata. Dalam sesi tanya jawab, penonton dari berbagai negara itu amat antusias menggali lebih jauh gagasan dalam film-film tersebut.
Salah satu penonton dari Korea Selatan, misalnya, bertanya kepada Khozy tentang makna penting dari banyak anak banyak rezeki. Sebab di Korea Selatan, banyak orang justeru tidak tertarik untuk punya anak apalagi banyak anak. Sebenarnya Khozy justeru mengajak berpikir ulang tentang konsep tersebut karena malah kerap mengundang kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tergambar dalam filmnya, Basri & Salma in a Never Ending Comedy.
Sehari berikutnya, giliran Janice Angelica mempresentasikan rencana pembuatan filmnya, Makwan City of Dreams: Nenek dalam ajang kompetisi Bucheon International Fantastic Film Festival (Bifan) di kompleks Asian Contents & Film Market, bagian dari Busan International Film Festival (BIFF). Dia menjadi salah satu dari sepuluh kontestan. Presentasi materi film yang sudah dia matangkan lewat program Indonesia Film dan Jakarta Film Week itu dia lakukan dalam sesi pitching dan pemilihan menggunakan koin. Dua jam setelah presentasi, Janice keluar sebagai pemenang dan berhak ikut program Goedam Campus 2023.
Baca juga: Pulang Membawa Perubahan
Bagi Janice, kemenangan ini bukan sekadar mendapatkan fasilitas untuk mengembangkan filmnya. Namun yang utama adalah mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan para sineas dari banyak negara dan bahkan berinteraksi dengan mereka sehingga muncul energi kreatif. “Lolos dan bisa ikut ke Busan saja sudah luar biasa,” kata Janice merespons kemenangannya.
Tahun ini, Indonesia mendatangkan tak kurang dari 150 orang. Mereka antara lain sutradara, pemain film, produser, dan wartawan. Tak kurang dari 130 orang di antara mereka dibiayai Direktorat Jenderal Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sisanya ada yang dibiayai BIFF atau patungan antara BIFF dan Kemendikbudristek. Dalam sejarah, inilah jumlah perwakilan Indonesia paling banyak di BIFF.
Programmer BIIF Park Sungho melihat film Indonesia semakin tumbuh dan menarik. Oleh karena itu, BIFF membuat Special Program in Focus bertajuk Renaissance of Indonesia Cinema. Program ini mengapresiasi 12 sineas yang rajin ikut festival dan kini berapa di papan atas perfilman Indonesia. Mereka antara lain Joko Anwar, Yosep Anggi Noen, Kamila Andini, Ifa Isfansyah, Mouly Surya, Tumpal Tampubolon, dan Edwin. Film-film mereka yang rajin ikut festival flm ini, diputar di BIFF. Dalam program ini terdapat 14 film panjang, 6 film pendek, 1 film serial, dan 2 co-production.
“Film indonesia sangat kuat ceritanya dan potensial. Kami juga banyak dibantu teman-teman sineas Indonesia dalam mengurasi film-film di BIFF. Peran mereka amat jelas,” kata Park tentang alasan program Renaissance tersebut.
Posisi Indonesia dalam kancah perfilman global masih dianggap sebagai titik buta (blank spot). Kalau pun ada film bagus dari Indonesia, dianggap sebuah kebetulan, bukan lantaran budaya perfilmannya yang bagus. Program Renaissance ini, setidaknya memberi optimisme bahwa mimpi untuk menjadi negara dengan ekosistem perfilman yang bagus, bukan mimpi kosong.
Selain Janice, beberapa sineas lain juga mendapat penghargaan di BIFF, seperti Makbul Mubarak dan Yulia Evina Bhara mendapat One Cool Award dan berhak atas dana 15.000 dolar AS; Kamila Andini diganjar sebagai Best Visionary Director, sementara Laura Basuki mendapat Asia Wide Award dalam Marie Claire Asia Star Award. Semua dalam rangkaian BIFF.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudistek, Hilmar Farid di Busan sepakat dengan itu. Salah satu tujuannya menghadirkan seratusan orang ke Busan adalah untuk membangun ekosistem tersebut mengingat BIFF merupakan festival film bergengsi dengan kurasi ketat. Mereka yang datang ke Busan dia harapkan mendapatkan pengetahuan tentang gaya, genre, dan isu yang berkembang di ranah global tentang film. Ini kemudian dibawa pulang untuk dijadikan bahan bakar pembangunan ekosistem.
Baca juga: Telah Lahir Generasi Sineas Baru dari Yogyakarta
Tentu saja, BIFF bukan satu-satunya festival yang diincar sineas Indonesia. Pemerintah terus menyokong lewat Dana Abadi Kebudayaan yang antara lain bisa diakses melalui program Indonesiana Film seperti yang dilakukan Janice di atas. Indonesiana Film merupakan program lokakarya untuk mengembangkan kapasitas penulisan skenario dan produksi film bagi para produser, penulis skenario, dan sutradara. “Kami berharap kehadiran orang film lebih ajeg,” kata Hilmar yang optimistis keajegan itu terjaga, paling tidak karena dananya sudah ada.
Lahir dari festival
Para sineas Indonesia amat berterima kasih atas langkah signifikan yang diambil pemerintah dalam membantu dan menemani mereka ke berbagai festival. Bagi mereka festival-festival bagus di berbagai dunia itu dapat memperpanjang usia perfilman dalam negeri. Ini beberapa kisah mereka yang tumbuh dan berkembang dari festival, kemudian menjadi penanda penting bagi perfilman Indonesia.
Sutradara Edwin muncul sebagai salah satu sutradara yang karya-karyanya dikagumi banyak orang, terutama para sineas. Namanya makin menjulang setelah mendapat Golden Leopard, sebuah penghargaan tertinggi di Locarno Film Festival 2021. Sebuah pencapaian adalah tumpukan dari usaha dan kerja keras yang dilakukan bertubi-tubi dan yang membesarkan dia adalah festival-festival film.
Sekitar 19 tahun lalu, Edwin mengingat sebagai sosok yang punya mimpi besar tetapi tidak tahu banyak arah. Ketika membawa film A Very Slow Breakfast, dia mengusahakan tiket dan akomodasi sendiri ke BIFF. Di sana Edwin melihat banyak kemungkinan lain dalam dunia film termasuk berkerja sama dengan sineas-sineas dari berbagai negara yang dulu sama-sama belajar kemudian muncul sebagai sineas handal di negara masing-masing. Kadang mereka bekerja sama dalam membuat film. Dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021), misalnya, Edwin mengajak sineas Thailand, Lee Chatametikool, untuk menjadi penyunting.
Dia mengesankan menemukan energi baru setiap berkumpul dan berbincang dengan teman-teman sesma sineas itu. “Rasanya seperti mudik kalau ke Busan,” kata Edwin.
BIFF memberi penghargaan kepada pemain baru yang mungkin saja masih ringkih. Tetapi penghargaan ini dapat menjadi energi yang luar biasa bagi mereka untuk berkarya lebih jauh.
Tentu saja bukan hanya di Busan. Di berbagai festival film lain seperti di Venice, Berlin, Toronto, atau Cannes mereka kerap bertemu juga. Nah, festival-festival itulah yang membesarkan mereka.
Kali ini Edwin datang sebegai juri untuk kompetisi bergengsi New Current Award. Dia sempat enggan lantaran beban menjadi juri itu berat. Dalam kompetisi New Current Award ini, setiap peserta pasti mempunyai mimpi besar seperti dia ketika 19 tahun lalu dan dia tak ingin membunuh mimpi itu hanya karena film mereka sedikit kurang bagus dibanding yang lain. “Kualitasnya hanya beda tipis-tipis. Ini yang berat,” kata dia.
Baca juga: Si Marjinal yang Terus Bergerak
Namun dia akhirnya bersedia karena ini BIFF, sebuah festival film terbesar di Asia. Bagi dia New Current Award amat penting sebagai pondasi pertumbuhan film. Biasanya, festival-festival film hanya memberi penghargaan bagi sineas yang mapan. Sebaliknya, BIFF memberi penghargaan kepada pemain baru yang mungkin saja masih ringkih. Tetapi penghargaan ini dapat menjadi energi yang luar biasa bagi mereka untuk berkarya lebih jauh.
Ini pula yang disadari sutradara dan produser Ifa Isfansyah. BIFF ingin semua sineas di Asia bisa tumbuh dan berkembang lewat festival ini. Dalam kurun waktu 26 tahun sejak BIFF pertama, hasilnya amat terlihat. Banyak festival berafiliasi dengan BIFF yang digelar di negara-negera di Asia. Ifa, misalnya, tiap tahun menggelar Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) sejak tahun 2006, tak lama setelah dia pulang dari sekolah di Busan berkat beasiswa BIFF.
Tahun 2005, Ifa mendapat kesempatan di Asian Film Academy. Dia menggambarkan dirinya sebagai anak yang belum fasih berbahasa Inggris, baru pertama membuat paspor, dan datang dari sebuah kota yang tidak memiliki budaya film. Lewat berbagai kesempatan workshop dan berinteraksi dengan banyak orang film, muncul gagasan bahwa setiap orang perlu membuat filmnya sendiri.
Baca juga: Festival Film Dokumenter Hidupkan Kembali Bekas Bioskop Permata
Tokoh di BIFF yang amat mempengaruhi Ifa dalam membangun ekosistem film adalah Kim Ji-seok. Dia salah satu pendiri BIFF, pernah menjadi wakil direktur dan kepala program BIFF. Meninggal pada 2017 di sebuah festival film kelas dunia. Dari dia, Ifa mendapat pemahaman bahwa orang Asia-lah yang harus membesarkan film Asia. Orang Indonesia-lah yang harus membesarkan film Indonesia. Orang Yogyakarta-lah yang harus membesarkan film Yogyakarta. Ekosistem film harus dibangun oleh orang-orangnya sendiri. Itulah yang mengilhaminya mendirikan (JAFF) lalu Jogja Film Academy (dulunya Akademi Film Yogyakarta).
Khozy dan Janice mirip dengan Edwin dan Ifa belasan tahun lalu. Artinya, sepuluh atau lima belas tahun lagi, mereka bisa menjadi sineas dengan kompetensi global yang turut menyokong ekosistem perfilman lokal. Tinggal seberapa tekun mereka belajar dari festival ke festival untuk memperpanjang usia perfilman.