Bumbu Enam Dekade Tjik Oneh
Bumbu racik Tjik Oneh sudah terkenal selama enam dekade. Kehadiran bumbu otentik kuliner Nusantara strategis dipakai untuk memperkenalkan dan menyebarkan budaya kuliner Indonesia. Tapi, apa iya segampang itu?
Salah satu rumah berarsitektur gaya lama di seberang stasiun kereta api baru, Matraman, area Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (17/9/2023) siang, terasa ramai. Sejumlah orang berkunjung ke kediaman keluarga pendiri produsen bumbu racik kering kuliner Minangkabau legendaris, Tjik Oneh. Kegiatan itu merupakan bagian dari acara Bertamu ke Rumah Tjik Oneh yang digagas pegiat dan penulis kuliner Rendang Traveler, Reno Andam Suri.
Para pesertanya terdiri dari para pegiat dan praktisi kuliner terutama asal kawasan Jabodetabek. Sebagai merek dagang, nama Tjik Oneh sudah sangat dikenal sejak puluhan tahun lalu. Dirintis oleh Tjik Oneh alias Ahmadbi (1891-1991), enam dekade silam, sekarang bisnis keluarga ini diwariskan dan ditangani oleh generasi ketiganya.
”Pada era tahun 1970-an dan 1980-an, bumbu racik merek Tjik Oneh sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Bumbu racik ini hanya bisa dibeli langsung di tempat atau ditemukan di salah satu pasar swalayan terkenal saat itu. Sejak awal, Tjik Oneh memang tak pernah diiklankan atau membuka cabang,” ujar Reno.
Usaha bumbu racik Tjik Oneh juga menganut filosofi dagang yang terbilang sangat bersahaja. Menurut Komala Dewi (53), cucu kesembilan dari sembilan cucu Tjik Oneh, mereka selalu diingatkan sang nenek agar tak berorientasi mencari keuntungan. ”Jangan cari untung. Cari berkahnya saja. Begitu pesan beliau,” ujar Komala mengutip orangtuanya yang melanjutkan warisan pesan Tjik Oneh.
Dengan filosofi seperti itu, tak heran jika sejak dulu bumbu racik Tjik Oneh juga tak pernah dipromosikan, apalagi diiklankan di media massa mana pun. Promosi yang ada kerap hanya berasal dari mulut ke mulut para pelanggan yang puas dengan kualitas serta rasa dari bumbu racikan mereka.
Karena itu, tambah Komala, pihaknya selalu merasa tertantang untuk terus berupaya menjaga kualitas dan harga agar selalu terjangkau pelanggan. Komala mengklaim bumbu kering racikan mereka bisa bertahan lama hingga beberapa tahun sepanjang disimpan dengan baik dan dalam kondisi kering.
Sejumlah restoran masakan Minang, termasuk yang sudah punya nama besar, menjadi langganan Tjik Oneh hingga saat ini. Mereka biasanya membeli dalam jumlah besar, kemudian akan didistribusikan lagi ke dapur-dapur di semua cabang restoran masing-masing. Pelanggan partai besar seperti ini biasanya tak membeli produk bumbu racik kering yang sudah dikemas dalam saset dan bercap Tjik Oneh.
Mereka biasanya membeli dalam jumlah besar, kemudian akan didistribusikan lagi ke dapur-dapur di semua cabang restoran masing-masing.
Reno juga bercerita, saking bersahaja dan lugunya, pihak keluarga keturunan Tjik Oneh juga tak pernah sekali pun berencana menggugat atau memperkarakan secara hukum pihak-pihak yang selama ini ketahuan telah memalsukan produk mereka. Padahal, selama ini ada banyak dan dengan mudah bisa ditemukan pihak-pihak tertentu yang mengaku-ngaku atau bahkan memasarkan bumbu racik Tjik Oneh sampai ke lokapasar alias marketplace.
”Salah satu kenalan saya yang bekerja di perusahaan besar pernah memborong paket-paket saset bumbu racik Tjik Oneh di marketplace untuk dijadikan semacam hampers di acara kantornya. Waktu saya bilang itu semua palsu dan bukan dari Tjik Oneh, dia terkejut karena sudah telanjur membeli banyak,” ujar Reno yang segera dibenarkan oleh Komala.
Saat diperingatkan bahwa ada banyak pemalsuan terhadap produk dan merek mereka, pihak keluarga Tjik Oneh hanya mengambil langkah sederhana. Mereka cuma menambahkan satu cap atau stempel lagi merek Tjik Oneh di kemasan. Sebelumnya cuma ada satu cap di atas kertas kemasan pembungkus warna coklat, seperti yang biasa dijadikan bungkus kopi bubuk zaman dulu.
”Jadi, ya, mereka cuma bilang, oh, ini sudah kami stempel dua kali capnya. Jadi bisa untuk membedakan yang asli dari yang palsu. Selugu itulah mereka dan kadang membuat saya ikut gemas. Beruntung merek dagangnya, Tjik Oneh, sudah dipatenkan,” tambah Reno.
Pihak Tjik Oneh memastikan mereka tak pernah menjual produknya dengan cara daring di lokapasar mana pun. Kebanyakan pelanggan biasa datang dan menghubungi langsung, baik dalam pesanan partai besar maupun eceran.
Hingga saat ini pemasaran bumbu racik kering Tjik Oneh sudah merambah banyak kota besar, sekitar tiga perempat wilayah Indonesia. Ada juga pelanggan dari luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia.
Baca juga : Mengenalkan Bumbu lewat Indonesia Spice Up the World
Untuk wilayah dalam negeri, pemasaran meliputi Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, bahkan sampai Kota Sorong, Papua. Per bulan, total pesanan yang harus dipenuhi berkisar 200-500 kilogram bumbu racik kering jadi.
Saat ini ada empat macam bumbu racik kering utama yang diproduksi dan diperjualbelikan, yaitu bumbu untuk rendang, gulai, opor, dan bumbu untuk membuat kue spekuk.
Masing-masing bisa dipakai dan dimodifikasi lagi saat memasak untuk membuat sajian lain. Tentu saja dengan menambah beberapa jenis bumbu yang lain lagi.
Bumbu gulai, misalnya, bisa dipakai untuk membuat nasi goreng, kari, atau nasi kebuli. Lalu, bumbu opor bisa dipakai untuk membuat soto Minang. Sementara bumbu spekuk bisa dipakai untuk membuat semur.
Sejarah Tjik Oneh
Awalnya, Tjik Oneh yang bersuamikan H Ismail tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pasangan itu aktif dan berjasa pada negara lantaran menjadikan tempat tinggal mereka sebagai fasilitas dapur umum untuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat itu, ibu kota negara terpaksa berpindah dari Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Tjik Oneh juga punya usaha berdagang beragam cendera mata khas Sumbar dan juga perlengkapan shalat. Setelah suaminya wafat pada tahun 1950-an, Tjik Oneh lantas pindah ke ibu kota Jakarta dan tinggal bersama salah seorang putranya. Di Jakarta, dia lanjut berdagang cendera mata dan perlengkapan shalat.
Saat perhelatan Asian Games 1962 di Jakarta, Tjik Oneh juga ikut terlibat. Dia saat itu mendapatkan sertifikat penghargaan dari Menteri Perdagangan untuk keikutsertaannya. Sertifikat itu hingga kini bahkan masih tergantung di salah satu sudut dinding ruang tamu rumah di kawasan Matraman, tempat produksi bumbu racik kering Tjik Oneh.
Selain berdagang, Tjik Oneh terkadang juga diminta membantu memasak setiap kali ada hajatan besar. Beberapa nama besar biasa meminta bantuan Tjik Oneh memasak untuk acara-acara hajatan mereka. Nama Tjik Oneh dan kelezatan masakannya sudah dikenal banyak pihak, terutama beberapa tokoh besar, sejak masih menangani dapur umum PDRI di Bukittinggi.
Beberapa pembesar seperti pengusaha besar di masanya, Hasjim Ning, dan bapak proklamator kemerdekaan RI, Moh Hatta. Hatta bahkan disebut kenal secara pribadi dengan Tjik Oneh dan memintanya memasak untuk pesta pernikahan salah seorang anaknya.
”Waktu itu kami masih kecil-kecil, tapi suka diajak nenek dan ibu saat mereka diminta membantu memasak, termasuk di rumah Pak Hatta. Nenek kami sudah kenal beliau sejak ibu kota pindah ke Bukittinggi dulu,” ujar Komala.
Mulai tahun 1970-an, bumbu racik Tjik Oneh resmi diproduksi dan diperjualbelikan. Dalam kunjungan kali ini, Komala dan keluarga juga mengajak para tamu melihat-lihat ke dapur produksi di rumah mereka. Di dapur itu terdapat dua mesin giling bumbu rempah, peralatan saring, penyangrai, dan area untuk menjemur rempah-rempah bahan baku bumbu.
Menurut Komala, mereka memproduksi bumbu sesuai pesanan yang datang. Biasanya mereka menggiling aneka rempah dengan mesin giling sendiri. Namun, mereka juga punya pabrik penggilingan bumbu skala besar jika sedang menerima pesanan dalam jumlah banyak. Proses peracikan dilakukan sendiri dengan mengerahkan beberapa anggota keluarga dan orang-orang kepercayaan yang dipekerjakan. Hal itu dilakukan untuk menjaga kerahasiaan formula bumbu racik kering mereka.
Hasil jadi bumbu racikan rempah-rempah kering berbentuk bubuk itu kemudian disimpan dalam kemasan berplastik demi menjaga aromanya. Setelah itu, baru dikemas dalam dua macam ukuran. Per saset dengan berat sekitar 25 gram dan kemasan per ons.
Bumbu ukuran saset 25 gram biasanya dipakai untuk membumbui seekor ayam atau 1 kilogram daging sapi atau kambing. Sementara bumbu kemasan 1 ons bisa digunakan untuk membumbui sekitar 5 kilogram daging sapi, kambing, atau unggas.
”Nanti ada juga pesanan selain per saset, semisal untuk dikirim ke restoran tertentu, sebanyak 100 kilogram atau 50 kilogram untuk dikirim ke Manado. Nanti mereka akan simpan biasanya dalam lemari pendingin agar tahan lama,” tambah Komala.
Bumbu sebagai kunci
Dalam kesempatan terpisah, pakar kuliner Indonesia yang juga menguasai kuliner Eropa dan Asia, William Wongso, menyebut, upaya memperkenalkan kuliner Nusantara ke luar negeri butuh strategi jitu. Salah satu yang bisa menjadi kunci adalah menerapkan strategi membawa dan memperkenalkan bumbu-bumbu racikan kuliner Indonesia ke pasar dunia.
Langkah itu, menurut dia, sudah jauh lebih dulu dilakukan beberapa negara di kawasan Asia dan Asia Tenggara. Sebut saja Jepang, China, Korea Selatan, dan bahkan sejumlah negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Vietnam. Bumbu-bumbu racikan masakan, saus, dan kecap asal negara-negara tersebut sudah sejak lama mudah ditemukan di luar kawasan negara-negara tersebut, misalnya di Australia. William bahkan menyebut, kuliner asal daerah-daerah spesifik di China dia temukan banyak dijual di Sydney atau Melbourne.
Beberapa waktu terakhir, William telah menerapkan strategi berbasis bumbu masakan saat membuka sejumlah restoran yang menjual menu nasi bungkus khas Indonesia. Menu nasi bungkus dengan beragam lauk dan cara penyajian seperti di Tanah Air itu dijual di restoran Garam Merica yang sudah dibuka di Melbourne dan Sydney.
”Jadi, di Garam Merica aku ubah strateginya, dari yang berbasis resep atau juru masak (recipes atau chef based) jadi yang berbasis bumbu. Dengan berbasis bumbu, kita bisa berhemat sampai 60 persen. Coba bayangkan,” ujarnya.
Hal itu bisa terjadi lantaran di luar negeri, termasuk Australia, pekerja dibayar per jam. Dengan demikian, biayaproduksi jadi lebih tinggi, terutama untuk upah pekerja dan chef. Ditambah lagi, tak mudah mencari koki atau chef yang benar-benar menguasai masakan Indonesia. Pengadaan bahan-bahan baku untuk meracik bumbu juga menjadi persoalan besar tersendiri.
”Sekarang kalau perlu bawang merah, jenis dan ukurannya saja sudah beda kalau dibandingkan dengan yang biasa kita pakai di Tanah Air dengan yang bisa dibeli di sana. Belum lagi cabai yang di sana rasanya enggak keruan. Kalau mau mendatangkan semua dari Indonesia, biaya mengekspornya pasti tinggi dan belum tentu juga mendatangkan manfaat bagi perekonomian Indonesia,” tutur William.
Di satu sisi, William menyebut ada peluang terutama bagi para pengusaha atau produsen bumbu racik lokal Tanah Air. Akan tetapi, di sisi lain, dia juga menekankan pentingnya diadakan pembenahan besar-besaran jika memang para produsen bumbu racikan, terutama skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ingin mengambil kesempatan dan peluang itu.
Beberapa waktu lalu, ia mengusulkan dua program bernama Spice Up the World dan Spice Up Nusantara. Hal pertama terkait upaya memasarkan bumbu racikan kuliner khas Tanah Air atau Nusantara ke negara lain. Sementara program kedua tak kalah penting, yaitu untuk memperkuat dasar di ranah internal sebelum ”bersaing” ke luar negeri.
Caranya, tutur William, dengan terlebih dulu matang bersaing di dalam negeri antara para produsen bumbu. Ini bisa dilakukan dengan memperkenalkan bumbu dari setiap daerah ke daerah lain. Jadi, bumbu kuliner Aceh bisa diperkenalkan dan dipasarkan di Jawa, begitu pula sebaliknya. Langkah itu, imbuhnya, sudah dilakukan sejak lama di Jepang.
”Di supermarket besar di sebuah mal di Jepang, disediakan satu tempat untuk daerah-daerah di Jepang, masing-masing membuat stan untuk menjual semua produk (unggulannya). Semisal Hokkaido, di stan daerahnya dia jual berbagai macam produk laut, daging, butter. Semua diperkenalkan. Hal sama juga aku temukan di Shanghai saat kemarin ke sana,” papar William.
Dengan cara-cara seperti itu, produk unggulan daerah bisa diperkenalkan dan bersaing satu sama lain. Dan, yang unggul nantinya bisa masuk ke pasar ekspor.
Baca juga : Rempah ”Bumbu Penawar Rindu” Diaspora Nusantara
William mengkritik UMKM yang kurang mandiri dan tak mau berjuang sehingga terkesan hanya ”merengek”, selalu minta dibantu pemerintah untuk ke luar negeri. Begitu juga dengan kebiasaan salah kaprah beberapa produsen berskala UMKM yang telanjur merasa sudah menembus pasar ekspor, padahal produk mereka baru sekadar dipesan dan dibeli konsumen dari luar negeri.
Cara penjualan semacam itu bisa dilakukan lewat jasa penitipan alias jastip. ”Istilah ekspor kadang dipakai UMKM dengan dibesar-besarkan. Sementara sekarang bisa kirim ke luar negeri lewat jastip, tapi lalu dibilangnya sudah berhasil mengekspor. Padahal, (mengirimnya) enggak sampai satu kontainer,” kata William.