“Istana Berkebaya” dan Menegaskan Identitas Budaya
Pemaknaan kebaya berubah mengikuti suasana zaman. Ketika nasionalisme Indonesia digelorakan saat berjuang untuk merdeka, laki-laki mengadopsi pakaian Barat sebagai busana sehari-hari.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Istri pejabat negara mengenakan kebaya berjalan di landas peraga dalam acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023). Acara dalam rangka rangkaian HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia ini diikuti 401 penampil. Presiden Joko Widodo bersama Ibu Iriana Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin bersama Ibu Wury Estu Handayani Ma'ruf Amin hadir dalam acara ini.
Menjelang peringatan HUT ke-78 Indonesia, Presiden Joko Widodo, Ny Iriana Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ny Wury Ma’ruf Amin, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menghelat “Istana Berkebaya”. Ini pertama kali Istana mengadakan kegiatan semacam ini.
Ketika undangan datang melalui pesan What’sApp dari Biro Pers Istana untuk berpartisipasi dalam acara “Istana Berkebaya” pertanyaan pertama adalah dalam rangka apa dan mengapa berkebaya (encim)?
Presiden Jokowi saat membuka acara bersama Ny Iriana mengatakan, “Kebaya itu melambangkan karakter masyarakat Indonesia yang anggun, yang lemah lembut, yang sopan, dan bersahaja.” Karena diadakan di Istana Merdeka di Jakarta, maka tema yang dipilih kebaya encim yang merupakan ciri pakaian perempuan Jakarta.
Pilihan menampilkan parade “Istana Berkebaya” di halaman depan Istna Merdeka pada Minggu, 6 Agustus 2023, bersambungan dengan keputusan Presiden Indonesia, yaitu tanggal 24 Juli menjadi Hari Kebaya Nasional.
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2023 menetapkan, pertama, kebaya merupakan identitas nasional perekat bangsa yang bersifat lintas etnis dan telah berkembang menjadi aset budaya sangat berharga sehingga perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Kedua, kebaya berkembang menjadi busana yang digunakan secara nasional dalam berbagai kegiatan berskala nasional maupun internasional. Ketiga, pada Kongres Wanita Indonesia X yang dihadiri Presiden Soekarno dinyatakan Revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa keterlibatan perempuan di mana seluruh perempuan yang hadir pada Kongres tersebut memakai kain kebaya. Keempat, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kebaya.
Warisan budaya
Kebaya dianggap sebagai warisan budaya Indonesia karena sudah dikenal sejak kedatangan Islam ke Nusantara. Sejarawan Perancis, Denys Lombard, dalam buku kedua dari trilogi Nusa Jawa Silang Budaya (Carrefour Javanais, edisi terjemahan diterbitkan Gramedia) mencatat pakaian yang pas di tubuh, termasuk kebaya, muncul perlahan pada abad ke-15 sampai abad ke- 16 bersama datangnya Islam. Hal yang berbau seksual ingin ditutup, termasuk bagian atas tubuh yang sebelumnya terbuka. Lombard mengutip kamus Hobson-Jobson, kata kabaya berasal dari bahasa Arab kaba (“pakaian”), tetapi diperkenalkan melalui bahasa Portugis.
Seperti batik Indonesia yang lebih dulu mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda, kebaya di Indonesia, terutama Jawa, juga terus mengalami perubahan. Kebaya sebagai baju atas bukaan depan mengikuti mode pada jenis kain, warna, dan ragam hias.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Luar Negeri Retno P Marsudi ikut berjalan di landar peraga memeriahkan acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Bila batik terus berevolusi sebagai pakaian sehari-hari maupun tetap menjadi bagian kehidupan orang Indonesia dari masih dalam kandungan hingga menutup mata, kebaya menjadi pakaian yang dipakai hanya pada acara tertentu. Meskipun dapat dikenakan dengan busana selain kain panjang, keanggunan kebaya adalah bila dipadankan dengan kain panjang atau sarung.
Upaya merekonstruksi dan mendekontruksi kebaya terus terjadi. Para perancang busana berperan besar. Prajudi Admodirdjo mengenalkan kebaya dengan pangkal lengan mengembang yang segera ditiru hingga ke kampung-kampung di Jawa. Edward Hutabarat yang berasal dari Tanah Batak mengenalkan kebaya “cantik” dan bersikeras kebaya nasional harus mengikuti “pakem”: bukaan depan, memakai kain panjang berwiru, rambut dikonde, dan berselop. Anne Avantie dan Lenny Agustin adalah dua desainer dari beberapa yang terus bergulat dengan kebaya.
Pemaknaan kebaya berubah mengikuti suasana zaman. Ketika nasionalisme Indonesia digelorakan saat berjuang untuk merdeka, laki-laki mengadopsi pakaian Barat sebagai busana sehari-hari. Lombard memperkirakan alasannya: pakaian Barat lebih murah daripada pakaian orang Jawa yang terdiri dari blangkon (tutup kepala), beskap (kemeja), dan kain panjang batik. Tetapi, tidak ada cukup alasan jelas mengapa perempuan harus berkebaya dan berkain panjang.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Penyanyi Bunga Citra Lestari berjalan di landas peraga dalam acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Dari kacamata pengguna boleh jadi berkebaya dan berkain tidak terlalu praktis atau biayanya lebih mahal daripada gaun ala Barat sehingga kurang populer. Tentu pengalaman ini subyektif, karena pendiri Perempuan Berkebaya Indonesia Rahmi Hidayati mengaku tetap berkain panjang dan berkebaya saat mendaki gunung dan terjun payung.
Bila sejumlah pemikir melihat kain dan kebaya membatasi gerak perempuan dan lebih menonjolkan seksualitas, perempuan aktivis mengenakan kebaya sebagai perlawanan terhadap dunia konsumsi dengan selera ditentukan industri mode Barat. Mereka merasa nyaman berkain dan berkebaya karena dapat dipakai untuk berbagai acara. Lagi pula ada ekonomi perempuan penenun dan pembatik di dalamnya.
Cerah meriah
Parade “Istana Berkebaya” melibatkan sekitar 400 perempuan berkebaya encim dalam warna cerah dengan aneka variasi bordir dan kerancang, berpadan sarung batik beragam warna dan corak, berjalan di catwalk sepanjang 200 meter terbagi dua bagian.
Walakin, bukan berarti kebaya satu-satunya pakaian nasional. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2018 tentang Pakaian Pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi menjelaskan, pakaian nasional adalah pakaian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang dapat digunakan pada acara kenegaraan dan acara resmi.
Diterimanya kain dan kebaya secara luas menunjukkan pakaian ini praktis dikenakan, mudah didapat, dan harganya jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan berbagai pakaian daerah lain. Selain itu, memungkinkan lahirnya banyak inovasi untuk memberi ciri khas pada kebaya Indonesia. Pada sisi lain, Indonesia memerlukan identitas budaya yang membedakan dari bangsa-bangsa lain, terutama dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand. Keempatnya bersama Indonesia mengajukan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Karena itu, ciri khas kebaya Indonesia harus ditemukan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Perempuan mengenakan kebaya hadir untuk menonton acara Istana Berkebaya di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (6/8/2023).
Seperti dikatakan Jokowi, “Kita lihat tadi yang pakai… ibu-ibu menteri, istri menteri, dubes perempuan, istri dubes, pemimpin redaksi, jurnalis, pegawai, anak sekolah, sampai peragawati profesional… Semuanya pantas, dan kalau dipakai sehari-hari tidak akan mengganggu aktivitas… Sebagai warisan budaya, saya berharap seluruh perempuan Indonesia turut melestarikan dan mengembangkan.”