Industri mode berputar dan mencari cara bertahan. Meski kebutuhan orang terhadap sandang tak berkurang, kesadaran mengenai keberlangsungan Bumi mendorong industri mode global, termasuk di Tanah Air, untuk beradaptasi.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·6 menit baca
KOMPAS/RIANA A IBRAHIM
Lokakarya Gambaran Industri Mode Setelah Pandemi dan Potensi Indonesia di Mata Pelaku Internasional di Auditorium IFI, Jakarta, Selasa (25/7/2023). Hadir di acara itu (dari kiri) Consulting Strategy Commercial at Mossi Officiel Christelle Languillat, Founder of Marinho Paris Veronique Marinho, Director of Premiere Classe Paris Trade Show Sylvie Pourrat, Sales Director at Printemps Haussmann Julie Charvy, dan Regional Manager for Western Europe at The Woolmark Company Damien Pommeret.
Industri mode selalu berputar dan mencari cara untuk bertahan. Meski kebutuhan orang terhadap sandang urung berkurang, kesadaran mengenai keberlangsungan Bumi yang ditinggali mendorong industri mode global, termasuk di dalam negeri, patut serius beradaptasi.
Dari tahun ke tahun, pertumbuhan perancang busana dan jenama dengan ragam karyanya di Indonesia terasa menggembirakan. Para desainer senior kenamaan pun tetap menginspirasi dengan rangkaian koleksi yang rutin disuguhkan ke khalayak.
Akan tetapi, hal ini saja tak cukup. Kehidupan industri mode Indonesia bisa terus berkesinambungan jika ditopang dengan spirit dan pemahaman matang mengenai definisi mode, peta bisnis, dan tujuannya. Meski identik dengan mewah dan gemerlap, bukan berarti halal untuk membangun industri mode dengan gelimang sensasi yang tujuannya tak pasti.
Peristiwa Pekan Mode Paris pada 2022 yang ramai diperbincangkan karena keterlibatan jenama Indonesia sesungguhnya bisa menjadi kesempatan introspeksi dan membenahi arah industri mode. Indonesia punya banyak potensi dengan desainer dan pelaku industri dari skala kecil hingga besar yang benar berkarya, bukan sekadar ingin panjat sosial belaka.
Melalui lokakarya bertajuk ”Gambaran Industri Mode Setelah Pandemi dan Potensi Indonesia di Mata Pelaku Internasional”, gagasan untuk mengingatkan tujuan industri mode Tanah Air mengalir. Acara ini merupakan bagian dari kegiatan milik PINTU Incubator yang diselenggarakan di Auditorium Institut Français d’Indonesie (IFI), Jakarta, Selasa (25/7/2023).
PINTU Incubator adalah sebuah kolaborasi antara JF3, LAKON Indonesia, dan Kedutaan Besar Perancis melalui IFI guna melakukan proses inkubasi bagi pelaku mode Indonesia untuk dapat berkembang, bahkan menembus pasar internasional. Pada pelaksanaan tahun keduanya ini, ada empat jenama yang dibawa ke Paris Trade Show-Premiere Classe pada Maret 2023, yakni Apa Kabar, Parapohon, Tenun Imam, dan Tenun Lurik Rachmad.
Director of Premiere Classe Paris Trade Show Sylvie Pourrat yang hadir dalam lokakarya ini menjelaskan, keterlibatan para desainer dan jenama Indonesia ini didasarkan pada hasil karya mereka dan pesan yang disampaikan. Selain itu, konsistensi dan kesabaran juga penting apabila ingin menembus pasar global.
”Tidak hanya Paris. Paris itu hanya platform. Kuncinya adalah sabar dan enggak bisa sekali coba langsung masuk, atau hanya sekali saja ikut trade show. Jika sudah sekali berhasil ikut, selanjutnya perlu mempersiapkan lagi untuk tembus karena ini jadi tolok ukur dan memperoleh kepercayaan para buyer,” tutur Sylvie.
Walakin, kegigihan saja tidak cukup mengingat industri mode dunia kini tengah mencari bentuk yang sesuai untuk menyasar targetnya. Begitu pula dengan Indonesia, baik jenama maupun perancang busana diharapkan bisa mengeluarkan kekhasan di tiap koleksi yang diluncurkan dan memiliki pesan serta cerita untuk disampaikan.
Manajer Regional untuk Eropa Barat The Woolmark Company Damien Pommeret mengungkapkan, kondisi pasar mode di Eropa saat ini tak mudah, bahkan bagi jenama tersohor sekalipun. Pembeli kini benar-benar mempertimbangkan untuk membeli pakaian, sepatu, ataupun aksesori. Selain kebutuhan, alasan kuat untuk bersedia membeli adalah spirit dan cerita di balik barang yang hendak dibelinya.
KOMPAS/RIANA A IBRAHIM
Lokakarya Gambaran Industri Mode Setelah Pandemi dan Potensi Indonesia di Mata Pelaku Internasional di Auditorium IFI, Jakarta, Selasa (25/7/2023). Hadir dalam acara itu (dari kiri) Atase Kebudayaan Kedubes Perancis untuk Indonesia Charlotte Esnou, Director of Premiere Classe Paris Trade Show Sylvie Pourrat, Founder of Marinho Paris Veronique Marinho, Consulting Strategy Commercial at Mossi Officiel Christelle Languillat, Sales Director at Printemps Haussmann Julie Charvy, Regional Manager for Western Europe at The Woolmark Company Damien Pommeret, dan Co-Initiator PINTU Incubator, Founder of LAKON Indonesia Thresia Mareta.
Mode sirkular berkelanjutan
Direktur Penjualan dari Printemps Haussmann, Julie Charvy, juga sepakat. Ini terlihat dari tren pembelian di pusat perbelanjaan tempatnya bekerja. ”Baju ada banyak. Yang punya cerita dan punya pesan tidak banyak. Jika mau dilirik, harus menawarkan sesuatu yang berbeda. Cari orisinalitas dari produkmu,” ungkap Julie.
Salah satu pesan dan cerita yang kini diminati berkaitan dengan mode berkelanjutan (sustainable fashion). Dengan semangat ini, orang-orang pun rela bayar mahal untuk mencari yang awet dan berkualitas. ”Kecenderungan saat ini, termasuk di Perancis, orang-orang memilih membeli sedikit baju, tapi awet dan tahan lama, bisa dipakai bertahun-tahun, tapi tetap stylish karena tidak ingin menambah tumpukan sampah juga pada akhirnya. Bahkan, barang upcycling itu cukup laku. Dan, jangan lupa, harga juga jadi pertimbangan penting,” ujar Julie.
Apa yang disampaikan ini pun sejalan dengan temuan riset dari McKinsey & Company berjudul ”The State of Fashion 2023”. Dalam riset ini, sekitar 76 persen dari gen Z dan milenial tak lagi konsumtif membeli produk mode. Jika membeli, mereka lebih memilih harga yang miring atau mencari diskon untuk barang yang berkualitas sehingga awet digunakan.
Kesadaran terhadap keberlangsungan lingkungan juga makin mendorong generasi saat ini untuk mengerem pembelian produk mode, terlebih yang tidak sesuai dengan nilai dalam dirinya. Pada riset ini, gen Z dan milenial juga cenderung memilih busana tanpa ada pakem jender. Tentu ini tak lepas dari pengaruh para pesohor, seperti Harry Styles yang memakai rok atau Selena Gomez berkaus gombrong.
Untuk itu, para pelaku industri mode, termasuk di Indonesia, perlu lebih menggali produk yang hendak ditawarkan. Label sustainable atau eco-friendly saja tak cukup mengingat pembeli saat ini dapat melacak secara digital. Istilah greenwashing pun telah dikenal awam. Mengutip dari laman green.ui.ac.id, greenwashing adalah suatu strategi pemasaran dan komunikasi suatu perusahaan untuk memberikan citra yang ramah lingkungan, baik dari segi produk, nilai, maupun tujuan perusahaan, tanpa benar-benar melakukan kegiatan yang berdampak bagi kelestarian lingkungan.
”Ini banyak terjadi di luar sana. Untuk itu, ini jadi pembelajaran agar para desainer atau perusahaan yang bergerak di mode memahami benar dan memiliki nilai yang tepat tentang sustainable. Sebab, jika terbukti greenwashing, efeknya tentu buruk, baik di kalangan sendiri maupun global,” papar Damien.
Di Inggris, misalnya, seperempat dari konsumen produk mode membeli berdasarkan nilai keberlanjutan lingkungan ini. Sementara di Norwegia dan Belanda, konsumen teliti dan siap membongkar perusahaan atau pelaku mode yang melakukan greenwashing. Sementara di Perancis tengah dimatangkan legislasi mengenai kewajiban mencantumkan label karbon dengan skor yang mengindikasikan dampak lingkungan dari produksi produk mode itu sehingga pembeli dapat mengetahui detail.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Tamu undangan mengabadikan peragaan busana dari LAKON Indonesia pada penutupan perhelatan JF3 2023 di Sumarecon Mall Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (26/7/2023) malam. JF3 kali ini mengusung tema #JF3PowerToEmpower yang bertujuan mendorong pemberdayaan industri mode Indonesia secara berkelanjutan.
Dengan aturan legal yang hendak diterapkan, pelanggaran terkait nilai keberlanjutan ini tak hanya berpengaruh pada reputasi jenama, tetapi juga membuat jenama atau desainer bisa dijatuhi denda karena tak sesuai kaidah atau sengaja menyesatkan konsumen demi keuntungan semata.
Founder of Marinho Paris, Veronique Marinho, menyampaikan, Indonesia punya potensi besar untuk menggali nilai-nilai tersebut disandingkan dengan budaya. Wastra nusantara yang dilihatnya selama beberapa hari di Indonesia umumnya dibuat secara alami. Meski tak sedikit juga yang tak mengindahkan mode berkelanjutan dan hanya fokus pada kain tradisi. ”Perlu keberanian besar untuk itu dan memodernisasi tanpa harus kehilangan nilai dan akar budaya,” ujar Veronique.
Konsultan dari Mossi Officiel, Christelle Languillat, pun menegaskan, komunikasi dan cara menawarkan produk menjadi penting. Apabila semua syarat dan nilai sudah dipegang, peta bisnis pun tinggal disempurnakan dengan pemilihan cara komunikasi efektif yang khas untuk memperkenalkan jenama atau produknya. ”Pasar ini sangat kompetitif. Jangan sekali-kali mengomunikasikan sesuatu yang tidak kamu lakukan atau yang tidak ada dalam produkmu. Kamu harus menunjukkan kepada pembeli bahwa dirimu bisa dipercaya,” tuturnya.
Pergeseran sudut pandang industri mode saat ini memang memaksa semua pihak beradaptasi dan berinovasi. Pakaian bukan sekadar peranti untuk melindungi tubuh atau bergaya saja. Makin ke sini, masyarakat dunia kian mawas dan sadar sehingga adagium ”secukupnya” pun diimplementasikan untuk semua lini kehidupan, termasuk mode.
Kondisi ini pun sejatinya bisa menjadi pedoman baru bagi industri mode, skala kecil, menengah, ataupun besar. Industri mode tak akan pernah mati, jika yang dikejar memang misi yang memiliki nilai untuk menghidupi industri mode negeri, bukan sekadar sensasi sesaat ke luar negeri demi klaim kelompok sendiri tanpa ada prospek yang ajeg untuk mematenkan mode Indonesia yang berkelanjutan.