Perjuangan Para Peracik Rasa
Sebelum tahun 2010-an, chef masih dianggap profesi eksklusif. Ketika proifesi ini mulai tenar, banyak kalangan muda tertarik menekuni pekerjaan chef. Apa menariknya?
Setidaknya dalam satu dekade terakhir profesi juru masak atau chef makin meroket. Popularitasnya meningkat, terutama lantaran turut terbantu tayangan TV, baik di stasiun terestrial maupun berlangganan.
Program TV berwaralaba, mulai kontes hingga pertunjukan realitas (reality show) memasak, bermunculan. Acara tadi seolah membombardir khalayak, termasuk menampilkan sosok dunia macam Gordon Ramsay, Jamie Oliver, dan mendiang Anthony Bourdain.
Sejumlah program juga memunculkan nama lokal, yang tak kalah digemari. Mereka bahkan menjadi selebritas baru atau selebgram. Sebutlah Renatta Moeloek dengan 2,6 juta pengikut dan Juna Rorimpandey dengan 1,6 pengikut di Instagram.
Dalam konteks itu, chef menjadi talent dunia hiburan. Padahal, profesi satu ini sebelumnya hanya dikenal di balik layar. Kalaupun chef tertentu tenar, itu lebih mengacu kreasi masakannya. Orang berdatangan lantaran ingin mencicipi makanannya.
Menurut pemerhati sekaligus penulis sejumlah buku kuliner, Kevindra Soemantri, Kamis (4/5/2023), sebelum tahun 2010-an, chef masih dianggap profesi eksklusif. Namun, dengan ketenarannya, kian banyak kalangan muda tertarik, menganggap pekerjaan itu keren, sekaligus menjanjikan secara finansial.
Kebanyakan anak muda tadi berasal dari kalangan menengah atas. Mereka dengan mudah mengakses kanal TV berbayar yang menayangkan tontonan kuliner. Selain itu, mereka terbiasa menjadi konsumen restoran berkonsep chefdriven.
Sebagian mereka melanjutkan studi ke sekolah kuliner bergengsi di Asia, Australia, dan Eropa. Hal itu biasanya dilakukan atas biaya sendiri. Saat chef semakin tren di Tanah Air, anak-anak ini kembali ke Tanah Air untuk mendirikan restoran dan pastri. Baik dengan modal sendiri maupun bekerja sama dengan pemodal lain. Mereka membuka lapangan kerja. Beberapa ada yang bekerja di restoran atau hotel besar.
Merintis dari bawah
Beberapa dari mereka merintis karier sebagai chef dari posisi terbawah, secara otodidak, maupun menempuh pendidikan. Salah satu chef otodidak adalah Kepala Chef Restoran Kaum Jakarta, Rachmad Hidayat. Ia senang membantu ibunya berbelanja dan memasak sejak usia empat tahun. Ia mengawali karier sebagai steward yang mencuci piring dan membuang sampah restoran di Jakarta, tahun 2000-an.
Posisi dan keterampilannya naik. Mulai asisten juru masak (cook helper) yang menyiapkan bahan lalu demi chef alias chef de partie yang mengawasi kinerja karyawan. Seiring kepercayaan meningkat, Rachmad menjadi sous chef yang menyiapkan resep. Hingga menjadi head chef sekarang, ia tak pernah mengenyam pendidikan khusus kuliner. Namun, Rachmad kerap dipercaya meracik dan menyajikan kelezatan bagi para tokoh penting, seperti Presiden Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri.
Ia juga pernah memasak untuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh luar negeri macam Perdana Menteri Inggris Tony Blair, serta tokoh asal Uni Emirat Arab.
Nelayan jadi chef
Kerja keras merintis dari bawah juga dilakukan pemilik sekaligus pendiri Home By Chef Wayan, I Wayan Kresna Yasa, saat ditemui di restorannya di Canggu, Bali, Jumat (2/6/2023). Seperti Rachmad, Wayan senang membantu orang tua memasak sejak kecil, terutama saat persiapan upacara adat dan agama di desanya di Nusa Penida.
Kebiasaannya memasak makanan tradisional dan rumahan berlanjut hingga sekarang. Di restorannya, ia mengangkat berbagai menu tradisional Bali, terutama Nusa Penida dengan pendekatan modern sebagai sajian signature terutama bagi tamu asing.
Hidangan signature-nya bahkan disajikan saat ia ditunjuk sebagai kurator sekaligus juru masak menu makan siang kepala negara di KTT G20, November 2022.
Kerja keras merintis dari bawah juga dilakukan pemilik sekaligus pendiri Home By Chef Wayan, I Wayan Kresna Yasa, saat ditemui di restorannya di Canggu, Bali, Jumat (2/6/2023). Seperti Rachmad, Wayan senang membantu orang tua memasak sejak kecil, terutama saat persiapan upacara adat dan agama di desanya di Pulau Nusa Penida.
Kebiasaannya memasak makanan tradisional dan rumahan berlanjut hingga sekarang. Di restorannya, ia mengangkat berbagai menu tradisional Bali, terutama Nusa Penida, dengan pendekatan modern sebagai sajian signature terutama bagi tamu asing.
Hidangan signature-nya bahkan disajikan saat ia ditunjuk sebagai kurator sekaligus juru masak menu makan siang kepala negara di KTT G20, November 2022.
“Saya tak pernah membayangkan studi ke luar kampung halaman (Nusa Penida). Sejak SMP dan SMA, saya menyambi sebagai nelayan untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagian hasil (tangkapan) juga dimakan sendiri,” ujarnya.
Tahun 2011, Wayan yang menikahi Mary, perempuan kelahiran California, Amerika Serikat, berangkat ke Negeri Paman Sam. Mereka berkeliling ke beberapa negara bagian kemudian memilih menetap di Chicago. Wayan berencana sekolah sambil bekerja paruh waktu.
Wayan mengaku tak terlalu percaya diri. Ia merasa di usia 27 tahun sudah terlambat kuliah. Belum lagi, kendala bahasa Inggris. Untuk lolos persyaratan, Wayan masuk kelas bahasa Inggris.
“Saya hampir tak lolos karena skor kurang satu poin. Beruntung, kampus memberi kesempatan. Saya buktikan dengan kerja keras dan jadi lulusan terbaik di angkatan saya,” tambahnya.
Perjalanan panjang justru dimulai setelah Wayan diterima di Washburne Culinary Institute at Kennedy King College. Ia menjalani kehidupan ganda, menjadi mahasiswa pada pagi dan siang, lalu bekerja hingga dini hari. Ia memulai aktivitas pada pukul 07.00 hingga kembali pukul 01.30. Praktis, setiap hari Wayan hanya bisa tidur lima jam. Kondisi terberat terjadi pada musim dingin.
“Istri sedih melihat saya memaksakan diri. Tapi, bagaimana lagi? Musim panas, saya memilih tetap kuliah. Kebanyakan mahasiswa liburan. Saya harus cepat lulus dan bekerja penuh waktu,” ujar Wayan.
Bersyukur, selulus kuliah ia diterima di restoran besar di New York, langganan sejumlah selebritas, seperti Michael Jordan, Kim Kardashian, dan Justin Bieber. Namun, tuntutan di Blue Hill at Stone Barns sangat tinggi. Mereka tak pernah menghidangkan menu sama setiap hari.
Walau langsung ditawari posisi asisten chef junior, Wayan menolak dan minta posisi terbawah. Ia ingin merasakan proses dari awal. Dalam bayangannya, lima tahun lagi dirinya bisa mencapai head chef.
Sayangnya, Wayan harus pulang lantaran ayahnya meninggal dan sang ibu tinggal sendiri. Total, baru 20 bulan Wayan bekerja, tetapi ia meyakini pengalaman dan pengetahuannya setara bekerja 10 tahun di tempat lain.
Akus Kusmana (43) juga sudah menyinggahi semua benua dengan kapal pesiar. Mulai pekerja magang, ia menapaki karier hingga menduduki sous chef pastri. Warga Ciumbuleuit, Bandung, Jawa Barat, itu mencicipi dunia kuliner dengan mengawalinya di hotel.
Akus mengimplementasikan perjuangannya dengan mengelola bakeri yang dirintis sejak pandemi merebak. Ia menjual, antara lain, donat, roti gulung, dan sus. “Kalau ramai, 100 boks roti gulung terjual per hari. Setiap boks berisi 10 potong. Donat bisa sampai 40 boks per hari,” katanya.
Bakeri berjenama Pumpkins Bakedgoods yang menerima banyak pesanan pemerintah daerah, itu, tengah menjalin kolaborasi dengan hotel berbintang dan kedai kopi. “Terima pesanan lewat daring juga. Peralatan berangsur saya beli waktu mampir ke berbagai negara,” ucapnya.
Ia pun bisa membuka lapangan kerja dengan merekrut empat pegawai. Hidangan andalan Akus, donat, dijual seharga Rp 65.000 per boks. “Mau tambah 10 varian lagi. Nanti, jadi 25 varian. Saya mau buka gerai dekat rumah, akhir Juni ini,” ujarnya.
Pekerja Indonesia sudah diakui, tetapi kendalanya bahasa Inggris. Termasuk Akus yang masih meraba-raba saat mulai bekerja, lebih-lebih bosnya warga Austria. Meski saat bicara aksen Sundanya masih kentara, ia tak ditertawai rekan-rekannya. Mereka malah membantu.
“Setelah enam bulan baru lancar. Tuntutan memang berat. Waktu di Amerika Serikat, masuk jam 08.00. Beres jam 02.00, tapi tiga jam kemudian sudah cek kebersihan,” katanya. Rambut, pakaian, dan kebersihan tubuh pun amat diperhatikan. Kapasitas setiap kapal sekitar 5.000 penumpang.
Upaya bertahan hidup
Mili Hendratno juga membuka restoran pada awal pandemi. Bukan hanya modal nekat, Mili dengan pengalamannya termotivasi untuk bangkit demi keluarga. Dimulai di rumah kontrakan, Mili membuka Mil’s Kitchen, restoran berkonsep casual dining.
Ia menyulap ruang tamu dan garasi menjadi tempat makan. Tak jarang, anak-anaknya terpaksa dikunci di kamar. Dengan hanya dibantu empat karyawan dan istrinya, Mili menjadi chef, pelayan, kasir, dan tak jarang tukang parkir.
Selain itu, Mili bekerja keras mencari pelanggan dengan menghubungi kenalan, chef, dan mitra kerjanya di masa lalu. Mili pun menerima private dining, yang disebutnya “dapur keliling” dengan mendatangi dan menyajikan pilihan klien. Jemput bola itu lumayan membantu. “Intinya, apa sajalah supaya keluarga tetap makan dan anak-anak (para karyawan) gajian,” ujarnya.
Perjuangan Mili mulai membuahkan hasil dengan dibukanya cabang Restoran Mil’s Kitchen di Badung, Bali. Dari empat karyawan, Mili kini mempekerjakan setidaknya 65 orang, yang sebagian besar ia didik untuk menambah keterampilan.