Jatuh Bangun Menjadi Orang Jakarta
Dia berharap, kelak, saat semua tantangan telah berhasil dilewati, dia bisa hidup layak, bisa membuka usaha sendiri di Jakarta dan membantu perantau-perantau lainnya.
Di Jakarta, kehidupan berjalan serba tergesa. Orang-orang setiap hari dipaksa berkompetisi memperebutkan rezeki, celah di jalan raya, serta sepenggal ruang di kereta atau bus Transjakarta. Ini mengagetkan banyak pendatang, tetapi harus dilalui untuk menjadi ”orang Jakarta”.
Gilanya kehidupan Jakarta banyak direkam dalam produk budaya pop. Simaklah penggalan lagu ”Metropolutan”, salah satu lagu dalam album Love Bomb (2013) milik band grunge Navicula, yang menyoroti kemacetan di Jakarta: Kepalaku mau pecah/ emosi mau tumpah/ kota ini parah/ jalan macet bikin gerah/ di kaki gedung pongah/ injak siapa yang kalah/ aku terjebak di sini.../ hey aku ada di kota metropolutan//.
Toh, kegilaan itu tak membuat para pendatang dari daerah-daerah ciut nyali untuk mengadu nasib di Jakarta. Mereka terus mengalir, bertarung memperebutkan pekerjaan dan sepenggal ruang sempit untuk tempat tinggal. Mereka lantas dipaksa beradaptasi dengan hiruk pikuk dan segala kegilaan di Jakarta demi melebur menjadi bagian dari kehidupan kota ini.
Di antara ribuan pendatang itu ada Satria Phonna (25) yang datang ke Jakarta sekitar tahun 2016. Di masa awal, ketika bekerja di sebuah perusahaan penyelenggara acara di Jakarta tahun 2018, ia terkaget-kaget dengan kultur orang-orang di lingkungan kerjanya yang bicara tanpa tedeng aling-aling. Mereka kerap menghantam ide yang dilontarkan Satria.
”Katanya (ide saya) sudah lewat trennya. Ketinggalan zaman. ’Makanya, tinggal di Jakarta, jangan di daerah’,” kata Satria menirukan kalimat tajam rekan-rekannya.
Baca juga: Lebaran Lima Langkah
Hantaman itu sangat membekas hingga menyisakan trauma buat Satria yang dihantui penolakan. Ia sampai tak percaya diri lagi mengungkapkan ide-idenya selama dua tahun. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kultur kerja seperti itu. ”Aku gali informasi dari internet, mengamati gambar-gambar kekinian,” katanya.
Ia mulai memberanikan diri urun rembuk pertengahan tahun 2019. Dari situ, traumanya atas penolakan perlahan pudar. ”Balik ke diri sendiri bagaimana menerima penolakan. Enggak harus aku yang melulu menyesuaikan. Banyak juga yang mau menerimaku,” ucapnya, Jumat (5/5/2023).
Satria yang kini bekerja sebagai pegawai teknologi informasi sebuah badan usaha milik negara mengatakan, beragam pengalaman baru dan adaptasi yang harus ia lalui untuk bertahan di Jakarta telah mengubah dirinya dalam pengertian positif. ”Akhirnya, aku bisa nyaman hidup di Jakarta,” ucapnya.
Dia yang dulu kerap dipandang sebelah mata karena logat Aceh-nya yang kental kini bisa percaya diri. Ia juga makin akrab ke mana-mana dengan sepeda motor dan berdesak-desakan di tengah kemacetan.
Kehidupan di Jakarta juga sempat menimbulkan gegar budaya bagi Ismiyati Handayani (23) yang baru empat bulan bekerja di Soto Kudus Taman Jajan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Lulusan SMK dengan kompetensi keahlian akuntasi, perempuan asal Kebumen, Jawa Tengah, itu sempat tergagap-gagap untuk membiasakan diri dengan teknologi pembayaran nontunai.
”Awalnya enggak bisa, tetapi lama-lama terbiasa. Saya hitung, lalu pembeli scan (memindai) dan hasilnya difoto,” katanya. Maklum, di kampungnya di Kebumen, pembayaran di warung umumnya masih menggunakan uang tunai.
Adaptasi terhadap lingkungan Jakarta dirasakan sampai ke hal-hal kecil. Ismi, misalnya, sejak tinggal di Jakarta tidak bisa tidur tanpa kipas angin untuk mengusir gerah. Kebiasaan baru yang tidak ia lakukan di Kebumen.
Kasmawi (40), asal Tegal, Jawa Tengah, yang telah hidup di Jakarta selama 20 tahun juga punya pengalaman tak terlupakan ketika datang ke Jakarta. Selain logat Tegalnya yang kerap jadi bahan tertawaan, ia kaget saat pertama kali menggunakan lift. ”Bagaimana cara pakainya? Kurang pengetahuan kemajuan, sih. Mau naik tangga jalan saja bingung,” kata karyawan perusahaan penyalur petugas keamanan alih daya ini diiringi senyum.
Selain itu, ia kaget melihat semrawutnya lalu lintas di Jakarta yang harus ditelan setiap hari. Ia saksikan pengemudi sepeda motor seenaknya menerobos lampu lalu lintas, menyalip, atau menekan klakson bertubi-tubi. Pengendara kerap memaki pengendara lain, bahkan baku hantam.
Ketika beralih dari kontrakan di Jakarta setelah membeli rumah di Bekasi, Jawa Barat, ia tertekan dan stres. Bayangkan, jarak 25 kilometer bisa ditempuh hingga 1,5 jam. ”Capek banget adaptasinya. Saya berjuang sampai lima bulan, tetapi diniatkan ibadah. Selalu bersyukur,” ucapnya.
Itulah yang membuat Kasmawi bisa bertahan dengan kehidupan megapolitan yang hiruk pikuk dan menekan.
Terus mengalir
Cerita tentang kerasnya hidup di Jakarta tinggallah cerita. Setiap tahun, pendatang tetap berduyun-duyun masuk ke Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi, seusai Lebaran 2023 ada 40.000 pendatang baru yang mengalir ke Jakarta. Tahun lalu hanya mencapai 27.000 orang.
Seperti para pendatang sebelumnya, mereka harus bersaing dan bertarung untuk hidup di Jakarta. Saun Lolong (26), pemuda asal Tondano, Sulawesi Utara, yang datang tiga bulan lalu, cukup beruntung datang ke Jakarta sudah dengan pekerjaan di tangan. Sarjana Bahasa Inggris dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, itu lolos seleksi kerja yang dilakukan secara daring oleh sebuah perusahaan besar.
”Begitu kasih kabar aku diterima kerja di Jakarta, orangtua sempat khawatir. Jakarta, kan, kota besar. Kalau lihat berita di TV, banyak berita kriminal, biaya hidup juga mahal, dan aku sendirian enggak punya siapa-siapa. Tapi, aku yakinkan, aku bisa jaga diri,” cerita Saun yang bekerja di bagian digital marketing sebuah media massa, Rabu (3/5/2023).
Ini pertama kalinya Saun merantau ke Jakarta. Sebelumnya, ia sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di Jakarta meski sekadar liburan. Karena itu, begitu menginjakkan kaki di kota metropolitan ini, ia kaget melihat kemacetan lalu lintas yang luar biasa.
Awalnya, ia tinggal bersama temannya di kawasan Pesanggrahan. Sebagai pendatang baru, ia belum bisa berhitung soal waktu tempuh dari Pesanggrahan ke kantornya di Palmerah. Akibatnya, ia beberapa kali telat tiba di kantor. ”Aku pikir bisalah bangun jam tujuh atau setengah delapan, kan pakai ojek online. Ternyata kena macet meski sudah lewat jalan tikus,” kata Saun yang mulai masuk kantor pukul 09.00.
Belakangan, ia mencari indekos dekat kantor. Ia dibuat tercengang melihat harga indekos yang tinggi dengan fasilitas biasa saja. Namun, demi menghindari macet, ia memutuskan indekos juga.
Baca juga: Tali Persaudaraan Jangan Mati Obor
Terlepas mahalnya biaya hidup di Jakarta, Saun melihat masa depannya terbentang di kota ini.
”Aku personally berpikir kalau di Jakarta itu lebih banyak opportunity yang terbuka. Apalagi di bidang digital marketing,” kata Saun yang kini makin fasih ber-elu gue dan menggunakan bahasa campur Indonesia-Inggris ala anak Jaksel.
Pemikiran serupa ada di benak Wahyu Dicky Guntara (25), pemuda asal Batusangkar, Sumatera Barat. ”Saya memilih Jakarta karena banyak lowongan pekerjaan dan UMR yang tinggi. Merantau ke Jakarta juga akan menambah cerita hidup saya menjadi lebih berwarna,” ujar Sarjana Teknik Pertambangan Universitas Negeri Padang itu.
Dicky pertama kali ke Jakarta Januari tahun lalu. Dua bulan kemudian, ia diterima bekerja di sebuah perusahaan di kawasan Sunter. Setiap hari, ia mesti berkawan dengan kemacetan atau berdesak-desakan di dalam kereta komuter. ”Awal-awal naik kereta saya sering ketiduran. Yang harusnya berhenti di Cawang, kelewat ke Manggarai. Itu terjadi beberapa kali selama saya kerja karena kelelahan,” kenangnya kecut.
Hidup di Jakarta membuat ia juga dituntut mengatur pengeluaran secermat mungkin. Pasalnya, di akhir bulan, ia nyaris selalu kehabisan uang. Ternyata UMR yang tinggi di Jakarta tak cukup untuk menunjang gaya hidup di megapolitan ini sekalipun yang biasa saja.
Tidak lama bekerja di perusahaan itu, ia dimutasi dengan gaji yang tidak sesuai. Dicky memilih mengundurkan diri. Ia pun menganggur. Namun, ia tidak mau menyerah. Bagaimanapun, buat Dicky, hidup di Jakarta sebenarnya menyenangkan karena mempertemukannya dengan orang-orang hebat yang siap membantunya. Oleh karena itu, seusai mudik Lebaran 2023, ia akan kembali untuk mengejar mimpi menaklukkan Jakarta.
Berkaca pada pengalaman para pendatang baru, kekagetan menghadapi kehidupan di Jakarta, menurut sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor, biasanya hanya terjadi sesaat, di awal kedatangan mereka. Karena motivasi pindah adalah mencari peluang yang lebih baik, pendatang pun dituntut beradaptasi.
Ada sejumlah faktor yang berkontribusi dalam adaptasi, salah satunya adalah dukungan sosial. Umumnya, orang-orang yang bermigrasi ke Jakarta berbasis pada jaringan keluarga/kerabat atau teman sekampung. ”Mereka inilah yang menjadi sumber informasi, rujukan/referensi, sekaligus harapan di Jakarta,” ujarnya.
Tak bisa dimungkiri, hingga kini Jakarta masih menjadi magnet bagi pendatang yang ingin mengubah nasib. Dibandingkan dengan kota-kota lain, Jakarta, sebagai ibu kota negara sekaligus pusat bisnis, lebih menjanjikan. ”Selain itu, Jakarta secara sosial budaya lebih terbuka atas keragaman karena ini kota melting pot (cawan peleburan),” tutur Ida.
Di cawan peleburan inilah, orang dari daerah-daerah beradaptasi dan ”lahir kembali” dalam karakter khas orang-orang yang tinggal di kota megapolitan. Salah satunya: serba bergegas.