Kekayaan wastra Nusantara yang kian diminati belum sepenuhnya disokong sumber daya produsen yang memadai. Tingginya permintaan tak serta-merta membuat regenerasi perajin wastra berjalan mulus.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Kekayaan wastra Nusantara belum sepenuhnya disokong sumber daya produsen yang memadai. Tingginya permintaan tak serta-merta membuat regenerasi perajin wastra berjalan mulus. Perlu memutar cara agar wastra tetap ada sepanjang masa.
Sejalan dengan perayaan Hari Kartini yang jatuh pada 21 April 2023, Iyarita Wiryawati Mawardi yang merupakan pemimpin perajin kain pinawetengan meramaikan acara Kartini Fitri 2023: Raya Wastra Nusantara di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat (14/4/2023).
Rita, sapaan akrabnya, berkisah perjalanannya membina perajin kain pinawetengan ini sudah 16 tahun. Kecintaan pada budaya Minahasa mendorong Ritauntuk membesut kain pinawetengan dengan mengadakan pelatihan pada 2007 hingga kini.
Berbeda dengan wastra Nusantara seperti ulos, batik, songket, atau kain sumba yang merupakan peninggalan budaya dan lekat dengan tradisi, kain pinawetengan tidak demikian. Kain ini hasil gagasan Rita yang terkesima dengan Watu Pinawetengan di Desa Pinabetengan, Tompaso, Sulawesi Utara.
Watu Pinawetengan merupakan sebuah situs berupa batu yang menjadi tempat para nenek moyang berembuk menyelesaikan aneka permasalahan. Selain itu, situs ini juga merupakan cikal bakal Minahasa terbagi menjadi sembilan kelompok etnis.
”Di batu itu ada garis dan gambar yang saya bilang kalau dibikin motif, coraknya bagus ini. Dari situ, mulai mencoba bikin saat 2007,” kata Rita.
Rangkaian Kartini Fitri 2023: Karya Wastra Nusantara menyuguhkanhasil kerja para perajin kain pinawetenganyang kini tinggal tersisa 13 orang. Lembaran kain itu telah dijahit menjadi ragam pakaian yang dipamerkan melalui pertunjukan mode singkat yang sekaligus menjadi puncak acara yang berlangsung pada 12-14 April 2023.
Ada tiga sesi pertunjukan yang menampilkan sekitar 18 tampilan busana dari setelan atasan dan bawahan, gaun, hingga luaran. Atasannya pun ada yang berbentuk kemeja, blus, hingga atasan longgar berlengan kelelawar. Ada juga celana longgar berpipa lebar hingga kain yang hanya diikatkan saja layaknya sarung. Padu padannya pun bisa untuk pesta, bekerja ke kantor, bahkan sehari-hari.
Pada sesi pertama, Rita menghadirkan kain pinawetengan dengan motif papola atau ular dengan mencuplik bagian sisik ularnya saja. Untuk yang pertama ini, motif pada kain pinawetengan hanya dicetak. Baru pada sesi kedua dan ketiga, ia menunjukkan kain pinawetengan dengan motif dan teknik tenun.
Seperti kain tenun lainnya yang dikerjakan menggunakan tangan, kain pinawetengan juga menghabiskan waktu berminggu-minggu pengerjaannya. Namun, jika dikerjakan ngebut tanpa henti, hanya dalam seminggu bisa selesai. ”Tapi, sekarang perajin sudah tua-tua. Jumlahnya juga makin berkurang. Belum ada yang tertarik lagi,” ucapnya.
Padahal, teknik tenun sudah masuk dalam satu pilihan pelajaran di beberapa sekolah menengah kejuruan di Sulawesi Utara. Sayangnya, anak-anak muda yang telah menguasai ilmunya enggan melanjutkan kegiatan menenun.
”Mungkin karena lokasi kami di Tompaso itu di gunung. Tapi, budaya ini bisa berkembang kalau didukung sekelilingnya,” ujar Rita.
Pendampingan
Perancang busana Poppy Dharsono memamerkan tenun sutra Isam Garut milik Isam Samsuddin untuk melenggang di panggung peraga Indonesia Fashion Week. Kali ini ada 12 tampilan berbahan tenun sutra yang dijadikan setelan kebaya nan anggun.
Atasannya tetap berbahan sutra mengilat polos dipadu dengan tenun sutra bercorak etnik dan kain yang dikenakan layaknya selendang. Atasan kebayanya pun dipilih bergaya kutu baru, encim, dan siluet mirip kebaya jawa hanya dimodifikasi pada bagian kerah dan bagian pundak yang memberikan kesan modern dan kokoh.
Pilihan Poppy jatuh pada tenun sutra Isam Garut karena dianggap menjadi salah satu pemberdayaan perajin lokal. Isam yang semula hanya memiliki tujuh perajin kini telah bertambah menjadi 55 orang yang terdiri dari ibu-ibu sekitar dan anak-anak putus sekolah.
Mesin Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) Isam, yang tadinya hanya 5 unit, saat ini sudah 35 unit. Begitu pula omzetnya kini sudah mencapai ratusan juta. Pencapaian ini diharapkan bisa menarik minat anak muda untuk melanjutkannya.
”UMKM seperti ini harus terus dibina dan diajak kerja sama untuk memperkenalkan mereka ke pasar yang lebih luas. Hasil mereka ini enggak kalah dengan produk luar sebenarnya, tapi untuk inovasi dan kreativitas perlu terus diasah lagi,” ujar Poppy.
Menurut dia, pengembangan UMKM ini bisa menjadi ujung tombakpelestarian wastra Nusantara. Hal ini juga bisa sekaligus menarik minat anak muda untuk memudahkan regenerasi perajin wastra karena meyakini ada masa depan cerah sebagai perajin wastra. Memang ketertarikan anak muda yang terbatas pada pembuatan wastra ini tak lepas dari persoalan finansial dan perihal masa depan.
Upaya pemberdayaan juga dilakukan Pendopo milik Kawan Lama Group. Mereka menggagas program pendampingan masyarakat pada September 2021-Oktober 2022. Kegiatan pendampingan dan pelatihan yang menjangkau hingga lebih dari 90 penenun ini digagas sebagai upaya Pendopo dalam melestarikan kain tenun ikat sikka sebagai warisan wastra dari nenek moyang masyarakat adat Sikka, Nusa Tenggara Timur.
Tenun ikat sikka adalah salah satu kekayaan budaya Nusantara yang berasal dari Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dibuat dengan teknik pewarnaan ikat dan proses menenun yang bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan, warisan wastra ini terus dipertahankan karena bernilai filosofis dan estetika tinggi.
Selain pendampingan, Tasya Widya Krisnadi, Direktur Pendopo, menjelaskan, pihaknya juga membantu untuk memasarkannya dan memperluas jangkauan sehingga tenun ikat sikka lebih dikenal. Salah satunya dengan tampil di Indonesia Fashion Week 2023.
Koleksi Senandung Sikka terdiri atas 18 tampilan, mulai dari blus, rompi, rok, topi, hingga berbagai aksesori berupa gelang, anting, dan kalung. ”Di sini, kami mengombinasikan dengan detail sulam tangan yang indah. Pendopo juga menerapkan konsep less waste pada koleksi ini dengan memanfaatkan perca tenun sebagai aksen tiga dimensi berbentuk Kepulauan Flores,” ujar Tasya.